Lebaran Tanpa Mudik pada 1963, Aksi Calo dan Jalan Berliku Membeli Tiket Kereta Api di Jakarta

Jum'at, 07 Mei 2021 - 05:30 WIB
loading...
Lebaran Tanpa Mudik pada 1963, Aksi Calo dan Jalan Berliku Membeli Tiket Kereta Api di Jakarta
Ketika pemerintah melarang mudik pada 1963, tidak mudah bagi masyarakat untuk membeli tiket kereta api, belum lagi aksi para calo tiket yang memasang harga selangit. Foto/Ist/Perpusnas RI
A A A
JAKARTA - Kesulitan untuk mudik ternyata pernah dialami masyarakat Indonesia pada masa perjuangan pembebasan Irian Barat tahun 1963. Ketika pemerintah melarang mudik , tidak mudah bagi masyarakat untuk membeli tiket kereta api , belum lagi aksi para calo tiket yang memasang harga selangit.

Pada 1962 pemerintah melarang masyarakat untuk mudik dan bepergian menggunakan kereta api dengan alasan pemerintah tengah memusatkan perhatiannya pada usaha pembebasan Irian Barat. Larangan mudik ini dimuat dalam koran Kedaulatan Rakyat 2 Maret 1962. Bahkan Presiden Soekarno sampai membuat amanat setelah selesai menunaikan Salat Ied di halaman Istana pada 8 Maret 1962. (Baca juga; Stasiun Jakarta Kota; Misteri Sebutan Beos, 2 Kepala Kerbau, dan Filosofi Yunani )

Pada 1963, imbauan untuk tidak mudik disampaikan kembali. Bahkan Djawatan Kereta Api (sekarang PT Kereta Api Indonesia) juga mengimbau masyarakat untuk tidak mudik sementara waktu. Melalui harian Nasional pada 2 Maret 1963, masyarakat dianjurkan membatasi diri bepergian menjelang Lebaran dan tidak menggunakan kereta api atau angkutan umum. Apalagi saat itu kondisi ekonomi sedang tidak stabil.

Imbauan itu tidak sepenuhnya berhasil, karena ada beberapa masyarakat yang nekat mudik. Kemudian dibuatlah sejumlah peraturan untuk membatasi masyarakat bepergian. Djawatan Kereta Api mensyaratkan para calon penumpang kereta api yang hendak bepergian harus memiliki “Surat permintaan memesan kartjis” atau Spmk.

Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta & PhD di Universiteit van Amsterdam, Muhammad Juanda Zara saat Webinar BPNB Sulawesi Selatan, 18 Mei 2020, bertema Sejarah Sosial Mudik Lebaran, mengatakan, Pemerintah membuat aturan khusus untuk mengurangi calon pemudik pada 1963. “Mewajibkan calon pembeli tiket kereta api untuk memiliki “surat permintaan memesan kartjis” atau SPMK, dan harganya sangat mahal begitu jatuh ke tangan calo,” katanya dilansir https://kependudukan.lipi.go.id.

Surat ini bisa dibeli di sejumlah stasiun yang ada di Jakarta, seperti Stasiun Jakarta Kota, Gambir, Manggarai, Jatinegara, dan Pasar Senen dengan harga Rp1 atau Rp 2. Setelah diisi, Surat permintaan memesan kartjis diajukan ke Biro Pendaftaran Pemesanan Kartjis di Jakarta Kota dan Gambir yang waktu pelayanannya juga dibatasi antara pukul 08.00-11.00 WIB. Setelah itu barulah calon penumpang bisa membeli karcis, sehari sebelum keberangkatan.

Kesulitan untuk membeli karcis kereta api dan mendapatkan Surat permintaan memesan karjis, menghadirkan aksi para calo. Banyak calo yang menawarkan dan menjual surat khusus ini dengan harga hingga Rp100 atau seratus kali lipat dari harga aslinya yang hanya Rp1 atau Rp2 saja. (Baca juga; Pertama Diresmikan 6 April 1925, Kereta Rel Listrik di Batavia Pernah Jadi yang Termodern di Asia )

Pada Lebaran 2021 pemerintah secara resmi melarang mudik bagi masyarakat karena masih dalam kondisi pandemi COVID-19. Pemerintah melalui Satuan Tugas (Satgas) COVID-19 menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran COVID-19.

Secara resmi larangan mudik Lebaran 2021 mulai berlaku Kamis 6 Mei 2021 sampai Senin 17 Mei 2021. Namun, tetap ada pengecualian yang diberikan bagi masyarakat dengan keadaan tertentu dan mendesak. Setiap perjalanan nonmudik wajib membawa Surat Izin Keluar Masuk (SIKM) yang dapat diurus sesuai domisili.

Diolah dari berbagai sumber; endiartia.id, phinemo.com, kependudukan.lipi.go.id.
(wib)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1581 seconds (0.1#10.140)