Ini Penyebab Perceraian Meningkat Selama Pandemi
loading...
A
A
A
SURABAYA - Selama pandemi COVID-19 angka perceraian terus naik. Berbagai pihak menyebut masalah finansial dan efek psikologis akibat situasi karantina menjadi salah satu pemicu utama.
Namun, ada faktor lain yang perlu diwaspadai menurut para psikologi sebagai dinamika pernikahan. (Baca juga: Selama Pandemi Covid-19, Kasus Perceraian di Gresik Meningkat )
Dosen Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Tri Kurniati Ambarini MPsi mengatakan, pasangan yang telah menikah umumnya akan mengalami tujuh tahapan pernikahan. Tahapan-tahapan tersebut terdiri atas passion atau gairah, realisasi, pemberontakan, kerja sama, reuni, ledakan, serta penyelesaian. Ketujuh tahapan tersebut akan diikuti oleh serangkaian fase-fase krisis berdasarkan umur pernikahan. (Baca juga: 7 Hari Lockdown, Pengadilan Agama Jakut Diserbu Pemohon Perceraian )
Pandemi menjadi salah satu penyerta, fase krisis pertama di pernikahan umumnya muncul di tahun ketiga. Pada tahun itu banyak adaptasi yang terjadi antara suami dan istri. Untuk mengatasinya, dibutuhkan diskusi dan penyesuaian baik sebelum maupun selama menjalani kehidupan rumah tangga.
“Mereka yang berhasil melewati tahap ini umumnya akan mampu bertoleransi terhadap sikap dan sifat pasangan,” kata Tri, Senin (2/11/2020).
Dia mengatakan, untuk fase kedua terjadi di tahun kelima pernikahan yang biasanya muncul akibat masalah finansial yang belum mapan. “Jika tengah menginjak fase ini, hendaknya suami dan istri mulai bersepakat untuk berbagi peran agar keadaan keuangan segera stabil,” kata dia.
Fase selanjutnya terjadi pada tahun kesepuluh di mana perekonomian mulai mapan serta keduanya telah memiliki anak di usia sekolah. Sayangnya, usia pernikahan ini begitu rawan kehadiran orang ketiga karena baik suami maupun istri mulai tenggelam dalam dunianya sendiri.
“Sang istri mulai menikmati perannya sebagai seorang ibu dan istri, sementara suami mulai kehilangan perhatian,” sambung ahli psikologi anak dan dewasa tersebut.
Sementara itu, pada tahun kelima belas pernikahan, baik suami dan istri rentan mengalami masalah eksistensi diri. Krisis identitas diri tersebut akan diikuti dengan fase tahun pernikahan kedua puluh di mana baik suami dan istri mengalami masa refleksi. Terakhir adalah fase krisis di tahun kedua puluh lima pernikahan yang mana pasangan akan mulai mengalami penyakit degeneratif serta gangguan lain akibat usia senja.
“Pada masa ini ketergantungan terhadap pasangan akan semakin kuat. Mereka yang berhasil mencapai fase ini akan menyadari bahwa satu-satunya yang mereka butuhkan saat itu adalah kehadiran pasangan sebagai teman hidup di masa tua,” kata dia.
Maka berdasarkan fase-fase tersebut, kata dia, pandemi COVID-19 dan segala dampaknya mungkin saja turut menjadi pemicu keretakan hubungan rumah tangga. Akan tetapi tanpa adanya pandemi pun setiap pasangan pasti akan mengalami fase-fase krisis tersebut.
Tri mengatakan, manajemen psikologis, toleransi, serta diskusi menjadi poin utama untuk mencegah dan mengatasi masalah dalam pernikahan. Sehingga kehidupan masih bisa dilanjutkan dengan nyaman.
Namun, ada faktor lain yang perlu diwaspadai menurut para psikologi sebagai dinamika pernikahan. (Baca juga: Selama Pandemi Covid-19, Kasus Perceraian di Gresik Meningkat )
Dosen Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Tri Kurniati Ambarini MPsi mengatakan, pasangan yang telah menikah umumnya akan mengalami tujuh tahapan pernikahan. Tahapan-tahapan tersebut terdiri atas passion atau gairah, realisasi, pemberontakan, kerja sama, reuni, ledakan, serta penyelesaian. Ketujuh tahapan tersebut akan diikuti oleh serangkaian fase-fase krisis berdasarkan umur pernikahan. (Baca juga: 7 Hari Lockdown, Pengadilan Agama Jakut Diserbu Pemohon Perceraian )
Pandemi menjadi salah satu penyerta, fase krisis pertama di pernikahan umumnya muncul di tahun ketiga. Pada tahun itu banyak adaptasi yang terjadi antara suami dan istri. Untuk mengatasinya, dibutuhkan diskusi dan penyesuaian baik sebelum maupun selama menjalani kehidupan rumah tangga.
“Mereka yang berhasil melewati tahap ini umumnya akan mampu bertoleransi terhadap sikap dan sifat pasangan,” kata Tri, Senin (2/11/2020).
Dia mengatakan, untuk fase kedua terjadi di tahun kelima pernikahan yang biasanya muncul akibat masalah finansial yang belum mapan. “Jika tengah menginjak fase ini, hendaknya suami dan istri mulai bersepakat untuk berbagi peran agar keadaan keuangan segera stabil,” kata dia.
Fase selanjutnya terjadi pada tahun kesepuluh di mana perekonomian mulai mapan serta keduanya telah memiliki anak di usia sekolah. Sayangnya, usia pernikahan ini begitu rawan kehadiran orang ketiga karena baik suami maupun istri mulai tenggelam dalam dunianya sendiri.
“Sang istri mulai menikmati perannya sebagai seorang ibu dan istri, sementara suami mulai kehilangan perhatian,” sambung ahli psikologi anak dan dewasa tersebut.
Sementara itu, pada tahun kelima belas pernikahan, baik suami dan istri rentan mengalami masalah eksistensi diri. Krisis identitas diri tersebut akan diikuti dengan fase tahun pernikahan kedua puluh di mana baik suami dan istri mengalami masa refleksi. Terakhir adalah fase krisis di tahun kedua puluh lima pernikahan yang mana pasangan akan mulai mengalami penyakit degeneratif serta gangguan lain akibat usia senja.
“Pada masa ini ketergantungan terhadap pasangan akan semakin kuat. Mereka yang berhasil mencapai fase ini akan menyadari bahwa satu-satunya yang mereka butuhkan saat itu adalah kehadiran pasangan sebagai teman hidup di masa tua,” kata dia.
Maka berdasarkan fase-fase tersebut, kata dia, pandemi COVID-19 dan segala dampaknya mungkin saja turut menjadi pemicu keretakan hubungan rumah tangga. Akan tetapi tanpa adanya pandemi pun setiap pasangan pasti akan mengalami fase-fase krisis tersebut.
Tri mengatakan, manajemen psikologis, toleransi, serta diskusi menjadi poin utama untuk mencegah dan mengatasi masalah dalam pernikahan. Sehingga kehidupan masih bisa dilanjutkan dengan nyaman.
(nth)