Mari Longa, Pejuang asal Flores yang Pantang Menyerah

Senin, 11 Mei 2020 - 05:00 WIB
loading...
Mari Longa, Pejuang asal Flores yang Pantang Menyerah
Pada tahun 1855, di Desa Watu Nggere, Ende, Flores, NTT lahir seorang bayi laki-laki. Bayi itu setelah besar menjadi pahlawan Flores bernama Mari Longa. Foto/Ist
A A A
FLORES - Niat yang kuat selalu melahirkan keberanian untuk melawan segala tantangan. Niat dan keberanian ditempa oleh paduan alam yang keras dan kesahajaan hidup masyarakat.

Pada tahun 1855, di sebuah desa yang oleh warga setempat saat ini disebut Desa Watu Nggere, Ende, Flores , Nusa Tenggara Timur lahir seorang bayi laki-laki. Tangisan pertamanya, sama seperti bayi umumnya, menimbulkan rasa bahagia bagi keluarga besar yang sedang menanti dan khususnya kedua pasang orangtuanya Longa Rowa dan Kemba Kore. (Baca juga: Mengintip 14 Tenaga Kesehatan Positif Corona yang Menjalani Isolasi Mandiri)
Mari Longa, Pejuang asal Flores yang Pantang Menyerah

Tangisan itu tanda kehidupan. Bayi lelaki yang hidup itu lalu diberi nama Leba. Waktu berganti dan terus mengalir. Nama yang disematkan pada tubuh bocah kecil itu rupanya tak cocok. Ia sering sakit-sakitan. Kurus dan pucat. Nama adalah doa, keyakinan banyak orang saat ini. Tapi keyakinan ini juga berlaku bagi masyarakat, sejak dulu, termasuk warga Desa Watu Nggere yang hidup dalam kesahajaan bersama alam. Nama adalah doa, pun terjadi pada Leba yang akhirnya diganti dengan nama Mari Longa. Nama Mari diambil dari nama sejenis pohon di hutan yang kulitnya pahit dan batangnya keras. Longa adalah nama depan ayahnya Longa Rowa.

Lantas sang bocah tumbuh sehat dan tegar. Masa kanak berganti remaja. Ia mulai mengikuti sang ayah ke kebun melewati gunung dan ngarai. Ia ikut berburu keluar masuk hutan bersama ayah. Ketangkasan menombak babi hutan, menyumpit monyet merupakan pelajaran praktis yang didapatnya dari sang ayah.

Sebagaimana ditulis Servas Mario dalam Perang Mari Longa (1893-1907), ayahnya Longa Rowa yang juga seorang panglima perang tanah persekutuan Nida dan Kemba Kore, mewariskan keahlian bela diri kepada sang anak. Keahlian ini ternyata membuat Mari pahlawan bagi kampung dan juga kampung tetangganya.
Mari Longa, Pejuang asal Flores yang Pantang Menyerah

Sebelum Perang Kolonial

Masa-masa awal Belanda masuk dengan politik adu domba memecah suku sepertinya ajang latihan perang bagi Mari Longa. Kemampuan dan ketangkasan memainkan pedang dan tombak terus teruji dan diasah lewat perang antarsuku.

Menurut catatan sejarah, dalam perang antarsuku yang diadu domba penjajah, Mari Longa memenangkan semua peperangan. Kisah perang pertama adalah ketika dia membantu warga Maumere yang hendak berperang melawan suku Mego sekitar tahun 1895. Berkat bantuannya, orang Mego yang tergolong kuat saat itu, akhirnya dikalahkan.

Perang berikutnya yaitu melawan orang Lise Lande pada tahun 1897-1899. Perang ini dimenangkan oleh Mari Longa. Dalam perdamaian Mari Longa mempersunting seorang gadis Lise sebagai tanda ikatan persaudaraan. Perang ketiga, yaitu melawan orang Londi Lada, juga dimenangkan oleh Mari Longa. Perang keempat, melawan orang Detukeli dan perang kelima, melawan pasukan Diko Lawi juga dimenangkan Mari Longa.

Kemenangan demi kemenangan membuat dia mendapat berbagai penghargaan. Tidak hanya berupa puji-puja dan sorak sorai, dia juga dihadiahi dengan perempuan cantik sebagai tanda ikatan kekerabatan.

Kisah tentang Mari Longa yang kharismatik didengar oleh penjajah Belanda setelah tentara Belanda kalah melawan pasukan Bhara Nuri, tahun 1887-1891.

Bhara Nuri, salah seorang sesepuh sekaligus panglima perang wilayah Lio, Woloare Ende. Sebelumnya, Bhara Nuri telah bertempur beberapa kali melawan Raja Ende yang dibantu kolonial Belanda. Bhara Nuri pernah ditangkap dan dibuang ke Kupang. Namun, berhasil lolos dan memperkuat pasukannya.

Demi mempertahankan martabat, kemerdekaan, dan keadilan, Bhara Nuri akhirnya meminta bantuan Mari Longa. Mari dan anak buahnya maju berperang di garda terdepan. Tak disangka, peperangan ini diakhiri dengan mudah oleh Bhara Nuri dan Mari Longa.

Kekalahan ini membuat Balanda naik pitam. Ahli perang Belanda menyebar mata-mata ke berbagai sudut kampung mencari tahu siapa aktor di balik kemenangan itu. Dari mulut warga terungkap nama Mari Longa yang sebenarnya pahlawan 'bayaran' dari pasukan Bhara Nuri.

Setelah dipastikan Mari Longa sebagai faktor kekalahan, Belanda mangatur strategi. Belanda membentuk pasukan khusus untuk menangkap Mari Longa beserta anak buahnya. Untuk tujuan ini tentara kolonial di Ende dibantu serdadu dari Maumere.

Mari Longa dicari ke setiap perkampungan di Pantai Utara Maumere, mulai dari Magepanda, Kota Baru, Ndondo hingga ke Detuara, Rate Nggoji. Warga yang dicurigai merahasiakan keberadaan Mari disiksa, bahkan sampai ada yang dibunuh secara keji. Ini menyebabkan Mari marah besar.

Episode Perang Kolonial

Dipicu rasa marah itu, Mari dan anak buahnya kemudian menghadang tentara kolonial Belanda yang sedang patroli di Bhoasia. Pasukan kolonial dibuat kocar-kacir. Banyak dari pasukan kolonial yang mati. Sedangkan yang selamat, kembali ke Maumere meminta bala bantuan.

Dari sini mulailah episode perang kolonial itu. Pasukan kolonial yang terdesak setelah mendapat bantuan personil dari Kupang dan Jawa, bergerak dari menuju Ndondo untuk menyerang pasukan Mari Longa.

Kalah karena jumlah pasukan dan persenjataan tak sebanding, bukan alas an bagi Mari dan pasukannya untuk menyerah. Merasa terdesak, Mari berpikir taktis. Ia memerintahkan pasukannya bersembunyi di hutan. Sedangkan dia sendiri menghadap lawan, bukan untuk berperang, tapi menyerahkan diri.

Niat Mari Longa disambut baik pasukan penjajah. Dia lalu dibawa dengan pengawalan ketat pasukan kolonial untuk dipenjara. Karena tampak kooperatif dan patuh, pengawal lengah. Saat itulah Mari kabur dan kembali ke Watu Nggere. Di markasnya Mari kembali perkuat pasukannya.

Pembesar kolonial sangat marah mendengar kejadian tersebut dan mengirim utusan untuk menghadap Mari dengan siasat ajak berunding. Namun, ajakan untuk berunding ditolak oleh Mari.

Sang utusan pulang dengan kabar yang membuat pembesar Belanda marah. Karena tak mau berunding, pihak kolonial kembali melakukan penyerangan. Namun, hasilnya tetap sama. Pasukan kolonial jatuh berguguran, dan kembali lagi ke Ende.

Episode perang Mari Longa melawan Belanda sejatinya dimulai pada tahun 1890, ketika ia membantu Bhara Nuri. Hingga periode 1893 -1897, pasukan Belanda tampaknya makin lemah.

Memasuki episode perang kolonial II tahun 1898-1902, pasukan penjajah terjebak strategi Mari Longa. Pasukan Belanda digiring memasuki hutan sehingga mereka menyerah kalah. Belanda mengajak damai dan menawarkan Mari Longa menjadi raja. Kali ini, Mari yang terjebak. Karena setelah berdamai, Mari tidak diangkat menjadi raja di Watunggere.

Kekecewaan ini menimbulkan perang kolonial III pada tahun 1905. Belanda membakar kampung Lewa Nggere. Mari Longa dan pasukannya tidak terima. Lalu mereka membantai serdadu Belanda.

Selanjutnya, pada tahun 1906 meletus perang kolonial IV. Pasukan Belanda banyak yang jatuh korban karena terkena tembakan anak panah otomatis yang dipasang pada jalan masuk kampung Watu Nggere dan jalan di hutan, dekat benteng Watu Nggere yang merupakan perkampungan Belanda. Ini memaksa Belanda menarik pasukannya dari wilayah Mari kembali ke Ende.

Rupanya penarikan pasukan hanya untuk konsolidasi kekuatan. Pada 1907, di bawah pimpinan kapten Christoffel, Belanda melancarkan serangan. Benteng pertahanan pasukan Mari runtuh, dan sang panglima perang yang pantang menyerah itu gugur dalam perang kolonial V ini.

Mari Longa telah pergi, tapi spirit perjuangannya tetap ada dan diabadikan lewat lagu, nama jalan di kota Ende, dan juga patung Mari Longa. Ada patung versi lama dan kemudian dibangun patung yang lebih besar.

- Diolah dari berbagai sumber
(shf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0861 seconds (0.1#10.140)