Tahun 2021 Sudah di Depan Mata, Hama Tikus di Kabupaten Blitar Masih Merajalela
loading...
A
A
A
BLITAR - Siapa bilang wabah tikus sudah berlalu?. Slamet (47) balik bertanya saat ada yang berkata, petani sudah pada tenang. Petani sudah tidak mengkhawatirkan hama tikus lagi. "Masih. Sampai sekarang masih ada. Bahkan tambah banyak tikusnya," tutur Slamet, petani Kecamatan Wonodadi, Kabupaten Blitar. "Kalau tidak percaya lihat saja ke sawah. Tapi jangan siang hari".
Slamet petani kecil. Sepetak sawahnya hanya berukuran 50 Ru atau 700 meter persegi (1 Ru= 14 meter persegi). Selain bertani, ia juga berprofesi tukang bangunan. Pagi sebelum berangkat kerja sebagai tukang, Slamet selalu menyempatkan menengok sawah. Rampung kerja di bangunan kembali ke sawah. Mengecek tanaman. Memupuk tanaman. Menyemprot pestisida jika melihat ada gejala pertumbuhan yang kurang beres.
(Baca juga: Malam Tahun Baru 2021, 9 Akses Jalan Tutup Total dan Alun-alun Kota Blitar Steril )
"Ya, karena sumber pencahariannya ada di sana (sawah). Kalau gak gitu gak makan," seloroh Slamet. Ketika menanam jagung, ia berharap saat panen bisa meraup hasil yang menggembirakan. Apalagi harga jagung lagi bagus bagusnya. Yakni Rp 4 ribu per kilogram. Biasanya, petak sawahnya bisa menghasilkan tiga empat kuintal untuk sekali panen. "Bayangannya sih begitu," tambah Slamet.
Dipangkas biaya produksi, perawatan serta ongkos tenaga yang tidak pernah dihitung karena alasan sawah milik sendiri, Slamet membayangkan masih bisa mengantongi sisa lebih. Tidak muluk muluk. Baginya cukup untuk makan. Cukup untuk belanja tembakau dan kopi. Juga cukup untuk membayar ongkos sekolah dua anaknya. Terutama si sulung yang kuliah di kampus agama di Kabupaten Tulungagung.
"Eh, tidak tahunya angan angan itu meleset semua. Tiba waktu panen sudah habis digasak tikus," katanya sembari ketawa. Slamet enggan cerita, berapa ongkos produksi yang sudah ia keluarkan. Saat panen yang tidak sesuai ekspektasi itu, ia hanya dapat uang tunai Rp 50 ribu. Nominal yang sangat jauh dari harapan. Slamet jengkel. Saat ditanya marah, petani kecil yang juga memelihara seekor sapi itu, spontan menyahut marah.
(Baca juga: Polisi Gerebek Rumah Tokoh Simpatisan FPI Sidoarjo )
"Rasanya semremet (gregetan)," kata Slamet sembari menahan diri agar tidak kelepasan ungkapan yang tidak pantas. Slamet mengaku sudah tidak kurang kurang berikhtiar. Mulai racun tikus yang katanya ampuh, sudah ia coba. Tikus, kata Slamet memang tergolek mati. Setidaknya ada lima ekor yang meregang nyawa setelah menyantap makanan yang ia pasang sebagai jebakan.
"Tapi itu hanya berlaku sekali dua kali. Berikutnya tikusnya seperti tahu. Makanan hanya dilewati," terang Slamet dengan nada heran. Didorong rasa jengkel, ia bersama petani lain, ambil jalan lebih keras. Pagi, siang, bahkan malam, sarang tikus yang berbentuk lubang di sekitar pematang ia asapi. Kemudian bersama petani lain menyanggong di depan lubang sambil menggamit tongkat pemukul.
Dalam hitungan tidak sampai satu menit, tikus berhamburan keluar. Kawanan pengerat itu tidak tahan asap belerang. Semuanya langsung dibantai tanpa ampun. Tidak ada satu ekor pun yang dibiarkan hidup. Namun kendati demikian, jumlah tikus di sawah tetap banyak. "Yang heran tidak hanya saya. Semua petani juga heran. Tikus seperti tidak ada habisnya," keluh Slamet.
Kawanan tikus itu tiap malam tetap menyerbu tanaman. Tanaman apa saja. Kecuali bawang merah dan cabai yang mungkin getir dan pedas, semua disikat. Mulai tanaman baru tumbuh sampai nanti berbuah, tidak ada yang lolos dari serangan. Yang dirasakan Slamet, setelah dioperasi, serangan tikus malah semakin ganas. Seolah ngamuk menuntut balas teman teman mereka yang dibantai.
(Baca juga: Asyik Mesum di Hotel dan Rumah Kos, 2 Pria dan 2 Wanita Tanpa Baju Diciduk Polisi )
"Tanaman yang lolos pada saat masa tumbuh, nanti dihabisi pada saat berbuah," papar Slamet. Pada saat musim tanam padi, Slamet juga bercocok tanam padi. Hasilnya juga tidak lebih baik dari jagung. Seingat Slamet, sejak awal tahun 2020, yakni bulan Januari sampai akhir Desember ini, hama tikus tidak juga berhenti. Sebagai petani, baru di tahun 2020 ini ia merasakan hama tikus yang begitu awet setahun penuh.
Karena merasa bosan tidak menemukan solusi, para petani tidak lagi melakukan perburuan. Tikus dibiarkan begitu saja berkeliaran. Sementara sosialisasi pemerintah yang menyarankan petani memiara burung hantu dan tidak membunuh ular, dianggap sebagai solusi jangka panjang. Di akhir tahun ini, tanaman cabai Slamet memasuki masa panen. Dan sejauh ini kata dia masih relatif aman.
"Apa ya karena tahun 2020 itu shionya tikus, sehingga tikus seolah menjadi wabah yang berlangsung setahun penuh," pungkas Slamet. Mujiono (60), petani lain memiliki pandangan yang berbeda. Wabah tikus yang melanda petani nyaris setahun penuh, ada kaitannya dengan kearifan lokal yang ditinggalkan petani. Sudah sekitar delapan tahun terakhir, petani tidak lagi menggelar budaya selametan saat hendak memulai cocok tanam.
Tidak ada lagi ritual berdoa bersama di sawah. Yakni berdoa yang diikuti menempatkan sesaji atau cok bakal di empat titik bidang sawah yang hendak ditanami. Bagi Mujiono, hama tikus sedari dulu sudah ada. Namun baru di tahun 2020 serangannya sangat lama dan merata. Disisi lain ia juga percaya, mewabahnya tikus akibat ular yang semakin langka, yakni setelah banyak orang memperjualbelikan. Termasuk burung hantu juga semakin sulit ditemui.
"Dulu ada sesaji cok bakal saat hendak tanam dan panen. Tradisi itu sudah lama tidak dipakai, karena petani lebih percaya obat pabrik," ujar Mujiono yang tanaman padinya juga ludes digasak tikus. Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Blitar Noeryono Darul Yuhanda sebelumnya mengatakan, serangan hama tikus telah merusak kurang lebih 500 hektar tanaman sawah di Kabupaten Blitar.
Serangan tikus terjadi merata di 22 kecamatan. "Kurang lebih 500 hektar dan terjadi merata di 22 kecamatan," ujar Noeryono. Serangan hama tikus yang terjadi pada tahun 2020 diakui lebih hebat dibanding tahun sebelumnya. Fenomena tersebut salah satunya disebabkan pergantian musim yang tidak menentu. Terkait pemberantasan Noeryono menghimbau petani tidak menempuh cara cara yang berbahaya. "Pergantian musim mengakibatkan banyak makanan tikus yang berkurang, sehingga beralih ke sawah," terang Noeryono.
Slamet petani kecil. Sepetak sawahnya hanya berukuran 50 Ru atau 700 meter persegi (1 Ru= 14 meter persegi). Selain bertani, ia juga berprofesi tukang bangunan. Pagi sebelum berangkat kerja sebagai tukang, Slamet selalu menyempatkan menengok sawah. Rampung kerja di bangunan kembali ke sawah. Mengecek tanaman. Memupuk tanaman. Menyemprot pestisida jika melihat ada gejala pertumbuhan yang kurang beres.
(Baca juga: Malam Tahun Baru 2021, 9 Akses Jalan Tutup Total dan Alun-alun Kota Blitar Steril )
"Ya, karena sumber pencahariannya ada di sana (sawah). Kalau gak gitu gak makan," seloroh Slamet. Ketika menanam jagung, ia berharap saat panen bisa meraup hasil yang menggembirakan. Apalagi harga jagung lagi bagus bagusnya. Yakni Rp 4 ribu per kilogram. Biasanya, petak sawahnya bisa menghasilkan tiga empat kuintal untuk sekali panen. "Bayangannya sih begitu," tambah Slamet.
Dipangkas biaya produksi, perawatan serta ongkos tenaga yang tidak pernah dihitung karena alasan sawah milik sendiri, Slamet membayangkan masih bisa mengantongi sisa lebih. Tidak muluk muluk. Baginya cukup untuk makan. Cukup untuk belanja tembakau dan kopi. Juga cukup untuk membayar ongkos sekolah dua anaknya. Terutama si sulung yang kuliah di kampus agama di Kabupaten Tulungagung.
"Eh, tidak tahunya angan angan itu meleset semua. Tiba waktu panen sudah habis digasak tikus," katanya sembari ketawa. Slamet enggan cerita, berapa ongkos produksi yang sudah ia keluarkan. Saat panen yang tidak sesuai ekspektasi itu, ia hanya dapat uang tunai Rp 50 ribu. Nominal yang sangat jauh dari harapan. Slamet jengkel. Saat ditanya marah, petani kecil yang juga memelihara seekor sapi itu, spontan menyahut marah.
(Baca juga: Polisi Gerebek Rumah Tokoh Simpatisan FPI Sidoarjo )
"Rasanya semremet (gregetan)," kata Slamet sembari menahan diri agar tidak kelepasan ungkapan yang tidak pantas. Slamet mengaku sudah tidak kurang kurang berikhtiar. Mulai racun tikus yang katanya ampuh, sudah ia coba. Tikus, kata Slamet memang tergolek mati. Setidaknya ada lima ekor yang meregang nyawa setelah menyantap makanan yang ia pasang sebagai jebakan.
"Tapi itu hanya berlaku sekali dua kali. Berikutnya tikusnya seperti tahu. Makanan hanya dilewati," terang Slamet dengan nada heran. Didorong rasa jengkel, ia bersama petani lain, ambil jalan lebih keras. Pagi, siang, bahkan malam, sarang tikus yang berbentuk lubang di sekitar pematang ia asapi. Kemudian bersama petani lain menyanggong di depan lubang sambil menggamit tongkat pemukul.
Dalam hitungan tidak sampai satu menit, tikus berhamburan keluar. Kawanan pengerat itu tidak tahan asap belerang. Semuanya langsung dibantai tanpa ampun. Tidak ada satu ekor pun yang dibiarkan hidup. Namun kendati demikian, jumlah tikus di sawah tetap banyak. "Yang heran tidak hanya saya. Semua petani juga heran. Tikus seperti tidak ada habisnya," keluh Slamet.
Kawanan tikus itu tiap malam tetap menyerbu tanaman. Tanaman apa saja. Kecuali bawang merah dan cabai yang mungkin getir dan pedas, semua disikat. Mulai tanaman baru tumbuh sampai nanti berbuah, tidak ada yang lolos dari serangan. Yang dirasakan Slamet, setelah dioperasi, serangan tikus malah semakin ganas. Seolah ngamuk menuntut balas teman teman mereka yang dibantai.
(Baca juga: Asyik Mesum di Hotel dan Rumah Kos, 2 Pria dan 2 Wanita Tanpa Baju Diciduk Polisi )
"Tanaman yang lolos pada saat masa tumbuh, nanti dihabisi pada saat berbuah," papar Slamet. Pada saat musim tanam padi, Slamet juga bercocok tanam padi. Hasilnya juga tidak lebih baik dari jagung. Seingat Slamet, sejak awal tahun 2020, yakni bulan Januari sampai akhir Desember ini, hama tikus tidak juga berhenti. Sebagai petani, baru di tahun 2020 ini ia merasakan hama tikus yang begitu awet setahun penuh.
Karena merasa bosan tidak menemukan solusi, para petani tidak lagi melakukan perburuan. Tikus dibiarkan begitu saja berkeliaran. Sementara sosialisasi pemerintah yang menyarankan petani memiara burung hantu dan tidak membunuh ular, dianggap sebagai solusi jangka panjang. Di akhir tahun ini, tanaman cabai Slamet memasuki masa panen. Dan sejauh ini kata dia masih relatif aman.
"Apa ya karena tahun 2020 itu shionya tikus, sehingga tikus seolah menjadi wabah yang berlangsung setahun penuh," pungkas Slamet. Mujiono (60), petani lain memiliki pandangan yang berbeda. Wabah tikus yang melanda petani nyaris setahun penuh, ada kaitannya dengan kearifan lokal yang ditinggalkan petani. Sudah sekitar delapan tahun terakhir, petani tidak lagi menggelar budaya selametan saat hendak memulai cocok tanam.
Tidak ada lagi ritual berdoa bersama di sawah. Yakni berdoa yang diikuti menempatkan sesaji atau cok bakal di empat titik bidang sawah yang hendak ditanami. Bagi Mujiono, hama tikus sedari dulu sudah ada. Namun baru di tahun 2020 serangannya sangat lama dan merata. Disisi lain ia juga percaya, mewabahnya tikus akibat ular yang semakin langka, yakni setelah banyak orang memperjualbelikan. Termasuk burung hantu juga semakin sulit ditemui.
"Dulu ada sesaji cok bakal saat hendak tanam dan panen. Tradisi itu sudah lama tidak dipakai, karena petani lebih percaya obat pabrik," ujar Mujiono yang tanaman padinya juga ludes digasak tikus. Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Blitar Noeryono Darul Yuhanda sebelumnya mengatakan, serangan hama tikus telah merusak kurang lebih 500 hektar tanaman sawah di Kabupaten Blitar.
Serangan tikus terjadi merata di 22 kecamatan. "Kurang lebih 500 hektar dan terjadi merata di 22 kecamatan," ujar Noeryono. Serangan hama tikus yang terjadi pada tahun 2020 diakui lebih hebat dibanding tahun sebelumnya. Fenomena tersebut salah satunya disebabkan pergantian musim yang tidak menentu. Terkait pemberantasan Noeryono menghimbau petani tidak menempuh cara cara yang berbahaya. "Pergantian musim mengakibatkan banyak makanan tikus yang berkurang, sehingga beralih ke sawah," terang Noeryono.
(msd)