Sejarah Mudik di Indonesia, Urbanisasi Sebagai Cikal Bakal Orang Rindu Kampung Halaman

Jum'at, 07 Mei 2021 - 10:45 WIB
loading...
Sejarah Mudik di Indonesia, Urbanisasi Sebagai Cikal Bakal Orang Rindu Kampung Halaman
Mudik atau pulang kampung sudah menjadi tradisi masyarakat di Indonesia. Dok/SINDOnews
A A A
SURABAYA - Mudik atau pulang kampung sudah menjadi tradisi masyarakat di Indonesia. Bukan hanya sekedar silaturrahmi dan pulang kampung biasa, ritual mudik menjadi warna tersendiri dalam tradisi yang dilakukan di setiap Lebaran.

Tahun ini, Surat Edaran (SE) Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) memang memutus tradisi yang suah bertahan ratusan tahun itu. Masa peniadaan mudik tersebut mulai berlaku sejak 6 Mei 2021 hingga 17 Mei 2021.

Mudik merupakan bagian yang melekat dari Hari Raya Idul Fitri bagi masyarakat Indonesia. Ditinjau dari sudut pandang sejarah, mudik telah ada sejak masyarakat Indonesia mulai melakukan urbanisasi. Hal itu karena banyak kota yang menjadi orientasi orang desa untuk mencari pekerjaan.

Guru Besar Fakultas llmu Budaya Universitas Airlangga Prof. Dr. Purnawan Basundoro menuturkan, urbanisasi membuat masyarakat mulai merindukan kampung halamannya. “Ini (urbanisasi, Red), mungkin setelah kemerdekaan, setelah banyak orang mencari pekerjaan di kota. Mungkin tahun 60an 70an di mana Kota Jakarta mulai didatangi orang dari berbagai desa,” kata Purnawan, Jumat (7/5/2021).

Ia melanjutkan, keberadaan desa ibarat sumber air. Hal itu karena sehubungan dengan konteks urbanisasi, desa merupakan asal (sumber, Red) dari orang-orang kota. “Karena kita ini (orang-orang desa, Red) itu kan dianggap sumber orang kota kan dari desa dalam konteks urbanisasi itu,” tegasnya.

Terkait dengan asal-usul bahasanya, mudik berasal dari kata udik yang berarti ujung. “Jadi orang desa dianggap udik gitu, jadi kita kembali kepada ujung. Sehingga kalau kita pulang kampung dikatakan mudik atau ‘menuju ke udik,” tutur dosen Program Studi Ilmu Sejarah tersebut.

Sementara itu terkait tradisi yang biasa terjadi dalam mudik, Prof. Purnawan menuturkan bahwa yang utama yakni bersilaturrahim dan reuni yang diikuti dengan makan-makan bersama. Di samping itu, terdapat pula tradisi ziarah kubur serta berkebun bagi yang memiliki kebun.

Meskipun dalam masa pandemi beberapa aktivitas dapat dilakukan dalam jaringan, namun tidak berlaku bagi mudik. “Terkait dengan ucapan selamat (Hari Raya Idul Fitri, Red) ya bisa lewat telepon, tapi itu bukan berarti mudik. Mudik tetap harus datang langsung karena tidak ada mudik online, makanya dengan adanya pandemi ini kan ya kita disuruh untuk menunda mudik bukan mengganti, ” ungkapnya. Baca: BPS Lansir 12 Wisman Masuk Riau, Kemenhumham Sebut Mereka Pekerja.

Mengenai penundaan mudik, Prof. Purnawan menuturkan bahwa hal itu terlepas dari konteks Hari Raya Idul Fitri. “Kan bisa saja gak pas lebaran, saya tak mudik gitu yang artinya pulang ke tempat asal kita,” ungkapnya. Baca: Lebaran Tanpa Mudik pada 1963, Aksi Calo dan Jalan Berliku Membeli Tiket Kereta Api di Jakarta.

Prof. Purnawan juga menambahkan bahwa mudik di hari raya tetap dianggap sebagai sesuatu yang spesial. Karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam maka momen tersebut juga dijadikan sebagai tradisi meminta maaf kepada keluarga, sanak saudara, dan sebagainya. Baca Juga: Halau Emak-emak Belanja Berkerumun, Puluhan Petugas Bakal Sisir Pusat Perbelanjaan di Bandung.

Sementara itu mudik, tidak hanya terjadi di Indonesia. “Fenomena semacam itu terjadi di banyak negara juga. Jadi ketika ada liburan-liburan tertentu yang dianggap bisa untuk ketemu keluarga ya mereka berbondong-bondong untuk pulang,” kata dekan FIB Universitas Airlangga ini
(nag)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0974 seconds (0.1#10.140)