Buruh Serabutan Sawit di Pesisir Barat Keluhkan Bansos Pemerintah
loading...
A
A
A
PESISIR BARAT - Jarum jam tepat menunjukkan pukul 06.00 WIB, Sabtu pagi (20/2/2021). Ketika sebagian besar penduduk Pekon Sukanegara, Kecamatan Ngambur, Pesisir Barat, masih lelap, pasangan suami istri Muhammad Toha (28) dan Dewi Sartika (25) sudah beranjak dari rumah papannya yang sederhana.
Berbekal dodos (sejenis pisau berbentuk sekop dengan gagang sangat panjang) dan egrek, sejoli ini bergegas menuju areal perkebunan sawit yang berjarak sekitar 5 kilometer dari rumah mereka. Di sana, mereka mengais rejeki sebagai buruh kasar pemetik sawit.
Bukan pekerjaan yang mudah terlebih bagi Dewi yang berkelamin perempuan. Upahnya pun minim. Hanya Rp150 perkilo. Harga itu merupakan upah borongan, mulai dari memetik buah menggunakan dodos, membersihkan pelepah dengan egrek, hingga mengangkut buah menggunakan motor menuju titik pengepul.
Baca juga: Asyik Pesta Seks di Tepi Pantai, Pasangan Mesum Digerebek Polisi Saat Masih Telanjang
Dalam sehari, Toha dan Dewi bisa memanen sampai 1 ton buah sawit atau meraup upah Rp150 ribu. Jika saja pekerjaan ini berlangsung tiap hari, niscaya keluarga ini kecukupan memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka. Sialnya, pekerjaan ini hanya bisa dilakoni delapan kali dalam sebulan. Artinya, Toha dan bininya hanya berpenghasilan Rp1,2 juta sebulan. Jumlah yang sangat minim bagi kehidupan Toha, Dewi, dua anak mereka, serta ibu kandung Toha yang merupakan lansia dan tinggal serumah dengan mereka.
Kondisi inilah yang membuat hati Muhammad Toha terus resah. Raut wajahnya menunjukkan kegelisahan saat ditemui awak media di sela-sela kesibukannya mengunduh sawit. Apalagi, sebagai OTM (Orang Tidak Mampu) ia sekeluarga tidak masuk DTKS Kemensos. Akibatnya, semua program pemerintah untuk penanganan kesejahteraan sosial, tak pernah singgah ke rumahnya.
Sialnya, pendamping PKH (Program Keluarga Harapan) Pekon Sukanegara sempat melambungkan harapan buruh serabutan ini dengan memberikan KKS (Kartu Kesejahteraan Sosial) pada 2019 silam. Merasa berhak menerima bansos PKH karena mengantongi kartu, Dewi Sartika pernah beberapa kali ikut kumpulan saat pencairan dana PKH dan pengambilan BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai).
Baca juga: Nekat Bawa Sabu di Perbatasan Indonesia-Malaysia, 1 Pengedar Disergap Yonif 642
Namun apa lacur, ia pulang dengan kecewa karena KKS miliknya tidak berisi saldo. Negara dikabarkan tidak pernah mengisi kartu yang diduga bodong tersebut. Beras, telur, buah dan sayur juga tak bisa digondol ibu dua anak ini. Dewi marah, hatinya terluka. Itu bisa dilihat dari emosinya saat ditemui di kediamannya Sabtu sore (20-2). “Jadi apa maksudnya negara memberikan kartu ini pada kami?” terangnya.
Mengacu aturan Kemensos tentang PKH, kasus yang dialami Dewi Sartika adalah exclusion error dimana mereka tidak ditetapkan sebagai penerima manfaat meski sebenarnya memenuhi syarat. Hal ini tentu disebabkan buruknya pendataan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) di Kabupaten Pesisir Barat. Meski banyak kriteria penyandang FM-OTM ditemukan dalam keluarga ini, faktanya mereka tidak masuk DTKS. Keadaan ini adalah ironi mengingat sudah berlangsung bertahun-tahun tanpa ada perbaikan.
Berbekal dodos (sejenis pisau berbentuk sekop dengan gagang sangat panjang) dan egrek, sejoli ini bergegas menuju areal perkebunan sawit yang berjarak sekitar 5 kilometer dari rumah mereka. Di sana, mereka mengais rejeki sebagai buruh kasar pemetik sawit.
Bukan pekerjaan yang mudah terlebih bagi Dewi yang berkelamin perempuan. Upahnya pun minim. Hanya Rp150 perkilo. Harga itu merupakan upah borongan, mulai dari memetik buah menggunakan dodos, membersihkan pelepah dengan egrek, hingga mengangkut buah menggunakan motor menuju titik pengepul.
Baca juga: Asyik Pesta Seks di Tepi Pantai, Pasangan Mesum Digerebek Polisi Saat Masih Telanjang
Dalam sehari, Toha dan Dewi bisa memanen sampai 1 ton buah sawit atau meraup upah Rp150 ribu. Jika saja pekerjaan ini berlangsung tiap hari, niscaya keluarga ini kecukupan memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka. Sialnya, pekerjaan ini hanya bisa dilakoni delapan kali dalam sebulan. Artinya, Toha dan bininya hanya berpenghasilan Rp1,2 juta sebulan. Jumlah yang sangat minim bagi kehidupan Toha, Dewi, dua anak mereka, serta ibu kandung Toha yang merupakan lansia dan tinggal serumah dengan mereka.
Kondisi inilah yang membuat hati Muhammad Toha terus resah. Raut wajahnya menunjukkan kegelisahan saat ditemui awak media di sela-sela kesibukannya mengunduh sawit. Apalagi, sebagai OTM (Orang Tidak Mampu) ia sekeluarga tidak masuk DTKS Kemensos. Akibatnya, semua program pemerintah untuk penanganan kesejahteraan sosial, tak pernah singgah ke rumahnya.
Sialnya, pendamping PKH (Program Keluarga Harapan) Pekon Sukanegara sempat melambungkan harapan buruh serabutan ini dengan memberikan KKS (Kartu Kesejahteraan Sosial) pada 2019 silam. Merasa berhak menerima bansos PKH karena mengantongi kartu, Dewi Sartika pernah beberapa kali ikut kumpulan saat pencairan dana PKH dan pengambilan BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai).
Baca juga: Nekat Bawa Sabu di Perbatasan Indonesia-Malaysia, 1 Pengedar Disergap Yonif 642
Namun apa lacur, ia pulang dengan kecewa karena KKS miliknya tidak berisi saldo. Negara dikabarkan tidak pernah mengisi kartu yang diduga bodong tersebut. Beras, telur, buah dan sayur juga tak bisa digondol ibu dua anak ini. Dewi marah, hatinya terluka. Itu bisa dilihat dari emosinya saat ditemui di kediamannya Sabtu sore (20-2). “Jadi apa maksudnya negara memberikan kartu ini pada kami?” terangnya.
Mengacu aturan Kemensos tentang PKH, kasus yang dialami Dewi Sartika adalah exclusion error dimana mereka tidak ditetapkan sebagai penerima manfaat meski sebenarnya memenuhi syarat. Hal ini tentu disebabkan buruknya pendataan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) di Kabupaten Pesisir Barat. Meski banyak kriteria penyandang FM-OTM ditemukan dalam keluarga ini, faktanya mereka tidak masuk DTKS. Keadaan ini adalah ironi mengingat sudah berlangsung bertahun-tahun tanpa ada perbaikan.