Kisah Spiritual Pangeran Diponegoro dari Pantai Selatan hingga Bersemedi di Imogiri
loading...
A
A
A
Pangeran Diponegoro dikenal sebagai sosok panglima perang pemberani. Bahkan, keberanian dan kecerdasannya dalam mengatur strategi perang, membuat pasukan kolonial Belanda kalang kabut menghadapi perang berkepanjangan selama tiga tahun lamanya.
Kecakapan, dan kemampuannya dalam menghadapi berbagai pertempuran serta persoalan hidup, tidak didapatkan tiba-tiba dari langit. Pangeran Diponegoro ternyata selalu melakukan perjalanan spiritual sejak masih muda belia.
Salah satu perjalanan spiritual tersebut, dilakukan Pengaran Diponegoro saat masih berusia 20 tahun. Pria pemberani yang juga dikenal sebagai pangeran dari Goa Selarong tersebut, pernah bertapa di Pantai Selatan, dan perjalanan spiritual di selatan Yogyakarta.
Perjalanan spiritual itu, dilakukan Pangeran Diponegoro dengan menempuh perjalanan dari tanah kelahirannya di Tegalrejo, ke daerah selatan Yogyakarta. Selama melakukan perjalanan ke selatan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro juga menyinggahi sejumlah pondok pesantren (Ponpes).
Peter Carey dalam bukunya yang berjudul "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 -1855" menyebutkan, Pangeran Diponegoro melakukan perjalanan sekitar bulan April 1805 dalam persiapan ziarah ke pantai selatan. Sebelum ke pantai selatan, Diponegoro meski serangkaian kunjungan ke masjid-masjid dan pesantren-pesantren di daerah Yogyakarta.
Kunjungan ke masjid dan pesantren itu dilakukan Pangeran Diponegoro, untuk melengkapi pendidikannya sebagai santri, dan untuk mengenali buru yang pantas membimbing perkembangan keagamaannya ke tingkatan lebih lanjut.
Persiapan pengembaraan spiritual ini juga dilakukan Pangeran Diponegoro, dengan mengganti namanya. Dia memakai nama baru yakni Syekh Ngabdurahim, yang dipakainya selama perjalanan dengan tujuan agar ia tidak dikenali orang.
Nama ini diambil dari bahasa Arab Shaykh Abd al Rahim, yang kemungkinan diusulkan oleh salah satu penasihat spiritualnya di Tegalrejo. Penggunaan nama Islam seperti itu, bukan sesuatu yang luar biasa di kalangan pangeran Jawa pada masa itu. Pangeran Dipowijoyo I, putra Sultan Pertama pun mengubah namanya menjadi Pangeran Muhammad Abubakar, saat bersiap diri menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada 1810.
Sebelum perjalanan spiritual itu dilakukan, Pangeran Diponegoro mencukur rambutnya agar selama berkelana ke pesantren-pesantren tidak menarik perhatian para santri. Pangeran Diponegoro seorang kasta tertinggi dan orang yang dihormati, memilih untuk menyamar dengan mengenakan pakaian biasa, sehingga hanya sedikit orang yang dapat mengenalinya.
Pakaian kebesarannya sebagai pangeran, ditanggalkan. Pangeran Diponegoro, memilih mengenakan busana sehari-hari yang lumrah digunakan kaum santri pada abad ke-18. Yaitu kain sarung kasar yang dipadu dengan baju putih, tanpa kancing, dan baju tak berkerah, dengan surban hijau atau putih sebagai penutup kepala.
Dalam Babad Diponegoro, perjalanan spiritual Pangeran Diponegoro itu dimulai dari Tegalrejo. Sang pangeran memilih memulai kehidupan sebagai santri, yang berkelana dengan mengunjungi pesantren-pesantren dan masjid-masjid.
Selama berada di pesantren dan masjid tersebut, Pangeran Diponegoro hidup bersama para santri biasa. Diduga pesnatren yang dikunjunginya berada di wilayah selatan Yogyakarta, seperti Gading, Grojokan, Sewon, Wonokromo, Jejeran, Turi, Pulo Kadang, termasuk dua pathok negari, Kasongan, dan Dongkelan.
Bahkan, diduga Pangeran Diponegoro juga sempat menelusuri daerah pedalaman, menuju kompleks pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta. Di Bengkung, di tepi kolam yang berada di puncak tangga besar menuju makam raja-raja, ia menghabiskan waktu satu minggu untuk bersemedi.
Pangeran Diponegoro, disebut juga mengikuti salat Jumat di Masjid Jimatan, bersama para juru kunci masjid yang dikenal sebagai jimat, Mereka menjaga makam raja-raja yang letaknya 100 meter di bawah puncak Bukit Imogiri.
Meski sedang menjadi pengelana berpenampilan lusuh, Pangeran Diponegoro menceritakan, para juru kunci itu langsung mengenali dirinya dan memberinya penghormatan dengan segala apa yang mereka miliki.
Penghormatan yang luar biasa dari para juru kunci makam tersebut, menjadi bukti betapa Pangeran Diponegoro dikagumi oleh banyak kalangan. Bahka, banyak dari mereka yang kemudian mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, dalam melawan Belanda melalui Perang Jawa.
Lihat Juga: Kisah Bupati Pacitan Tertangkap Pasukan Pangeran Diponegoro usai Berkoalisi dengan Belanda
Baca Juga
Kecakapan, dan kemampuannya dalam menghadapi berbagai pertempuran serta persoalan hidup, tidak didapatkan tiba-tiba dari langit. Pangeran Diponegoro ternyata selalu melakukan perjalanan spiritual sejak masih muda belia.
Salah satu perjalanan spiritual tersebut, dilakukan Pengaran Diponegoro saat masih berusia 20 tahun. Pria pemberani yang juga dikenal sebagai pangeran dari Goa Selarong tersebut, pernah bertapa di Pantai Selatan, dan perjalanan spiritual di selatan Yogyakarta.
Perjalanan spiritual itu, dilakukan Pangeran Diponegoro dengan menempuh perjalanan dari tanah kelahirannya di Tegalrejo, ke daerah selatan Yogyakarta. Selama melakukan perjalanan ke selatan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro juga menyinggahi sejumlah pondok pesantren (Ponpes).
Peter Carey dalam bukunya yang berjudul "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 -1855" menyebutkan, Pangeran Diponegoro melakukan perjalanan sekitar bulan April 1805 dalam persiapan ziarah ke pantai selatan. Sebelum ke pantai selatan, Diponegoro meski serangkaian kunjungan ke masjid-masjid dan pesantren-pesantren di daerah Yogyakarta.
Kunjungan ke masjid dan pesantren itu dilakukan Pangeran Diponegoro, untuk melengkapi pendidikannya sebagai santri, dan untuk mengenali buru yang pantas membimbing perkembangan keagamaannya ke tingkatan lebih lanjut.
Persiapan pengembaraan spiritual ini juga dilakukan Pangeran Diponegoro, dengan mengganti namanya. Dia memakai nama baru yakni Syekh Ngabdurahim, yang dipakainya selama perjalanan dengan tujuan agar ia tidak dikenali orang.
Nama ini diambil dari bahasa Arab Shaykh Abd al Rahim, yang kemungkinan diusulkan oleh salah satu penasihat spiritualnya di Tegalrejo. Penggunaan nama Islam seperti itu, bukan sesuatu yang luar biasa di kalangan pangeran Jawa pada masa itu. Pangeran Dipowijoyo I, putra Sultan Pertama pun mengubah namanya menjadi Pangeran Muhammad Abubakar, saat bersiap diri menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada 1810.
Sebelum perjalanan spiritual itu dilakukan, Pangeran Diponegoro mencukur rambutnya agar selama berkelana ke pesantren-pesantren tidak menarik perhatian para santri. Pangeran Diponegoro seorang kasta tertinggi dan orang yang dihormati, memilih untuk menyamar dengan mengenakan pakaian biasa, sehingga hanya sedikit orang yang dapat mengenalinya.
Pakaian kebesarannya sebagai pangeran, ditanggalkan. Pangeran Diponegoro, memilih mengenakan busana sehari-hari yang lumrah digunakan kaum santri pada abad ke-18. Yaitu kain sarung kasar yang dipadu dengan baju putih, tanpa kancing, dan baju tak berkerah, dengan surban hijau atau putih sebagai penutup kepala.
Dalam Babad Diponegoro, perjalanan spiritual Pangeran Diponegoro itu dimulai dari Tegalrejo. Sang pangeran memilih memulai kehidupan sebagai santri, yang berkelana dengan mengunjungi pesantren-pesantren dan masjid-masjid.
Selama berada di pesantren dan masjid tersebut, Pangeran Diponegoro hidup bersama para santri biasa. Diduga pesnatren yang dikunjunginya berada di wilayah selatan Yogyakarta, seperti Gading, Grojokan, Sewon, Wonokromo, Jejeran, Turi, Pulo Kadang, termasuk dua pathok negari, Kasongan, dan Dongkelan.
Baca Juga
Bahkan, diduga Pangeran Diponegoro juga sempat menelusuri daerah pedalaman, menuju kompleks pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta. Di Bengkung, di tepi kolam yang berada di puncak tangga besar menuju makam raja-raja, ia menghabiskan waktu satu minggu untuk bersemedi.
Pangeran Diponegoro, disebut juga mengikuti salat Jumat di Masjid Jimatan, bersama para juru kunci masjid yang dikenal sebagai jimat, Mereka menjaga makam raja-raja yang letaknya 100 meter di bawah puncak Bukit Imogiri.
Meski sedang menjadi pengelana berpenampilan lusuh, Pangeran Diponegoro menceritakan, para juru kunci itu langsung mengenali dirinya dan memberinya penghormatan dengan segala apa yang mereka miliki.
Penghormatan yang luar biasa dari para juru kunci makam tersebut, menjadi bukti betapa Pangeran Diponegoro dikagumi oleh banyak kalangan. Bahka, banyak dari mereka yang kemudian mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, dalam melawan Belanda melalui Perang Jawa.
Lihat Juga: Kisah Bupati Pacitan Tertangkap Pasukan Pangeran Diponegoro usai Berkoalisi dengan Belanda
(eyt)