Mari Longa, Pejuang asal Flores yang Pantang Menyerah
loading...
A
A
A
FLORES - Niat yang kuat selalu melahirkan keberanian untuk melawan segala tantangan. Niat dan keberanian ditempa oleh paduan alam yang keras dan kesahajaan hidup masyarakat.
Pada tahun 1855, di sebuah desa yang oleh warga setempat saat ini disebut Desa Watu Nggere, Ende, Flores , Nusa Tenggara Timur lahir seorang bayi laki-laki. Tangisan pertamanya, sama seperti bayi umumnya, menimbulkan rasa bahagia bagi keluarga besar yang sedang menanti dan khususnya kedua pasang orangtuanya Longa Rowa dan Kemba Kore. (Baca juga: Mengintip 14 Tenaga Kesehatan Positif Corona yang Menjalani Isolasi Mandiri)
Tangisan itu tanda kehidupan. Bayi lelaki yang hidup itu lalu diberi nama Leba. Waktu berganti dan terus mengalir. Nama yang disematkan pada tubuh bocah kecil itu rupanya tak cocok. Ia sering sakit-sakitan. Kurus dan pucat. Nama adalah doa, keyakinan banyak orang saat ini. Tapi keyakinan ini juga berlaku bagi masyarakat, sejak dulu, termasuk warga Desa Watu Nggere yang hidup dalam kesahajaan bersama alam. Nama adalah doa, pun terjadi pada Leba yang akhirnya diganti dengan nama Mari Longa. Nama Mari diambil dari nama sejenis pohon di hutan yang kulitnya pahit dan batangnya keras. Longa adalah nama depan ayahnya Longa Rowa.
Lantas sang bocah tumbuh sehat dan tegar. Masa kanak berganti remaja. Ia mulai mengikuti sang ayah ke kebun melewati gunung dan ngarai. Ia ikut berburu keluar masuk hutan bersama ayah. Ketangkasan menombak babi hutan, menyumpit monyet merupakan pelajaran praktis yang didapatnya dari sang ayah.
Sebagaimana ditulis Servas Mario dalam Perang Mari Longa (1893-1907), ayahnya Longa Rowa yang juga seorang panglima perang tanah persekutuan Nida dan Kemba Kore, mewariskan keahlian bela diri kepada sang anak. Keahlian ini ternyata membuat Mari pahlawan bagi kampung dan juga kampung tetangganya.
Sebelum Perang Kolonial
Masa-masa awal Belanda masuk dengan politik adu domba memecah suku sepertinya ajang latihan perang bagi Mari Longa. Kemampuan dan ketangkasan memainkan pedang dan tombak terus teruji dan diasah lewat perang antarsuku.
Menurut catatan sejarah, dalam perang antarsuku yang diadu domba penjajah, Mari Longa memenangkan semua peperangan. Kisah perang pertama adalah ketika dia membantu warga Maumere yang hendak berperang melawan suku Mego sekitar tahun 1895. Berkat bantuannya, orang Mego yang tergolong kuat saat itu, akhirnya dikalahkan.
Perang berikutnya yaitu melawan orang Lise Lande pada tahun 1897-1899. Perang ini dimenangkan oleh Mari Longa. Dalam perdamaian Mari Longa mempersunting seorang gadis Lise sebagai tanda ikatan persaudaraan. Perang ketiga, yaitu melawan orang Londi Lada, juga dimenangkan oleh Mari Longa. Perang keempat, melawan orang Detukeli dan perang kelima, melawan pasukan Diko Lawi juga dimenangkan Mari Longa.
Kemenangan demi kemenangan membuat dia mendapat berbagai penghargaan. Tidak hanya berupa puji-puja dan sorak sorai, dia juga dihadiahi dengan perempuan cantik sebagai tanda ikatan kekerabatan.
Kisah tentang Mari Longa yang kharismatik didengar oleh penjajah Belanda setelah tentara Belanda kalah melawan pasukan Bhara Nuri, tahun 1887-1891.
Bhara Nuri, salah seorang sesepuh sekaligus panglima perang wilayah Lio, Woloare Ende. Sebelumnya, Bhara Nuri telah bertempur beberapa kali melawan Raja Ende yang dibantu kolonial Belanda. Bhara Nuri pernah ditangkap dan dibuang ke Kupang. Namun, berhasil lolos dan memperkuat pasukannya.
Pada tahun 1855, di sebuah desa yang oleh warga setempat saat ini disebut Desa Watu Nggere, Ende, Flores , Nusa Tenggara Timur lahir seorang bayi laki-laki. Tangisan pertamanya, sama seperti bayi umumnya, menimbulkan rasa bahagia bagi keluarga besar yang sedang menanti dan khususnya kedua pasang orangtuanya Longa Rowa dan Kemba Kore. (Baca juga: Mengintip 14 Tenaga Kesehatan Positif Corona yang Menjalani Isolasi Mandiri)
Tangisan itu tanda kehidupan. Bayi lelaki yang hidup itu lalu diberi nama Leba. Waktu berganti dan terus mengalir. Nama yang disematkan pada tubuh bocah kecil itu rupanya tak cocok. Ia sering sakit-sakitan. Kurus dan pucat. Nama adalah doa, keyakinan banyak orang saat ini. Tapi keyakinan ini juga berlaku bagi masyarakat, sejak dulu, termasuk warga Desa Watu Nggere yang hidup dalam kesahajaan bersama alam. Nama adalah doa, pun terjadi pada Leba yang akhirnya diganti dengan nama Mari Longa. Nama Mari diambil dari nama sejenis pohon di hutan yang kulitnya pahit dan batangnya keras. Longa adalah nama depan ayahnya Longa Rowa.
Lantas sang bocah tumbuh sehat dan tegar. Masa kanak berganti remaja. Ia mulai mengikuti sang ayah ke kebun melewati gunung dan ngarai. Ia ikut berburu keluar masuk hutan bersama ayah. Ketangkasan menombak babi hutan, menyumpit monyet merupakan pelajaran praktis yang didapatnya dari sang ayah.
Sebagaimana ditulis Servas Mario dalam Perang Mari Longa (1893-1907), ayahnya Longa Rowa yang juga seorang panglima perang tanah persekutuan Nida dan Kemba Kore, mewariskan keahlian bela diri kepada sang anak. Keahlian ini ternyata membuat Mari pahlawan bagi kampung dan juga kampung tetangganya.
Sebelum Perang Kolonial
Masa-masa awal Belanda masuk dengan politik adu domba memecah suku sepertinya ajang latihan perang bagi Mari Longa. Kemampuan dan ketangkasan memainkan pedang dan tombak terus teruji dan diasah lewat perang antarsuku.
Menurut catatan sejarah, dalam perang antarsuku yang diadu domba penjajah, Mari Longa memenangkan semua peperangan. Kisah perang pertama adalah ketika dia membantu warga Maumere yang hendak berperang melawan suku Mego sekitar tahun 1895. Berkat bantuannya, orang Mego yang tergolong kuat saat itu, akhirnya dikalahkan.
Perang berikutnya yaitu melawan orang Lise Lande pada tahun 1897-1899. Perang ini dimenangkan oleh Mari Longa. Dalam perdamaian Mari Longa mempersunting seorang gadis Lise sebagai tanda ikatan persaudaraan. Perang ketiga, yaitu melawan orang Londi Lada, juga dimenangkan oleh Mari Longa. Perang keempat, melawan orang Detukeli dan perang kelima, melawan pasukan Diko Lawi juga dimenangkan Mari Longa.
Kemenangan demi kemenangan membuat dia mendapat berbagai penghargaan. Tidak hanya berupa puji-puja dan sorak sorai, dia juga dihadiahi dengan perempuan cantik sebagai tanda ikatan kekerabatan.
Kisah tentang Mari Longa yang kharismatik didengar oleh penjajah Belanda setelah tentara Belanda kalah melawan pasukan Bhara Nuri, tahun 1887-1891.
Bhara Nuri, salah seorang sesepuh sekaligus panglima perang wilayah Lio, Woloare Ende. Sebelumnya, Bhara Nuri telah bertempur beberapa kali melawan Raja Ende yang dibantu kolonial Belanda. Bhara Nuri pernah ditangkap dan dibuang ke Kupang. Namun, berhasil lolos dan memperkuat pasukannya.