Kisah Buaya Kuning Penjaga dan Suku Dayak Tunjung
loading...
A
A
A
Dahulu, beberapa warga sempat melihat kemunculan buaya ini. Meski demikian, banyak juga yang percaya, hewan tersebut merupakan makhluk gaib yang memang menjadi penghuni desa tersebut.
“Warga menamakan tempat ini sebagai Batu Berhala yang kemudian dijadikan simbol untuk memohon sesuatu,” papar Mong.
Karena sudah menolong dan melindungi desa dari ancaman penyerangan, warga kemudian menjadikan lokasi buaya kuning sebagai ritual untuk meminta dan memohon sesuatu.
“Kalau mau membangun usaha, seperti membuka ladang, penduduk desa ke sini dengan membawa sesuatu seperti makanan kemudian memohon sesuatu. Permohonan harus disertai dengan nazar, jika berhasil atau sukses, harus kembali dengan memberikan sesuatu,” kata Mong di lokasi Batu Berhala.
Di lokasi buaya kuning banyak terlihat tongkat kayu ulin dengan ukiran khas Suku Dayak Tunjung. Rata-rata tingginya satu meter.
Mong menjelaskan, dahulu setiap permohonan, selain membawa sesuatu sebagai niat tulus meminta, juga harus menancapkan kayu ulin di batu. Ulin tersebut kini menumpuk ke tengah, berdiri saling menumpuk.
Penggunaan tongkat ulin sekarang sudah kurang dipilih sebagai syarat permohonan. Warga hanya membawa makanan atau sesuatu yang dijadikan persembahan dan ditaruh di sebuah meja kayu di atas batu tersebut.
Disamping itu, serbuan agama juga membuat warga tak lagi menggunakan Batu Berhala sebagai tempat permohonan. Hanya warga desa berusia tua yang hingga kini masih sering datang ke Batu Berhala.
“Jika ada Pilkada, biasanya ada calon kepala daerah yang datang. Dulu pernah ada calon bupati ke sini. Setelah menang, dia datang lagi dan membelikan puluhan ekor babi dan dipotong di Batu Berhala,” kata Mong.
Baca juga : Misteri 12 Kerajaan Gaib di Gua Matu Pesisir Barat Lampung
Desa Enggelam terbagi menjadi beberapa dusun. Dusun utama yakni Dusun Mboyong. Dusun lainnya yang cukup ramai dihuni penduduk adalah Dusun Ketibeh.
“Warga menamakan tempat ini sebagai Batu Berhala yang kemudian dijadikan simbol untuk memohon sesuatu,” papar Mong.
Karena sudah menolong dan melindungi desa dari ancaman penyerangan, warga kemudian menjadikan lokasi buaya kuning sebagai ritual untuk meminta dan memohon sesuatu.
“Kalau mau membangun usaha, seperti membuka ladang, penduduk desa ke sini dengan membawa sesuatu seperti makanan kemudian memohon sesuatu. Permohonan harus disertai dengan nazar, jika berhasil atau sukses, harus kembali dengan memberikan sesuatu,” kata Mong di lokasi Batu Berhala.
Di lokasi buaya kuning banyak terlihat tongkat kayu ulin dengan ukiran khas Suku Dayak Tunjung. Rata-rata tingginya satu meter.
Mong menjelaskan, dahulu setiap permohonan, selain membawa sesuatu sebagai niat tulus meminta, juga harus menancapkan kayu ulin di batu. Ulin tersebut kini menumpuk ke tengah, berdiri saling menumpuk.
Penggunaan tongkat ulin sekarang sudah kurang dipilih sebagai syarat permohonan. Warga hanya membawa makanan atau sesuatu yang dijadikan persembahan dan ditaruh di sebuah meja kayu di atas batu tersebut.
Disamping itu, serbuan agama juga membuat warga tak lagi menggunakan Batu Berhala sebagai tempat permohonan. Hanya warga desa berusia tua yang hingga kini masih sering datang ke Batu Berhala.
“Jika ada Pilkada, biasanya ada calon kepala daerah yang datang. Dulu pernah ada calon bupati ke sini. Setelah menang, dia datang lagi dan membelikan puluhan ekor babi dan dipotong di Batu Berhala,” kata Mong.
Baca juga : Misteri 12 Kerajaan Gaib di Gua Matu Pesisir Barat Lampung
Desa Enggelam terbagi menjadi beberapa dusun. Dusun utama yakni Dusun Mboyong. Dusun lainnya yang cukup ramai dihuni penduduk adalah Dusun Ketibeh.