Kisah Pasar Pabean dan Jalur Sutra Kolonial Belanda yang Membelah Surabaya

Kamis, 12 November 2020 - 09:53 WIB
loading...
Kisah Pasar Pabean dan Jalur Sutra Kolonial Belanda yang Membelah Surabaya
Pasar Pabean yang legendaris dan merupakan cagar budaya masih menjadi urat nadi perekonomian warga Surabaya. Foto/SINDOnews/Aan Haryono
A A A
SURABAYA - Pasar Pabean menjadi saksi bisu pergerakan uang mengalir begitu deras di perairan Kota Surabaya . Jalur sutra yang dipakai kolonial Belanda ketika memeras kekayaan alam di Indonesia.

Banyak darah dan air mata menetes dalam riuh harapan untuk merdeka. Pabean menjadi tempat bersandar kapal dan komoditas yang dikirim ke Negeri Kincir Angin. Tempat yang tak pernah tidur dalam lipatan sejarah yang kelam bagi pribumi. (Baca juga: Kisah Mbah Harjo Suwito, Pengungsi Gunung Merapi Tertua yang Pernah Ikut Romusha)
Kisah Pasar Pabean dan Jalur Sutra Kolonial Belanda yang Membelah Surabaya

Sisa kolonial masih berdiri kokoh menuju Pabean sejak dari jembatan merah yang menjadi pertanda Ujung Galuh yang mempertemukan Surabaya. Tembok yang sebagian masih berdiri sudah tak berpenghuni. Jalanan masih mulus tanpa ada lubang sama sekali. Padahal dulu kawasan itu menjadi pintu masuk perdagangan antar bangsa yang ingin masuk ke Surabaya. (Baca juga: Vila Bule Australia di Bali Digerebek, Produksi Cairan Daun Kratom)

Kumpulan kayu itu berdiri seadanya di depan pertokoan yang dulu dijadikan Belanda sebagai transit perdagangan. Ada yang masih tersisa dijadikan toko buku, gudang, sampai tempat penimbunan cengkeh. Sejarah masih terekam dengan jelas. Transaksi ekonomi masih bertahan di sana tanpa hilangnya denyut kehidupan.

Zainul, salah satu buruh panggul yang masih tersisa di Pasar Pabean masih melihat kejayaan Pabean sampai saat ini. Tak ada yang berubah, semua tetap ramai dan menghasilkan tumpukan rupiah. “Alhamdulilah saya masih bisa dapat rejeki dari angkat-angkat barang di pasar,” katanya, Kamis (12/11/2020).

Pusaran ekonomi Surabaya yang memasok pasar-pasar tradisional di berbagai wilayah masih dikendalikan dari Pabean. Mulai dari kebutuhan pokok, ikan, daging segar sampai komoditas lainnya.

Pada masa kolonial pun, pusat kegiatan ditempatkan di wilayah Surabaya bagian utara. Pusat kota itu melewati kawasan Jembatan Merah dan Jalan Pahlawan. Untuk lokasi permukiman berada tidak jauh dari pusat kegiatan yang tertata di Jalan Diponegoro, Jalan Dr Sutomo, Jalan Darmo, Jalan Urip Sumoharjo, Jalan Pemuda, Jalan Genteng Kali, dan Jalan Wijaya Kusuma.

Lambat laun seiring perkembangan Kota Surabaya menjadi kota dengan daya tarik kuat khususnya di bidang ekonomi, sosial budaya, dan politik maka lokasi permukiman mulai menyebar ke arah yang lebih luas, yaitu ke Surabaya Selatan, Timur dan Barat.

Bukti sejarah mencatat dalam prasasti Trowulan I yang berangka tahun 1358 Masehi bahwa Surabaya merupakan sebuah desa di tepian sungai yang berfungsi sebagai tempat penyeberangan.

Peran sungai yang melewati Kota Surabaya mempunyai sumbangsih penting dalam penciptaan jaringan jalan Kota Surabaya di masa lalu. Pola jaringan jalan utama Kota Surabaya selalu mengikuti pola aliran Kalimas. Hal ini disebabkan konsentrasi penduduk Kota Surabaya memang berada di tepian kedua sungai tersebut.

Akibat pola jalan yang memanjang mengikuti aliran sungai dari Selatan menuju ke Utara serta penduduk yang terkonsentrasi di kedua tepian sungai, maka konsekuensinya adalah banyak ditemukan jembatan yang menghubungkan penduduk di kedua tepian sungai. Salah satunya seperti jembatan Patok, Peneleh, Bibis, kalianyar, Jagalan, Genteng atau van Deventerlaan dan Cantikan.

Pada tahun 1950-an jumlah jembatan bertambah ke arah selatan, misalnya Jembatan Gubeng, Wonokromo, Sonokembang. Jembatan itu menjadi pendukung transportasi yang terus berkembang ke berbagai pemukiman.

Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 1825, pusat Kota Surabaya masih terletak di daerah Jembatan Merah. Mereka berada di bagian barat Jembatan Merah yang terdiri atas pemukiman orang Eropa. Sementara untuk kawasan penduduk Tionghoa, Arab dan Melayu berdiam di sebelah timur Jembatan Merah. Sedangkan penduduk asli Surabaya menyebar sepanjang Kalimas di sebelah selatan kota.

Sekitar abad 18, Kalimas juga menjadi sumber kehidupan baik sebagai bahan baku air untuk persawahan juga sebagai bahan baku air bersih. Proses pengolahan air Kalimas menjadi air bersih melalui penjernihan dengan overmangaanzure (KMnO4) dan tawas (alum).

Selanjutnya direbus dan disaring. Jika terjadi epidemi kolera, maka dianjurkan agar air yang telah dimasak sekalipun ditambah dengan zoutzuur. Selain sebagai sumber air, Kalimas juga menjadi penampung air untuk pematusan dan pembuangan limbah. Semua itu membuat warga Surabaya menjadi sejahtera. Pertanian berhasil dengan dukungan sungai yang memadai.

Bau ikan tongkol dan bawang merah begitu menyengat. Udara menjadi pekat dalam debu setelah ratusan karung tepung diturunkan dari kapal menuju truk bermuatan besar. Rasanya tak cukup bagi Pasar Pabean untuk menampung semua dagangan.

Kayu-kayu penyangga yang dijadikan tempat muatan ikan sudah disiapkan. Para buruh panggul masih cekatan memindahkan ikan dengan memakai sarung tangan hitam di tangannya. Mereka pecah dalam bising kendaraan. Sesekali riuh canda itu pecah ketika seorang gadis manis berkerudung melintas dihadapan mereka.

Mereka pun berdesakan. Saling bersenggolan karena jalan akses menuju pasar Pabean hanya cukup untuk satu kendaraan. Ketika ada kendaraan cukup besar maka mereka harus menepikan diri ke tembok. Menempelkan tubuh mereka untuk menghindari benturan dengan kendaraan yang melintas.

Tak ayal, jalan akses menuju pasar Pabean seperti Jalan KH Mas Mansyur dan Jalan Panggung sudah tak bisa dipakai melintas. Deretan kendaraan roda empat yang memuat berbagai dagangan sudah antre panjang. Tiap pekerjanya tak memiliki waktu jeda. Semuanya menunggu segera selesai menaikkan dagangan yang siap disitribusikan ke seluruh Surabaya maupun daerah lain di Jatim.

Denyut perdagangan itu masih terlihat. Pabean tetap menjadi pusaran perdagangan. Peredaran uang di sana menembus 24 jam, tak ada yang berhenti. Pabean sendiri merupakan tempat pemberhentian Kalimas yang dilakukan era terdahulu. Para buruh panggul kini menunggu ludruk di tepi kali dimulai. Hiburan bagi masyarakat pinggiran yang masih ada di Kalimas.

Keramaian itu menjadi sisa kejayaan Pabean karena Kalimas. Sebelum 1920, pelabuhan Kalimas berada sekitar 100 meter sebelah utara Jembatan Merah. Lokasi ini sama persis dengan ujung barat pasar Pabean. Akses barang dangangan yang dibawa saudagar dari luar negeri selalu bersandar di sana.

Sampai saat ini, sisa sisa pelabuhan itu masih terlihat dengan tanah yang lapang yang dipagari bangunan era abad 18 menghadap sungai. Menara Sjahbandar pelabuhan masih berdiri kokoh. Temboknya yang kusam termakan zaman. Beberapa bibir dinding itu retak.

Nama Pabean sendiri disematkan karena memang di tempat ini biaya pajak impor atau kepabeanan dipungut. Lokasinya yang menjadi pintu masuk dan keluar kapal menjadi sangat strategis. Di sepanjang jalan jalur dari laut menuju pelabuhan, banyak gudang dan pabrik yang memiliki dermaga masing-masing. Begitu sibuk Kalimas saat itu, sampai setelah 1.900 dipikirkan membangun pelabuhan di hilir yang kini bernama Tanjung Perak.

Sungai Kalimas-lah yang sebenarnya membuat Surabaya berkembang, mengenalkan Surabaya ke dunia luar. Anak Sungai Brantas itu membuat kota dagang ini begitu tersohor sampai kini. Orang luar belum mengenal Indonesia tapi mereka sudah mengetahui Kalimas.

Sejak abad 18 Kalimas memiliki pelabuhan terpanjang dengan dilengkapi ratusan pabrik dan gudang di sepenjang pinggir sungai. Jumlah ini terbanyak, bahkan Batavia tidak bisa menandingi kehebatan Kalimas karena tidak ada sungai selebar dan setenang Kalimas di tanah Jawa.

Sisa sisa kejayaan kalimas saat ini masih bisa dilihat di pelabuhan rakyat Jalan Kalimas Baru. Lokasinya berpindah sekitar satu kilometer ke arah hilir dari tempat semula. Perdagangan di pelabuhan kapal kayu pernah mencatat sejarah gemilang. Bahkan hingga akhir 1970-an, lebih dari seratus perusahaan pelayaran yang singgah. Kini perusahaan yang masih aktif bongkar muat tinggal 25 perusahaan saja.

Tidak semua kapal bisa masuk kalimas saat itu akibat tidak ada dermaga pinggir laut seperti sekarang. Kapal dari luar negeri, terpaksa parkir di tengah laut. Untuk membongkar atau memuat barang-barang kargonya digunakanlah tongkang-tongkang atau kapal-kapal sekunar yang menghubungkan mereka langsung ke Pabean.
(shf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1791 seconds (0.1#10.140)