Strategi Brigjen Suryo Sumpeno Menumpas Pasukan Antek PKI di Jawa Tengah
loading...
A
A
A
Aksi penyusupan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965 juga marak terjadi di Jawa Tengah. Dimana Biro Chusus PKI juga telah melakukan penyusupan ke hampir semua Komando Distrik Militer (Kodim) di Jateng. Sehingga sejumlah besar perwira pertama dan menengah TNI AD di Jajaran Kodam VII/Diponegoro (sekarang Kodam IV Diponegoro ) berhasil dipengaruhi komunis.
Sehingga aksi Gerakan 30 September PKI di Jawa Tengah ini mencapai puncaknya dengan ditandai saat RRI Semarang pada 1 Oktober 1965 sekitar pukul 13.00 WIB memberitakan terbentuknya Dewan Revolusi Jawa Tengah yang dipimpin Asisten 1 Intelijen Kodam VII/Diponegoro Kolonel Inf Sahirman.
Dalam pengumuman itu, Kolonel Inf Sahirman yang menjabat sebagai Ketua Dewan Revolusi Jawa Tengah menetapkan Letnan Kolonel Usman Sastrodibroto sebagai perwira yang diserahi tugas mengambil alih pimpinan Kodam VII/Diponegoro. Letnan Kolonel Usman Sastrodibroto sebelumnya menjabat Asisten 6 Kodam Diponegoro.
Lalu Sahirman menggerakan sejumlah pasukan antek komunis sehingga berhasil menguasai Markas Kodam VII/Diponegoro. Dia juga memperluas gerakannya ke Korem-Korem dan Brigade-Brigade Infanteri di Jawa Tengah serta sejumlah Kodim.
Sehingga setengah dari Komandan Kodim di jajaran Kodam VII/Diponegoro sudah berada di bawah kendali PKI.
Untuk menguasai Markas Kodam, pimpinan Pasukan pro PKI kemudian menggerakan dua kompi dari Batalyon K dan dua kompi dari Batalyon P yang didatangkan dari Salatiga. Kedua Kompi pasukan infanteri pemukul ini dikerahkan untuk mengepung Markas Kodam VII/Diponegoro.
Namun Panglima Kodam VII/Diponegoro yang saat itu dijabat Brigjen TNI Surjo Sumpeno tidak tinggal diam. Sebagai pucuk pimpinan tertinggi di Kodam Diponegoro pada 2 Oktober 1965 pukul 02.00 WIB, Brigjen TNI Surjo Sumpeno langsung memerintahkan Kol Inf Sahirman untuk segera datang menghadap ke rumah dinasnya. Namun Sahirman menolak perintah tersebut dan tetap memerintahkan Pasukan Batalyon K dan Batalyon P untuk merebut Markas Kodam VII/Diponegoro.
Di buku Menyeberangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol '65 dan Upaya Rekonsiliasi, Brigjen TNI Surjo Sumpeno diberi saran oleh staf Kodam yang masih loyal kepadanya yang datang kekediamannya untuk segera meninggalkan rumah dinasnya karena adanya informasi pergerakan pasukan infanteri yang menuju kediamannya.
Dalam pertemuan itu hadir Letnan Kolonel Usman yang membuat Brigjen Suryo sempat berpikir sejenak. Karena tidak seperti biasanya, Letkol Usman saat itu membawa pistol di pinggangnya.
Seusai pertemuan, Brigjen Suryo Sumpeno mengumumkan kepada masyarakat agar tetap tenang, tidak bertindak sendiri-sendiri, dan menunggu perintah selanjutnya.
Brigjen TNI Surjo Sumpeno pun menyingkir dari rumah dinas menuju Magelang. Karena berdasarkan informasi intelijen hanya pasukan di wilayah Garnisun Magelang sajalah yang tidak disusupi PKI. Sehingga Magelang digunakan sebagai basis operasi pemulihan kekuatan oleh Brigjen TNI Surjo Sumpeno.
Beruntung pasukan di Magelang yang masih loyal terhadap dirinya terdiri atas Batalyon 2 Kavaleri, Batalyon 3 dan Batalyon 11 Artileri Medan, dan Peleton Pioner dari Batalyon 2 Para.
Sehingga Pangdam memiliki pasukan Panser dan infanteri berkualifikasi para yang juga didukung tank dan artileri medan.
Brigjen Surjo Sumpeno pun kemudian menggerakan pasukan yang ada di Magelang ditambah dengan Yon P dari Brigif 4 yang ada di Gombong dan sisa -sisa kesatuan dari Batalyon Para 3 di Semarang yang masih loyal untuk mengepung Kota Semarang.
Pasukan yang digerakkan dalam operasi pembebasan Kota Semarang, dipimpin Letkol Inf Yasin Husein, dengan kekuatan 1 Peleton BTR dibantu 1 Peleton Armed sebagai Infanteri bermotor di bawah pimpinan Lettu Kav Suwito.
Lalu 1 Peleton BTR dibantu dengan 1 Peleton Armed sebagai lnfanteri bermotor di bawah pimpinan Lettu Kav Saryono. Pasukan bantuan tempur lainnya yaitu 1 Kompi Zipur yang dijadikan sebagai Infanteri di bawah pimpinan Lettu Czi Efendi dibantu 1 Peleton tank.
Kemudian Pada 2 Oktober 1965 pukul 05.00 WIB pasukan bergerak menuju ke Semarang. Untuk menghindari korban di kalangan masyarakat, Pangdam memerintahkan menunda pengepungan Markas Kodam VII dan memerintahkan mengambil posisi di Jatingaleh.
Kemudian Surjo Sumpeno pun memerintahkan Letkol Soeprapto dan Mayor Soeroto merebut Studio RRI Semarang.
Upaya pemulihan rantai komando di Kodam VII/Diponegoro juga dilakukan Surjo Sumpeno dengan memanggil pimpinan Korem – Korem dan Brigif – Brigif.
Dia juga melakukan konsolidasi dengan staf Kodam VII/Diponegoro yang masih loyal dan melakukan pemulihan keamanan-ketertiban dengan merebut kembali Kota Semarang.
Selanjutnya Surjo Sumpeno memerintahkan Mayor Hartono dan Mayor Subekti untuk memanggil Kol Sahirman dan Letkol Usman Sastrodibroto menghadap Panglima. Ternyata Sahirman dan Usman tidak berada di tempat.
Upaya pengepungan oleh pasukan yang loyal terhadap Brigjen Surjo Sumpeno juga terdengar oleh pimpinan Batalyon K Mayor Kaderi yang datang dari Solo dengan 2 kompi yang semula ditempatkan di Semarang oleh G30S/PKI. Sehingga pasukan yang sebelumnya diperintahkan untuk mengawal pemimpin pemberontakan Kol Sahirman, Kol Marjono, Letkol Usman menyingkir dari Kota Semarang. Sehingga dua Kompi pengawal lainnya dan satu kompi dari Batalyon D yang pro PKI dapat di lokalisir di Srondol.
Tanpa ada perlawanan, Brigjen Surjo Sumpeno memasuki kembali Markas Kodam VII/Diponegoro.
Setelah Markas Kodam VII dan RRI dikuasai, pada hari itu juga Surjo Sumpeno berpidato di radio yang ditujukan kepada jajaran Kodam VII, masyarakat Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk menjelaskan bahwa Pangdam VII/Diponegoro telah kembali memegang kendali pimpinan Kodam.
Pangdam juga memerintahkan jajaran pasukannya untuk mengadakan unjuk kekuatan dengan defile pasukan, panser dan artileri berat di daerah-daerah.
Lalu Brigjen Surjo Sumpeno memerintahkan Kasdam VII/Diponegoro Kol Inf Sudjono untuk menempatkan beberapa kendaraan lapis baja di tempat-tempat yang strategis dengan posisi siap tembak di Salatiga dan didukung pasukan para dan artileri berat. Ini ditujukan untuk menakut nakuti pasukan pro PKI pimpinan Letkol Idris yang sebelumnya telah menawan Danrem 073/Salatiga Kol Sukardi.
Merasa takut akibat pameran kekuatan yang dilancarkan oleh Kasdam VII/Diponegoro Kol Inf Sudjono. Sehingga Letkol Idris pemimpin Gerakan 30 September di Salatiga menyerah tanpa syarat.
Pembersihan Pasukan terhadap pasukan yang pro PKI di Yogyakarta juga dilakukan. Namun pembersihan terhadap antek PKI mendapat kendala, karena Pangdam mendapat kabar jika Danrem 072/Pamungkas Kol Inf Katamso dan Kasrem 072 Letkol Soegijono ditangkap oleh sejumlah pasukan Yon L (Yon 451) yang bermarkas di wilayah Kentungan.
Pasukan Yon L ini digerakan Mayor Mulyono salah seorang staf Korem 072 yang mengangkat dirinya sebagai Ketua Dewan Revolusi Yogyakarta pada 1 Oktober 1965.
Kemudian pada 4 Oktober 1965, Brigjen Surjo Sumpeno mengutus Kapten Surjotomo mantan Wadanyon L untuk menemui Danyon L dengan tugas untuk merebut Markas Komando Korem 072 dan mengamankan Pasukan Yon L dan Yon C dari pengaruh G 30 S.
Setelah situasi memungkinkan pada 5 Oktober pukul 10.00 WIB, kemudian Pangdam datang ke Markas Korem 072 dan mengadakan briefing dengan seluruh jajaran. Kemudian ditetapkan pimpinan sementara Korem 072, dijabat Asisten 4 Kodam VII Kol Widodo.
Berita mengenai dikuasainya kembali Markas Kodam Diponegoro, Korem 072/Pamungkas dan Kota Salatiga ditambah lagi dengan adanya pidato dari Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto mengenai adanya gerakan PKI membuat anggota jajaran Kodam VII/Diponegoro di daerah daerah yang semula dipengaruhi PKI akhirnya sadar.
Sehingga sejumlah pimpinan pasukan yang semula pro terhadap PKI menyerahkan diri. Seperti di Purwokerto pada 3 Oktober 1965, Letkol Soemitro menyerah kepada Danrem 071/Wijayakusuma Kol Tjiptono Setyabudi. Dengan demikian Komando Korem 071 dapat dipulihkan.
Sedangkan perwira lainnya yang pro PKI, seperti Mayor Trisnadi Kasi I, dan Mayor Bernadi Kasi III Korem 071 ditangkap.
Di Solo pada 4 Oktober 1965 Kol Ashari Komandan Brigif 6, beserta perwira-perwira lainnya yang ditawan oleh pasukan yang pro G 30S dibebaskan.
Pada 5 Oktober 1965 juga diperoleh kabar jika Mayor Kaderi beserta dua kompi anak buahnya yang mengawal Kol Sahirman telah memisahkan diri dari tokoh G 30 S Jateng tersebut dan kembali ke pangkalan di Solo.
Dengan demikian, dalam jangka waktu hanya lima hari, pemulihan garis komando di jajaran Kodam VII telah berfungsi kembali.
Lalu mendengar hal itu Mayor Sukirjan Wa Ass-5 dan Mayor Karsidi Wa Ass-2 menyerah.
Kodam VII/Diponegoro pun akhirnya mendapat bantuan pasukan dari Jakarta guna membersihkan Jawa Tengah dari antek-antek PKI. Dimana Pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang dilengkapi panser dan persenjataan berat tiba di Jateng pada 12 Oktober 1965.
Lalu pada 13 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB, Komandan Resimen RPKAD Kol Inf Sarwo Edhie Wibowo didampingi Danyon RPKAD Mayor Inf CI Santoso melaporkan kedatangan pasukannya kepada Brigjen TNI Surjo Sumpeno selaku penguasa militer di Jawa Tengah.
Dalam kesempatan itu, Pangdam VII/Diponegoro berpesan supaya Kol Sarwo untuk bertindak dengan berpedoman kepada sandi “Ambil ikannya jangan sampai keruh airnya”. Selesai penerimaan oleh Pangdam VII/Diponegoro Pasukan RPKAD lalu melakukan pameran kekuatan dengan berkeliling Kota Semarang.
Sementara pencarian terhadap Danrem 072/Pamungkas Kol Inf Katamso dan Kasrem Letkol Soegijono terus dilakukan, karena diperoleh informasi kalau keduanya dibunuh di markas Batalyon L di Desa Kentungan.
Lalu berdasarkan perintah Brigjen TNI Surjo Sumpeno pada 18 Oktober 1965, sebagian pasukan Yon L diberangkatkan ke luar Jawa dalam rangka tugas Dwikora. Sementara para pelaku penculikan dari Yon L diperintahkan melaksanakan latihan survival tanpa senjata.
Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya. Sebuah tim yang dipimpin Mayor CPM Moh Said beserta anggotanya, Kesehatan Rem 072, Zi Bang Rem 072 ditugaskan untuk membongkar tempat di dalam Markas Yon L yang dicurigai tempat menimbun mayat petinggi Korem 072 Pamungkas.
Atas perintah Pangdam timbunan tanah dibongkar pada 21 Oktober 2017. Lalu pada pukul 07.00 WIB, jenazah kedua pimpinan Korem 072 tersebut dapat diangkat.
Selanjutnya dengan iring-iringan kendaraan yang didahului dengan dua buah panser dan pengawal RPKAD, kedua jenazah dibawa ke Kesehatan Korem 072 untuk diautopsi oleh team dokter yang dipimpin Kol Sutarto.
Dengan diketemukannya jenazah Danrem 072 dan Kasrem 072 tersebut, masyarakat Yogyakarta khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya meluap amarahnya terhadap G 30 S/PKI.
Tanggal 20 Oktober 1965, Panglima selaku Pepelrada Jateng/DIY mengeluarkan keputusan tentang pembekuan kegiatan PKI, Baperki, dan ormas-ormas lainnya di bawah naungan PKI.
Sebelumnya Mayor Muljono Ketua Dewan Revolusi Yogyakarta yang memerintahkan pembunuhan terhadap Danrem dan Kasrem 072 Pamungkas tertangkap di Kelurahan Karanggeneng, Boyolali pada 18 Oktober 1965.
Pada bulan November 1965, pelaksanaan operasi terhadap G 30 S/PKI mendapat bantuan dari Brigade Infanteri 4/Diponegoro di bawah pimpinan Kol Inf Yasir Hadibroto. Bertugas secara bergiliran yaitu Batalyon E, F, dan G, dan masing-masing ditempatkan di Boyolali, Klaten dan Solo.
Dengan datangnya pasukan tersebut, beban tugas yang dipikul pasukan RPKAD menjadi ringan. Akibatnya ruang gerak sisa-sisa G 30 S/PKI menjadi semakin sempit, dan tinggal menunggu kehancurannya. Pada 22 November 1965 pukul 21.00, tokoh utama G30S/PKI DN Aidit berhasil ditangkap hidup-hidup di kampung Sambeng Gede, Surakarta.
Selanjutnya pada 1 Desember 1965, dalam rangka untuk mengintensifkan pencarian dan penghancuran sisa-sisa G 30 S/PKI, telah dibentuk Komando Operasi Merapi dengan pimpinan Kol Inf Sarwo Edhi Wibowo.
Komando Operasi Merapi ini dibentuk dalam rangka pengejaran serta penangkapan terhadap gembong Gerakan 30 September di Jawa Tengah Kol Sahirman dan antek-anteknya. Komando Operasi Merapi pun mendapat bantuan 1 kompi Panser dan tiga helikopter TNI AD.
Pada 8 Desember 1965, pimpinan Operasi Merpati mendapat informasi, bahwa Kol Sahirman dan kawan-kawannya berada di daerah Merbabu.
Untuk melaksanakan operasi pengejaran terhadap Kol Sahirman dan kawan-kawannya tersebut, dilakukanlah kontak dengan Batalyon E yang berada di Boyolali. Pada 9 Oktober, 1 peleton dari Yonif E yang dipimpin oleh Letda Tarwan bergerak ke Cemorosewu di lereng Merbabu bagian Timur.
Pada pukul 05.00 WIB pasukan berhasil menyergap gerombolan yang dicari dan berhasil menewaskan sebagian dari gerombolan itu. Di samping itu berhasil pula ditangkap seorang Gerwani yang bernama Hartini alias Lestari, serta menyita sebuah pistol FN 46 milik Letkol Usman Sastrodibroto.
Pada pukul 11.00 WIB beberapa perwira Staf Komando Operasi Merapi mengadakan pengecekan ke tempat kejadian. Ternyata yang tertembak mati ialah Letkol Usman Sastrodibroto, Mayor Sumadi, Kapten Sukirno Darmin.
Pada hari itu juga dapat ditangkap seorang anggota gerombolan yaitu Letnan Udara I Soekarno atas bantuan rakyat, dan menyita sebuah pistol FN 46. Sisa gerombolan yang diperkirakan berjumlah 9 orang berhasil melarikan diri.
Pada 10 Oktober 1965, dua peleton pasukan RPKAD di bawah pimpinan Letda Inf Dawud, melakukan pengejaran ke Cemorosewu, Candisari dan Jlaren. Ketika itu TNI berhasil menangkap seorang gerombolan bernama Pawirodono, dan menyita sebuah senjata sten. Pada 13 Desember 1965, satu peleton RPKAD melanjutkan tugas pengejaran.
Selanjutnya sebagai akibat dari tekanan terus-menerus dari pasukan RPKAD dan Batalyon Infanteri E dan F yang bergabung dalam Komando Operasi Merapi, serta diikuti oleh gerakan massa rakyat yang telah disadarkan, sisa gerombolan Kol Sahirman dan kawan-kawan tidak dapat bertahan lagi. Pada 14 Desember 1965, Kol Sahirman, Kol Maryono dan Mayor RW Sukirno turun dari gunung, dan berhasil disergap dan ditembak mati.
Selain melakukan pembersihan terhadap militer, pasukan RPKAD di Jawa Tengah juga melakukan operasi terhadap massa yang pro PKI di berbagai wilayah seperti Solo, Boyolali, Wonogiri dan beberapa wilayah lainnya di Jawa Tengah. Sehingga Gerakan 30 September di Jawa Tengah dapat dipatahkan.
Sumber :
- Buku “Komunisme di Indonesia Jilid IV: Pemberontakan G.30.S/ PKI Dan Penumpasannya (Tahun 1960-1965), Jakarta: Pusjarah TNI, 1999
- Sejarah Militer kodam VII/Diponegoro, Sirnaning Yakso katon Gapuraning Ratu II, semarang, 1971, hal. 199
- Wikipedia
Sehingga aksi Gerakan 30 September PKI di Jawa Tengah ini mencapai puncaknya dengan ditandai saat RRI Semarang pada 1 Oktober 1965 sekitar pukul 13.00 WIB memberitakan terbentuknya Dewan Revolusi Jawa Tengah yang dipimpin Asisten 1 Intelijen Kodam VII/Diponegoro Kolonel Inf Sahirman.
Dalam pengumuman itu, Kolonel Inf Sahirman yang menjabat sebagai Ketua Dewan Revolusi Jawa Tengah menetapkan Letnan Kolonel Usman Sastrodibroto sebagai perwira yang diserahi tugas mengambil alih pimpinan Kodam VII/Diponegoro. Letnan Kolonel Usman Sastrodibroto sebelumnya menjabat Asisten 6 Kodam Diponegoro.
Lalu Sahirman menggerakan sejumlah pasukan antek komunis sehingga berhasil menguasai Markas Kodam VII/Diponegoro. Dia juga memperluas gerakannya ke Korem-Korem dan Brigade-Brigade Infanteri di Jawa Tengah serta sejumlah Kodim.
Sehingga setengah dari Komandan Kodim di jajaran Kodam VII/Diponegoro sudah berada di bawah kendali PKI.
Untuk menguasai Markas Kodam, pimpinan Pasukan pro PKI kemudian menggerakan dua kompi dari Batalyon K dan dua kompi dari Batalyon P yang didatangkan dari Salatiga. Kedua Kompi pasukan infanteri pemukul ini dikerahkan untuk mengepung Markas Kodam VII/Diponegoro.
Namun Panglima Kodam VII/Diponegoro yang saat itu dijabat Brigjen TNI Surjo Sumpeno tidak tinggal diam. Sebagai pucuk pimpinan tertinggi di Kodam Diponegoro pada 2 Oktober 1965 pukul 02.00 WIB, Brigjen TNI Surjo Sumpeno langsung memerintahkan Kol Inf Sahirman untuk segera datang menghadap ke rumah dinasnya. Namun Sahirman menolak perintah tersebut dan tetap memerintahkan Pasukan Batalyon K dan Batalyon P untuk merebut Markas Kodam VII/Diponegoro.
Di buku Menyeberangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol '65 dan Upaya Rekonsiliasi, Brigjen TNI Surjo Sumpeno diberi saran oleh staf Kodam yang masih loyal kepadanya yang datang kekediamannya untuk segera meninggalkan rumah dinasnya karena adanya informasi pergerakan pasukan infanteri yang menuju kediamannya.
Dalam pertemuan itu hadir Letnan Kolonel Usman yang membuat Brigjen Suryo sempat berpikir sejenak. Karena tidak seperti biasanya, Letkol Usman saat itu membawa pistol di pinggangnya.
Seusai pertemuan, Brigjen Suryo Sumpeno mengumumkan kepada masyarakat agar tetap tenang, tidak bertindak sendiri-sendiri, dan menunggu perintah selanjutnya.
Brigjen TNI Surjo Sumpeno pun menyingkir dari rumah dinas menuju Magelang. Karena berdasarkan informasi intelijen hanya pasukan di wilayah Garnisun Magelang sajalah yang tidak disusupi PKI. Sehingga Magelang digunakan sebagai basis operasi pemulihan kekuatan oleh Brigjen TNI Surjo Sumpeno.
Beruntung pasukan di Magelang yang masih loyal terhadap dirinya terdiri atas Batalyon 2 Kavaleri, Batalyon 3 dan Batalyon 11 Artileri Medan, dan Peleton Pioner dari Batalyon 2 Para.
Sehingga Pangdam memiliki pasukan Panser dan infanteri berkualifikasi para yang juga didukung tank dan artileri medan.
Brigjen Surjo Sumpeno pun kemudian menggerakan pasukan yang ada di Magelang ditambah dengan Yon P dari Brigif 4 yang ada di Gombong dan sisa -sisa kesatuan dari Batalyon Para 3 di Semarang yang masih loyal untuk mengepung Kota Semarang.
Pasukan yang digerakkan dalam operasi pembebasan Kota Semarang, dipimpin Letkol Inf Yasin Husein, dengan kekuatan 1 Peleton BTR dibantu 1 Peleton Armed sebagai Infanteri bermotor di bawah pimpinan Lettu Kav Suwito.
Lalu 1 Peleton BTR dibantu dengan 1 Peleton Armed sebagai lnfanteri bermotor di bawah pimpinan Lettu Kav Saryono. Pasukan bantuan tempur lainnya yaitu 1 Kompi Zipur yang dijadikan sebagai Infanteri di bawah pimpinan Lettu Czi Efendi dibantu 1 Peleton tank.
Kemudian Pada 2 Oktober 1965 pukul 05.00 WIB pasukan bergerak menuju ke Semarang. Untuk menghindari korban di kalangan masyarakat, Pangdam memerintahkan menunda pengepungan Markas Kodam VII dan memerintahkan mengambil posisi di Jatingaleh.
Kemudian Surjo Sumpeno pun memerintahkan Letkol Soeprapto dan Mayor Soeroto merebut Studio RRI Semarang.
Upaya pemulihan rantai komando di Kodam VII/Diponegoro juga dilakukan Surjo Sumpeno dengan memanggil pimpinan Korem – Korem dan Brigif – Brigif.
Dia juga melakukan konsolidasi dengan staf Kodam VII/Diponegoro yang masih loyal dan melakukan pemulihan keamanan-ketertiban dengan merebut kembali Kota Semarang.
Selanjutnya Surjo Sumpeno memerintahkan Mayor Hartono dan Mayor Subekti untuk memanggil Kol Sahirman dan Letkol Usman Sastrodibroto menghadap Panglima. Ternyata Sahirman dan Usman tidak berada di tempat.
Upaya pengepungan oleh pasukan yang loyal terhadap Brigjen Surjo Sumpeno juga terdengar oleh pimpinan Batalyon K Mayor Kaderi yang datang dari Solo dengan 2 kompi yang semula ditempatkan di Semarang oleh G30S/PKI. Sehingga pasukan yang sebelumnya diperintahkan untuk mengawal pemimpin pemberontakan Kol Sahirman, Kol Marjono, Letkol Usman menyingkir dari Kota Semarang. Sehingga dua Kompi pengawal lainnya dan satu kompi dari Batalyon D yang pro PKI dapat di lokalisir di Srondol.
Tanpa ada perlawanan, Brigjen Surjo Sumpeno memasuki kembali Markas Kodam VII/Diponegoro.
Setelah Markas Kodam VII dan RRI dikuasai, pada hari itu juga Surjo Sumpeno berpidato di radio yang ditujukan kepada jajaran Kodam VII, masyarakat Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk menjelaskan bahwa Pangdam VII/Diponegoro telah kembali memegang kendali pimpinan Kodam.
Pangdam juga memerintahkan jajaran pasukannya untuk mengadakan unjuk kekuatan dengan defile pasukan, panser dan artileri berat di daerah-daerah.
Lalu Brigjen Surjo Sumpeno memerintahkan Kasdam VII/Diponegoro Kol Inf Sudjono untuk menempatkan beberapa kendaraan lapis baja di tempat-tempat yang strategis dengan posisi siap tembak di Salatiga dan didukung pasukan para dan artileri berat. Ini ditujukan untuk menakut nakuti pasukan pro PKI pimpinan Letkol Idris yang sebelumnya telah menawan Danrem 073/Salatiga Kol Sukardi.
Merasa takut akibat pameran kekuatan yang dilancarkan oleh Kasdam VII/Diponegoro Kol Inf Sudjono. Sehingga Letkol Idris pemimpin Gerakan 30 September di Salatiga menyerah tanpa syarat.
Pembersihan Pasukan terhadap pasukan yang pro PKI di Yogyakarta juga dilakukan. Namun pembersihan terhadap antek PKI mendapat kendala, karena Pangdam mendapat kabar jika Danrem 072/Pamungkas Kol Inf Katamso dan Kasrem 072 Letkol Soegijono ditangkap oleh sejumlah pasukan Yon L (Yon 451) yang bermarkas di wilayah Kentungan.
Pasukan Yon L ini digerakan Mayor Mulyono salah seorang staf Korem 072 yang mengangkat dirinya sebagai Ketua Dewan Revolusi Yogyakarta pada 1 Oktober 1965.
Kemudian pada 4 Oktober 1965, Brigjen Surjo Sumpeno mengutus Kapten Surjotomo mantan Wadanyon L untuk menemui Danyon L dengan tugas untuk merebut Markas Komando Korem 072 dan mengamankan Pasukan Yon L dan Yon C dari pengaruh G 30 S.
Setelah situasi memungkinkan pada 5 Oktober pukul 10.00 WIB, kemudian Pangdam datang ke Markas Korem 072 dan mengadakan briefing dengan seluruh jajaran. Kemudian ditetapkan pimpinan sementara Korem 072, dijabat Asisten 4 Kodam VII Kol Widodo.
Berita mengenai dikuasainya kembali Markas Kodam Diponegoro, Korem 072/Pamungkas dan Kota Salatiga ditambah lagi dengan adanya pidato dari Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto mengenai adanya gerakan PKI membuat anggota jajaran Kodam VII/Diponegoro di daerah daerah yang semula dipengaruhi PKI akhirnya sadar.
Sehingga sejumlah pimpinan pasukan yang semula pro terhadap PKI menyerahkan diri. Seperti di Purwokerto pada 3 Oktober 1965, Letkol Soemitro menyerah kepada Danrem 071/Wijayakusuma Kol Tjiptono Setyabudi. Dengan demikian Komando Korem 071 dapat dipulihkan.
Sedangkan perwira lainnya yang pro PKI, seperti Mayor Trisnadi Kasi I, dan Mayor Bernadi Kasi III Korem 071 ditangkap.
Di Solo pada 4 Oktober 1965 Kol Ashari Komandan Brigif 6, beserta perwira-perwira lainnya yang ditawan oleh pasukan yang pro G 30S dibebaskan.
Pada 5 Oktober 1965 juga diperoleh kabar jika Mayor Kaderi beserta dua kompi anak buahnya yang mengawal Kol Sahirman telah memisahkan diri dari tokoh G 30 S Jateng tersebut dan kembali ke pangkalan di Solo.
Dengan demikian, dalam jangka waktu hanya lima hari, pemulihan garis komando di jajaran Kodam VII telah berfungsi kembali.
Lalu mendengar hal itu Mayor Sukirjan Wa Ass-5 dan Mayor Karsidi Wa Ass-2 menyerah.
Kodam VII/Diponegoro pun akhirnya mendapat bantuan pasukan dari Jakarta guna membersihkan Jawa Tengah dari antek-antek PKI. Dimana Pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang dilengkapi panser dan persenjataan berat tiba di Jateng pada 12 Oktober 1965.
Lalu pada 13 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB, Komandan Resimen RPKAD Kol Inf Sarwo Edhie Wibowo didampingi Danyon RPKAD Mayor Inf CI Santoso melaporkan kedatangan pasukannya kepada Brigjen TNI Surjo Sumpeno selaku penguasa militer di Jawa Tengah.
Dalam kesempatan itu, Pangdam VII/Diponegoro berpesan supaya Kol Sarwo untuk bertindak dengan berpedoman kepada sandi “Ambil ikannya jangan sampai keruh airnya”. Selesai penerimaan oleh Pangdam VII/Diponegoro Pasukan RPKAD lalu melakukan pameran kekuatan dengan berkeliling Kota Semarang.
Sementara pencarian terhadap Danrem 072/Pamungkas Kol Inf Katamso dan Kasrem Letkol Soegijono terus dilakukan, karena diperoleh informasi kalau keduanya dibunuh di markas Batalyon L di Desa Kentungan.
Lalu berdasarkan perintah Brigjen TNI Surjo Sumpeno pada 18 Oktober 1965, sebagian pasukan Yon L diberangkatkan ke luar Jawa dalam rangka tugas Dwikora. Sementara para pelaku penculikan dari Yon L diperintahkan melaksanakan latihan survival tanpa senjata.
Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya. Sebuah tim yang dipimpin Mayor CPM Moh Said beserta anggotanya, Kesehatan Rem 072, Zi Bang Rem 072 ditugaskan untuk membongkar tempat di dalam Markas Yon L yang dicurigai tempat menimbun mayat petinggi Korem 072 Pamungkas.
Atas perintah Pangdam timbunan tanah dibongkar pada 21 Oktober 2017. Lalu pada pukul 07.00 WIB, jenazah kedua pimpinan Korem 072 tersebut dapat diangkat.
Selanjutnya dengan iring-iringan kendaraan yang didahului dengan dua buah panser dan pengawal RPKAD, kedua jenazah dibawa ke Kesehatan Korem 072 untuk diautopsi oleh team dokter yang dipimpin Kol Sutarto.
Dengan diketemukannya jenazah Danrem 072 dan Kasrem 072 tersebut, masyarakat Yogyakarta khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya meluap amarahnya terhadap G 30 S/PKI.
Tanggal 20 Oktober 1965, Panglima selaku Pepelrada Jateng/DIY mengeluarkan keputusan tentang pembekuan kegiatan PKI, Baperki, dan ormas-ormas lainnya di bawah naungan PKI.
Sebelumnya Mayor Muljono Ketua Dewan Revolusi Yogyakarta yang memerintahkan pembunuhan terhadap Danrem dan Kasrem 072 Pamungkas tertangkap di Kelurahan Karanggeneng, Boyolali pada 18 Oktober 1965.
Pada bulan November 1965, pelaksanaan operasi terhadap G 30 S/PKI mendapat bantuan dari Brigade Infanteri 4/Diponegoro di bawah pimpinan Kol Inf Yasir Hadibroto. Bertugas secara bergiliran yaitu Batalyon E, F, dan G, dan masing-masing ditempatkan di Boyolali, Klaten dan Solo.
Dengan datangnya pasukan tersebut, beban tugas yang dipikul pasukan RPKAD menjadi ringan. Akibatnya ruang gerak sisa-sisa G 30 S/PKI menjadi semakin sempit, dan tinggal menunggu kehancurannya. Pada 22 November 1965 pukul 21.00, tokoh utama G30S/PKI DN Aidit berhasil ditangkap hidup-hidup di kampung Sambeng Gede, Surakarta.
Selanjutnya pada 1 Desember 1965, dalam rangka untuk mengintensifkan pencarian dan penghancuran sisa-sisa G 30 S/PKI, telah dibentuk Komando Operasi Merapi dengan pimpinan Kol Inf Sarwo Edhi Wibowo.
Komando Operasi Merapi ini dibentuk dalam rangka pengejaran serta penangkapan terhadap gembong Gerakan 30 September di Jawa Tengah Kol Sahirman dan antek-anteknya. Komando Operasi Merapi pun mendapat bantuan 1 kompi Panser dan tiga helikopter TNI AD.
Pada 8 Desember 1965, pimpinan Operasi Merpati mendapat informasi, bahwa Kol Sahirman dan kawan-kawannya berada di daerah Merbabu.
Untuk melaksanakan operasi pengejaran terhadap Kol Sahirman dan kawan-kawannya tersebut, dilakukanlah kontak dengan Batalyon E yang berada di Boyolali. Pada 9 Oktober, 1 peleton dari Yonif E yang dipimpin oleh Letda Tarwan bergerak ke Cemorosewu di lereng Merbabu bagian Timur.
Pada pukul 05.00 WIB pasukan berhasil menyergap gerombolan yang dicari dan berhasil menewaskan sebagian dari gerombolan itu. Di samping itu berhasil pula ditangkap seorang Gerwani yang bernama Hartini alias Lestari, serta menyita sebuah pistol FN 46 milik Letkol Usman Sastrodibroto.
Pada pukul 11.00 WIB beberapa perwira Staf Komando Operasi Merapi mengadakan pengecekan ke tempat kejadian. Ternyata yang tertembak mati ialah Letkol Usman Sastrodibroto, Mayor Sumadi, Kapten Sukirno Darmin.
Pada hari itu juga dapat ditangkap seorang anggota gerombolan yaitu Letnan Udara I Soekarno atas bantuan rakyat, dan menyita sebuah pistol FN 46. Sisa gerombolan yang diperkirakan berjumlah 9 orang berhasil melarikan diri.
Pada 10 Oktober 1965, dua peleton pasukan RPKAD di bawah pimpinan Letda Inf Dawud, melakukan pengejaran ke Cemorosewu, Candisari dan Jlaren. Ketika itu TNI berhasil menangkap seorang gerombolan bernama Pawirodono, dan menyita sebuah senjata sten. Pada 13 Desember 1965, satu peleton RPKAD melanjutkan tugas pengejaran.
Selanjutnya sebagai akibat dari tekanan terus-menerus dari pasukan RPKAD dan Batalyon Infanteri E dan F yang bergabung dalam Komando Operasi Merapi, serta diikuti oleh gerakan massa rakyat yang telah disadarkan, sisa gerombolan Kol Sahirman dan kawan-kawan tidak dapat bertahan lagi. Pada 14 Desember 1965, Kol Sahirman, Kol Maryono dan Mayor RW Sukirno turun dari gunung, dan berhasil disergap dan ditembak mati.
Selain melakukan pembersihan terhadap militer, pasukan RPKAD di Jawa Tengah juga melakukan operasi terhadap massa yang pro PKI di berbagai wilayah seperti Solo, Boyolali, Wonogiri dan beberapa wilayah lainnya di Jawa Tengah. Sehingga Gerakan 30 September di Jawa Tengah dapat dipatahkan.
Sumber :
- Buku “Komunisme di Indonesia Jilid IV: Pemberontakan G.30.S/ PKI Dan Penumpasannya (Tahun 1960-1965), Jakarta: Pusjarah TNI, 1999
- Sejarah Militer kodam VII/Diponegoro, Sirnaning Yakso katon Gapuraning Ratu II, semarang, 1971, hal. 199
- Wikipedia
(sms)