Tekan Pernikahan di Bawah Umur, DP3A Canangkan Gerakan Ayo Kuliah
loading...
A
A
A
MAROS - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Maros terus berupaya menekan angka perkawinan di bawah umur, dengan mendeklarasikan Gerakan Ayo Kuliah (GAK) Stop Perkawinan Anak di Baruga A Kantor Bupati Maros.
Kegiatan yang digagas Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) itu sengaja menggandeng para pendamping Program Keluarga Harapan (PKH), sebab dari data yang ada menunjukkan, perkawinan anak banyak terjadi di keluarga pra sejahtera.
Baca Juga: Antisipasi Pemudik, Polres Maros Akan Lakukan Penyekatan di Perbatasan
'Kami sengaja melibatkan pendamping PKH untuk mensosialisasikan gerakan stop perkawinan anak, karena faktanya memang banyak terjadi dari keluarga sejahtera dan putus sekolah," kata Kepala DP3A Maros , Muh Idrus.
DP3A Maros mencatat, angka perkawinan anak tahun 2019 sebanyak 224 kasus dari total pernikahan 3.022 atau persentasenya sebanyak 7,41 persen. Angka itu menurun di tahun 2020 sebesar menjadi 149 kasus dari total pernikahan sebanyak 2.420.
Namun, meski angka pernikahan anak menurun, angka pengajuan dispensasi nikah justru malah melonjak dari tahun 2019 sebanyak 70 permintaan, menjadi 237 di tahun 2020. Hal itu disebabkan perbedaan penetapan usia antara UU Perlindungan Anak dengan UU Perkawinan.
"Kalau mengacu pada usia sesuai di Undang-undang perlindungan anak itu hanya sampai 18 tahun. Sementara di Undang-undang Perkawinan baru ini batas usia itu 19 tahun, makanya melonjak permintaan dispensasi," lanjutnya.
Baca Juga: Soal Tarif Parkir di Bandara, DPRD Maros Segera Panggil Pihak Angkasa Pura I
Anak-anak yang menjadi korban putus sekolah, kata dia, harusnya ditarik dalam penyetaraan pendidikan, utamanya bagi anak yang baru saja lulus SMA. Jika tetap putus sekolah, mereka akan disuruh untuk bekerja guna dan rawannya malah dinikahkan.
Sementara itu, Bupati Maros , Chaidir Syam yang membuka acara itu mengatakan, peran pendamping PKH dalam mensosialisasikan gerakan ayo kuliah pastinya tidaklah mudah hanya dengan mengajak. Perlu didukung dengan kebijakan semisal Peraturan Desa.
"Kedepannya kita berharap, ada Perdes yang mengatur jika ada anak yang dilamar harus ada laporan ke Pemerinrah Desa setempat. Ini juga untuk mencegah, karena banyak kasus itu baru ajukan dispensasi seminggu sebelum menikah. Dari pada malu, tetap mereka menikah meskipun belum ada dispensasi," kata Chaidir.
Dengan salah satu inovasi ini, ia berharap di masa mendatang, anak yang melanjutkan kuliah, mendapat peluang kehidupan yang lebih layak, sehingga memutus warisan kemiskinan antar generasi.
Baca Juga: Anak Binaan LPKA Kelas II Maros Ikuti Ujian Program Paket C dan B
"Dengan mereka berkuliah ini menjadi pintu terakhir dalam penuntasan kemiskinan. Karena target yang kita dampingi ini berasal dari keluarga prasejahtera. Selain menekan angka kemiskinan ini juga sebagai sarana untuk mereka meningkatkan kualitas diri," ujarnya.
Kegiatan yang digagas Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) itu sengaja menggandeng para pendamping Program Keluarga Harapan (PKH), sebab dari data yang ada menunjukkan, perkawinan anak banyak terjadi di keluarga pra sejahtera.
Baca Juga: Antisipasi Pemudik, Polres Maros Akan Lakukan Penyekatan di Perbatasan
'Kami sengaja melibatkan pendamping PKH untuk mensosialisasikan gerakan stop perkawinan anak, karena faktanya memang banyak terjadi dari keluarga sejahtera dan putus sekolah," kata Kepala DP3A Maros , Muh Idrus.
DP3A Maros mencatat, angka perkawinan anak tahun 2019 sebanyak 224 kasus dari total pernikahan 3.022 atau persentasenya sebanyak 7,41 persen. Angka itu menurun di tahun 2020 sebesar menjadi 149 kasus dari total pernikahan sebanyak 2.420.
Namun, meski angka pernikahan anak menurun, angka pengajuan dispensasi nikah justru malah melonjak dari tahun 2019 sebanyak 70 permintaan, menjadi 237 di tahun 2020. Hal itu disebabkan perbedaan penetapan usia antara UU Perlindungan Anak dengan UU Perkawinan.
"Kalau mengacu pada usia sesuai di Undang-undang perlindungan anak itu hanya sampai 18 tahun. Sementara di Undang-undang Perkawinan baru ini batas usia itu 19 tahun, makanya melonjak permintaan dispensasi," lanjutnya.
Baca Juga: Soal Tarif Parkir di Bandara, DPRD Maros Segera Panggil Pihak Angkasa Pura I
Anak-anak yang menjadi korban putus sekolah, kata dia, harusnya ditarik dalam penyetaraan pendidikan, utamanya bagi anak yang baru saja lulus SMA. Jika tetap putus sekolah, mereka akan disuruh untuk bekerja guna dan rawannya malah dinikahkan.
Sementara itu, Bupati Maros , Chaidir Syam yang membuka acara itu mengatakan, peran pendamping PKH dalam mensosialisasikan gerakan ayo kuliah pastinya tidaklah mudah hanya dengan mengajak. Perlu didukung dengan kebijakan semisal Peraturan Desa.
"Kedepannya kita berharap, ada Perdes yang mengatur jika ada anak yang dilamar harus ada laporan ke Pemerinrah Desa setempat. Ini juga untuk mencegah, karena banyak kasus itu baru ajukan dispensasi seminggu sebelum menikah. Dari pada malu, tetap mereka menikah meskipun belum ada dispensasi," kata Chaidir.
Dengan salah satu inovasi ini, ia berharap di masa mendatang, anak yang melanjutkan kuliah, mendapat peluang kehidupan yang lebih layak, sehingga memutus warisan kemiskinan antar generasi.
Baca Juga: Anak Binaan LPKA Kelas II Maros Ikuti Ujian Program Paket C dan B
"Dengan mereka berkuliah ini menjadi pintu terakhir dalam penuntasan kemiskinan. Karena target yang kita dampingi ini berasal dari keluarga prasejahtera. Selain menekan angka kemiskinan ini juga sebagai sarana untuk mereka meningkatkan kualitas diri," ujarnya.
(agn)