Hari Pertama Lebaran di Manado, Warga Gelar Tradisi Ziarah Kubur
loading...
A
A
A
MANADO - Di tengah pandemi COVID-19, warga muslim di Kota Manado, tetap semangat melaksanakan tradisi ziarah kubur yang selalu dilaksanakan usai mengikuti Salat Idul Fitri 1 Syawal 1442 Hijriah.
Disalah satu kompleks pemakaman muslim di Kelurahan Mahakeret Timur, Kecamatan Wenang, Kota Manado, terlihat masih banyak warga yang berdatangan, ada juga yang sedang membersihkan makam sanak saudaranya dan ada yang sedang berdoa.
Nurlian, salah seorang warga kelurahan Malendeng yang datang bersama keluarganya tampak sedang membersihkan makam dari Ibunya. Dia mengaku tetap memilih berziarah meski menyadari kalau saat ini Manado tengah dalam masa pandemi COVID-19.
"Ziarah sudah menjadi kegiatan rutin yang selalu kami lakukan setiap tahun, biasanya sebelum lebaran kami datang membersihkan kuburan kemudian selesai sholat kami sekeluarga datang lagi untuk berdoa," tutur Nurlian, Kamis (13/5/2021).
Senada dengan Nurlian, Muhajir warga Kelurahan Komo Luar juga mengungkapkan hal yang sama. Dia bersama keluarga tetap melakukan ziarah meskipun situasinya masih dalam situasi pandemi. Kebiasaan berziarah menurutnya sulit ditinggalkan karena sudah sering dilakukan. "Ziarah untuk mengirimkan doa kepada orang yang dicintai yang sudah meninggal sambil mengingat kematian dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta," kata Muhajir.
Di dalam kompleks pekuburan muslim ini terdapat juga makam dari istri dan anak Sri Sultan Hamengku Buwono V, yakni Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, dan Pangeran Arya Suryeng Ngalaga.
Kanjeng Ratu Sekar Kedaton bersama anaknya dituduh membangkang dan merencanakan perlawanan terhadap raja. Sri Sultan Hamengkubuwono VII menangkap Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan putranya tersebut lalu dibuang ke Manado dengan tuduhan membangkang pada raja dan merencanakan melakukan perlawanan. Atas tuduhan tersebut, keduanya dibuang ke Manado dan wafat di daerah ini.
Di sini juga terdapat makam dari ulama pejuang perang Cilegon, Banten 1888, Syech Mas M. Arsyad Thawil AlBantani yang wafat pada 19 Maret 1934. Arsyad Thawil adalah tokoh utama dalam Pertempuran Geger Cilegon 1888 (Perang Cilegon) dan dengan demikian menjadi ulama paling dicari oleh penjajah. Sebagai hasil pemberontakan, Belanda kemudian menangkap ulama-ulama Banten dan mengasingkan mereka. Arsyad Thawil kemudian dibuang ke Manado.
Di tempat pengasingannya ini, Arsyad Thawil kemudian mengajar di bidang ilmu pengetahuan Islam , dia juga dikenal sebagai salah satu penyebar agama Islam ke wilayah mayoritas Kristen di Indonesia. Bahkan, dia menikahi anak seorang pendeta yang telah masuk Islam, bernama Magdalena Runtu.
Sudah menjadi tradisi bagi sebagian besar warga muslim di Kota Manado untuk melakukan ziarah kubur usai melaksanakan salat id. Hari pertama lebaran ini juga biasanya dimanfaatkan untuk silaturahmi dengan sanak saudara terlebih dahulu.
Disalah satu kompleks pemakaman muslim di Kelurahan Mahakeret Timur, Kecamatan Wenang, Kota Manado, terlihat masih banyak warga yang berdatangan, ada juga yang sedang membersihkan makam sanak saudaranya dan ada yang sedang berdoa.
Nurlian, salah seorang warga kelurahan Malendeng yang datang bersama keluarganya tampak sedang membersihkan makam dari Ibunya. Dia mengaku tetap memilih berziarah meski menyadari kalau saat ini Manado tengah dalam masa pandemi COVID-19.
"Ziarah sudah menjadi kegiatan rutin yang selalu kami lakukan setiap tahun, biasanya sebelum lebaran kami datang membersihkan kuburan kemudian selesai sholat kami sekeluarga datang lagi untuk berdoa," tutur Nurlian, Kamis (13/5/2021).
Senada dengan Nurlian, Muhajir warga Kelurahan Komo Luar juga mengungkapkan hal yang sama. Dia bersama keluarga tetap melakukan ziarah meskipun situasinya masih dalam situasi pandemi. Kebiasaan berziarah menurutnya sulit ditinggalkan karena sudah sering dilakukan. "Ziarah untuk mengirimkan doa kepada orang yang dicintai yang sudah meninggal sambil mengingat kematian dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta," kata Muhajir.
Di dalam kompleks pekuburan muslim ini terdapat juga makam dari istri dan anak Sri Sultan Hamengku Buwono V, yakni Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, dan Pangeran Arya Suryeng Ngalaga.
Kanjeng Ratu Sekar Kedaton bersama anaknya dituduh membangkang dan merencanakan perlawanan terhadap raja. Sri Sultan Hamengkubuwono VII menangkap Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan putranya tersebut lalu dibuang ke Manado dengan tuduhan membangkang pada raja dan merencanakan melakukan perlawanan. Atas tuduhan tersebut, keduanya dibuang ke Manado dan wafat di daerah ini.
Di sini juga terdapat makam dari ulama pejuang perang Cilegon, Banten 1888, Syech Mas M. Arsyad Thawil AlBantani yang wafat pada 19 Maret 1934. Arsyad Thawil adalah tokoh utama dalam Pertempuran Geger Cilegon 1888 (Perang Cilegon) dan dengan demikian menjadi ulama paling dicari oleh penjajah. Sebagai hasil pemberontakan, Belanda kemudian menangkap ulama-ulama Banten dan mengasingkan mereka. Arsyad Thawil kemudian dibuang ke Manado.
Di tempat pengasingannya ini, Arsyad Thawil kemudian mengajar di bidang ilmu pengetahuan Islam , dia juga dikenal sebagai salah satu penyebar agama Islam ke wilayah mayoritas Kristen di Indonesia. Bahkan, dia menikahi anak seorang pendeta yang telah masuk Islam, bernama Magdalena Runtu.
Sudah menjadi tradisi bagi sebagian besar warga muslim di Kota Manado untuk melakukan ziarah kubur usai melaksanakan salat id. Hari pertama lebaran ini juga biasanya dimanfaatkan untuk silaturahmi dengan sanak saudara terlebih dahulu.
(eyt)