Berdiri Ratusan Tahun, Langgar Gipo Jadi Saksi Sejarah Pergerakan Ulama NU

Jum'at, 21 Mei 2021 - 05:00 WIB
loading...
Berdiri Ratusan Tahun,...
Salah satu sudut langgar Gipo yang sudah berdiri sejak ratusan tahun lalu. Tempat ini menjadi tonggak sejarah pergerakan ulama NU
A A A
SURABAYA - Sebuah bangunan kuno dengan dua lantai nampak masih kokoh berdiri di kompleks Ampel, tepatnya di Jalan Kalimas Udik. Di sejumlah bagian terlihat usang, namun kini mulai dirawat. Ya, itulah Langgar Gipo (musala), bangunan yang berdiri ratusan tahun.

Di tempat sederhana itu menjadi tonggak sejarah pergerakan ulama Nahdlatul Ulama (NU). Bahkan di situ erat terkait dengan jejak sejarah Ketua Umum Pengurus Besar NU, KH. Hasan Dipo.

Sampai saat ini belum ada yang memastikan sejak kapan Langgar Gipo dibangun oleh keluarga Sagipoddin. Ada yang menyebut tahun 1700-an. Ada juga sumber yang menjelaskan, langgar tersebut dibangun tahun 1834. Sejauh ini belum ditemukan prasasti yang angka tahun berdirinya langgar tersebut.

Baca juga: Masjid Sri Alam Dunia, Simbol Kebersamaan dan Persatuan Warga Sipirok

“Musala ini dulu menjadi tempat pergerakan para ulama,” kata Muhammad Choiri, keturunan keenam dari keluarga pendiri Langgar Gipo, Hasan Gipo, saat ditemui di Langgar Gipo.

Berdiri Ratusan Tahun, Langgar Gipo Jadi Saksi Sejarah Pergerakan Ulama NU


Langgar Gipo menyimpan arsitektur cukup tinggi. Itu bisa dilihat dari bentuk jendela dan pintu. Di beberapa kayu ada tulisannya. Dari informasi tersebut, Langgar Gipo tercatat dibangun pada 1830. Ada pula catatan di kayu lainnya yang memuat angka 1629. Jika merujuk angka terakhir, berarti usianya lebih dari 300 tahun.

Di bagian belakang langgar, terdapat bunker sebagai tempat persembunyian bagi para pejuang. Diameternya berkisar sekitar 1,5 meter x 1 meter. Bangunan berlantai dua ini, di bagian atas biasa digunakan sebagai tempat pertemuan dan diskusi.

Di sudut langgar juga terdapat gentong air yang sudah berusia ratusan tahun. “Langgar Gipo menjadi tempat berdiskusi para ulama saat pendirian Nahdlatul Ulama (NU), Nahdlatul Wathon dan Nahdlatut Tujjar,” kata Choiri.

Baca juga: Kisah Perahu Jaka Tingkir yang Tersimpan di Pesanggrahan Langenharjo

Sejarah NU di langgar itu berkaitan dengan jejak KH Hasan Gipo. Ulama tersebut merupakan ketua Tanfidziyah NU. Dari tempat itu pula muncul nama besar lainnya seperti KH Mas Mansyur. Konon Langgar Gipo sering dijadikan sebagai tempat pertemuan para tokoh nasional seperti HOS Tjokroaminoto dan Ir Soekarno bersama tokoh NU.

Tidak hanya itu keberadaan anggar ini juga sebagai asrama haji pertama di Surabaya pada tahun 1834 M. Jamaah haji pertama dari Surabaya diberangkatkan dan singgah (tempat transit) dari Langgar Gipo lewat jalur sungai Kalimas.“

Melihat jejak sejarah yang cukup tinggi nilainya, kami merasa prihatin jika keberadaan Langgar Gipo dilupakan dan terabaikan oleh sejarah bangsa ini,” kata Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, dari Fraksi PKB, Laila Mufidah.

Saat ini, Langgar Gipo sudah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Perbaikan bagian yang rusak dilakukan bertahap. Perbaikan juga akan menyentuh bagian lainnya. Misalnya, kayu-kayu penopang atap yang sebagian sudah keropos. Pemkot Surabaya juga mempertimbangkan keamanan bangunan.

“Perbaikan tahap pertama sudah dilakukan. Yakni pemasangan tiang besi untuk memperkuat struktur bangunan. Nanti akan dilanjutkan pada tahap kedua,” tandas Choiri.

Sementara itu, Kabid Bangunan dan Gedung Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman, Cipta Karya dan Tata Ruang (DPRKP-CKTR) Surabaya Iman Krestian mengatakan, perbaikan juga akan menyentuh bagian lainnya.

Misalnya, kayu-kayu penopang atap yang sebagian sudah keropos. Pemkot mempertimbangkan keamanan bangunan. Renovasi sudah dilakukan sejak pertengahan tahun lalu. “Revitalisasi langgar akan dilakukan secara maksimal. Pemerintah sudah mendata pernak-pernik yang akan dipasang. Selain lampu, ada papan informasi,” katanya.

Langgar Gipo memiliki banyak keunikan. Selain bentuk bangunannya yang klasik, ada bunker di dekat tempat wudhu. Sejumlah sejarawan telah menelitinya. Konon, ada terowongan besar di dalam bunker yang terhubung sampai Kalimas.

Keunikan lain, langgar ini juga memiliki tangga-tangga bangunan. Kondisi tangga kayu masih utuh. Bahkan, tak ada sedikitpun yang keropos. Tangga-tangga itu dirancang rapi dan artistik.

Berdiri Ratusan Tahun, Langgar Gipo Jadi Saksi Sejarah Pergerakan Ulama NU


Tentang Hasan Gipo
Hasan Gipo yang memiliki nama lengkap Hasan Basri, dilahirkan di Kampung Sawahan pada tahun 1869, tepatnya di Jalan Ampel Masjid, yang kini menjadi Jalan Kalimas Udik. Beliau merupakan keturunan keluarga besar dari “Marga Gipo” sehingga nama Gipo diletakkan di belakang nama Hasan.

Nama Gipo sendiri sebenarnya merupakan singkatan dari Sagipodin dari bahasa Arab Saqifuddin, Saqaf ( pelindung) dan al-dien (agama). Hingga kampung tempat Gipo tinggal kemudian dikenal dengan Gang Gipo dan keluarga ini mempunyai makam keluarga yang dinamai makam keluarga, makam Gipo di kompleks Masjid Ampel. Gang Gipo sendiri kini berubah menjadi Jalan Kalimas Udik.

Mengutip www.pwnusumut.or.id, jika diruntut silsilah beliau tersebut, H. Hasan Gipo masih mempunyai hubungan keluarga dengan K.H. Mas Mansur karena K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah) masih keturunan dari Abdul Latief Gipo yang merupakan salah seorang dari marga Gipo tersebut. Dari beberapa keterangan tersebut, bisa ditarik pemahaman juga bahwa keturunan Sagipodin mempunyai akar kuat di Kalangan Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah.

Apabila ditelusuri melalui jalur silsilah keluarga, didapati bahwasannya beliau merupakan generasi kelima dari dinasti Gipo. Ayahnya bernama H. Marzuki, kakeknya H. Alwi, buyutnya bernama H. Turmudzi yang memperistri Darsiyah. Canggahnya Abdul Latief Sagipuddin merupakan awal dinasti Gipo yang memperistri Tasirah dan memiliki 12 anak.Dari silsilah itulah kita jumpai seorang Hasan Basri di Ampel yang berpusat di kota Surabaya dan lebih akrab dipanggil dengan H. Hasan Gipo.

Beliau yang terlahir dari kalangan ekonomi mapan, berhasil mngenyam pendidikan ala Belanda, tanpa mengesampingkan pendidikan kepesantrenanya, jiwa-jiwa santri juga mendarah daging di urat nadinya. Terbukti kepemimpinan ekonomi di kawasan bisnis Pabean masih dijabat oleh dinasti Gipo hingga masa jabatan H. Hasan Gipo.
(msd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1447 seconds (0.1#10.140)