Alat Deteksi COVID-19 Karya Profesor ITS i-Nose C-19 Diujicoba di RSI Surabaya
loading...
A
A
A
SURABAYA - Alat inovasi untuk skrining COVID-19 , i-Nose C-19 , masih terus berlanjut. Alat yang dikembangkan oleh guru besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Riyanarto Sarno, dan tim, dalam tahapan penambahan sampel untuk proses uji profiling.
Mereka pun mulai melakukan penyerahan empat alat i-Nose C-19 di Rumah Sakit Islam (RSI) Jemursari Surabaya, Senin (22/2/2021). Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) ITS, Muhammad Nuh menuturkan, kehadiran empat alat di RSI merupakan bagian dari perjalanan i-Nose C-19.
Setelah didemokan di Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), saat ini i-Nose C-19 berlanjut untuk melangkah ke tahap selanjutnya, yaitu pengambilan sampel dan melakukan pengujian di beberapa rumah sakit.
Selain di RSI Jemursari dan RSI Ahmad Yani, tim i-Nose C-19 juga telah bekerja sama dengan RSUD dr Soetomo dan National Hospital. "Inovasi baru bisa punya makna ketika sudah bisa dipakai di publik, maka dari itu ini saatnya buat i-nose untuk diujikan ke publik," kata Nuh.
Riyanarto Sarno juga menuturkan, perhatiannya pada masa pandemi ini menuntut untuk segera menghadirkan inovasi baru sebagai bentuk usaha bertahan di situasi ini. Namun, ia menambahkan bahwa untuk menghidupkan inovasi tidaklah mudah, tanpa penelitian yang lanjut maka bisa tertinggal dengan yang lain. "Sama halnya dengan alat skrining COVID-19 , yang semakin hari semakin banyak macam dan metodenya dari rapid antigen sampai PCR," ucapnya.
Guru besar Teknik Informatika ITS ini menegaskan, inovasi alat skrining COVID-19 melalui bau keringat ketiak ini bukan sebagai pengganti tes swab PCR. Tetapi hanya alat skrining atau deteksi awal COVID-19 sebelum seseorang melakukan swab PCR dan sebagai alternatif untuk mempercepat proses skrining. "Cara kerja i-Nose C-19 pun berbeda dengan rapid test berbasis antibodi maupun rapid antigen," kata Ryan, panggilan akrabnya.
Tak hanya sampai di situ, ia melanjutkan bahwa i-Nose C-19 saat ini keefektifannya sudah mencapai minimum 91 persen. "Diharapkan dengan semakin banyaknya sampel yang diuji cobakan pada alat ini nantinya semakin dapat membantu keakuratannya," ungkapnya.
Mengingat, i-Nose C-19 mendeteksi bau yang berasal dari Volatile Organic Compound (VOC) yang terdapat dalam keringat ketiak, pengambilan sampel dilakukan dengan menghisap bau keringat melalui selang kecil. Kemudian disalurkan ke deretan sensor (sensor array) pada i-Nose C-19 . Setelah itu, gas bau tersebut diubah menjadi sinyal listrik dan diolah menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Karena itu, dibutuhkan banyak uji coba dengan berbagai macam orang dengan kondisi tertentu, seperti orang yang terkena penyakit TBC namun negatif COVID-19 , orang yang positif COVID-19 namun tidak ada gejala dan lain-lain. Dalam hal ini akan menambah keakuratan dan keefektifan dari alat tersebut.
Dirut RSI Jemursari, Bangun Trapsila Purwaka menyadari bahwa COVID-19 telah mempengaruhi seluruh dunia. Begitu juga seluruh dunia sedang berlomba untuk menggalakkan inovasi guna mendeteksi virus ini. "Dengan tes swab PCR yang ada sebenarnya sudah mudah bagi masyarakat untuk mengetahuinya," katanya.
Namun ia mengatakan, tidak semua orang bisa mengeluarkan biaya untuk melakukan tes yang harganya masih terhitung mahal ini. Hal tersebut bisa disimpulkan bahwa diagnosis dengan cari ini masih menjadi masalah. "Dengan hadirnya i-Nose C-19 ini luar biasa menjawab kebutuhan, juga sudah memenuhi kaidah skrining sehingga bisa dipakai untuk massa," tandasnya.
Nantinya, empat alat i-Nose C-19 ini akan diletakkan di ruang rawat inap dua unit dan di ruang rawat jalan dua unit. Karena ini untuk mendukung penelitian dari i-Nose C-19 , menurut Bangun, maka untuk pengaplikasiannya nanti, orang-orang yang akan dites harus sudah di-swab PCR terlebih dulu. Hal ini berlaku untuk pasien dari luar maupun dari RSI sendiri. "RSI beruntung bisa diikut sertakan dalam penelitian ini, ke depannya diharapkan bisa dijadikan tools karena murah dan cepat," katanya.
Mereka pun mulai melakukan penyerahan empat alat i-Nose C-19 di Rumah Sakit Islam (RSI) Jemursari Surabaya, Senin (22/2/2021). Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) ITS, Muhammad Nuh menuturkan, kehadiran empat alat di RSI merupakan bagian dari perjalanan i-Nose C-19.
Setelah didemokan di Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), saat ini i-Nose C-19 berlanjut untuk melangkah ke tahap selanjutnya, yaitu pengambilan sampel dan melakukan pengujian di beberapa rumah sakit.
Selain di RSI Jemursari dan RSI Ahmad Yani, tim i-Nose C-19 juga telah bekerja sama dengan RSUD dr Soetomo dan National Hospital. "Inovasi baru bisa punya makna ketika sudah bisa dipakai di publik, maka dari itu ini saatnya buat i-nose untuk diujikan ke publik," kata Nuh.
Riyanarto Sarno juga menuturkan, perhatiannya pada masa pandemi ini menuntut untuk segera menghadirkan inovasi baru sebagai bentuk usaha bertahan di situasi ini. Namun, ia menambahkan bahwa untuk menghidupkan inovasi tidaklah mudah, tanpa penelitian yang lanjut maka bisa tertinggal dengan yang lain. "Sama halnya dengan alat skrining COVID-19 , yang semakin hari semakin banyak macam dan metodenya dari rapid antigen sampai PCR," ucapnya.
Guru besar Teknik Informatika ITS ini menegaskan, inovasi alat skrining COVID-19 melalui bau keringat ketiak ini bukan sebagai pengganti tes swab PCR. Tetapi hanya alat skrining atau deteksi awal COVID-19 sebelum seseorang melakukan swab PCR dan sebagai alternatif untuk mempercepat proses skrining. "Cara kerja i-Nose C-19 pun berbeda dengan rapid test berbasis antibodi maupun rapid antigen," kata Ryan, panggilan akrabnya.
Tak hanya sampai di situ, ia melanjutkan bahwa i-Nose C-19 saat ini keefektifannya sudah mencapai minimum 91 persen. "Diharapkan dengan semakin banyaknya sampel yang diuji cobakan pada alat ini nantinya semakin dapat membantu keakuratannya," ungkapnya.
Mengingat, i-Nose C-19 mendeteksi bau yang berasal dari Volatile Organic Compound (VOC) yang terdapat dalam keringat ketiak, pengambilan sampel dilakukan dengan menghisap bau keringat melalui selang kecil. Kemudian disalurkan ke deretan sensor (sensor array) pada i-Nose C-19 . Setelah itu, gas bau tersebut diubah menjadi sinyal listrik dan diolah menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Karena itu, dibutuhkan banyak uji coba dengan berbagai macam orang dengan kondisi tertentu, seperti orang yang terkena penyakit TBC namun negatif COVID-19 , orang yang positif COVID-19 namun tidak ada gejala dan lain-lain. Dalam hal ini akan menambah keakuratan dan keefektifan dari alat tersebut.
Baca Juga
Dirut RSI Jemursari, Bangun Trapsila Purwaka menyadari bahwa COVID-19 telah mempengaruhi seluruh dunia. Begitu juga seluruh dunia sedang berlomba untuk menggalakkan inovasi guna mendeteksi virus ini. "Dengan tes swab PCR yang ada sebenarnya sudah mudah bagi masyarakat untuk mengetahuinya," katanya.
Namun ia mengatakan, tidak semua orang bisa mengeluarkan biaya untuk melakukan tes yang harganya masih terhitung mahal ini. Hal tersebut bisa disimpulkan bahwa diagnosis dengan cari ini masih menjadi masalah. "Dengan hadirnya i-Nose C-19 ini luar biasa menjawab kebutuhan, juga sudah memenuhi kaidah skrining sehingga bisa dipakai untuk massa," tandasnya.
Nantinya, empat alat i-Nose C-19 ini akan diletakkan di ruang rawat inap dua unit dan di ruang rawat jalan dua unit. Karena ini untuk mendukung penelitian dari i-Nose C-19 , menurut Bangun, maka untuk pengaplikasiannya nanti, orang-orang yang akan dites harus sudah di-swab PCR terlebih dulu. Hal ini berlaku untuk pasien dari luar maupun dari RSI sendiri. "RSI beruntung bisa diikut sertakan dalam penelitian ini, ke depannya diharapkan bisa dijadikan tools karena murah dan cepat," katanya.
(eyt)