Mistis Kampung Pitu, Hanya Bisa Dihuni 7 KK di Timur Gunung Nglanggeran
loading...
A
A
A
GUNUNGKIDUL - Ada cerita menarik di salah satu dusun yang berada di sisi timur Gunung Api Purba Nglanggeran , Patuk, Gunungkidul , DIY yaitu Kampung Pitu (Tujuh). Artinya di kampung tersebut hanya bisa dihuni 7 kepala keluarga (KK), tidak bisa kurang dan tidak bisa lebih.
Lokasi dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut (Mdpl) ini memiliki sebuah aura yang berbeda. Hingga kini warga tidal berani membuat KK lebih dari 7 dan hanya mendiami 7 rumah. Dengan demikian ketika sudah meniikahkan anak, maka anak harus keluar dari wilayah tersebut. (Baca juga: Tokoh Adat dan Jawara Banten Sebut Kabareskrim Jenderal Tanpa Sekat)
Lurah Nglanggeran, Senen mengatakan, di Kampung Pitu memang masih ada kepercayaan yang kuat, yaitu hanya memiliki 7 KK. Warga tidak berani melanggar karena memang ada yang terkena dampaknya. "Jadi dulu pernah ada yang nekat membangun rumah dan tinggal di Kampung Pitu melebihi kebiasaan yaitu tujuh rumah. Akhirnya sakit-sakitan dan meninggal dunia. Dari kejadian itu sampai sekarang warga tidak berani menambah atau mengurangi KK," terangnya kepada SINDOnews. (Baca juga: Syekh Ali Jabir Ditusuk, Muhammadiyah: Itu Perbuatan Jahiliyah, Harus Diusut)
Menurut cerita yang turun temurun dipercaya warga setempat, awal mula terjadinya Kampung Pitu berawal dari keberadaan pusaka milik Keraton Yogyakarta yang berada di dalam pohon Kinah Gadung Wulung. Pihak Keraton pun membuat sayembara barang siapa bisa menjaga dan menemukan pusaka di dalam pohon tersebut bakal menerima hadiah berupa lahan di sekitar pohon Kinah tersebut dengan luas sekitar 7 hektare. Akhirnya Eyang Iro Kromo yang berhasil merawat pusaka sehingga mendapatkan lahan tersebut.
Namun setelah beberapa tahun kemudian benda pusaka itu tidak diketahui keberadaanya. Setelah kejadian tersebut banyak orang-orang sakti yang berdatangan dan ingin tinggal di daerah Kampung Pitu. Namun demikian hanya tujuh orang yang kuat hidup dan yang lain meninggal. "Jadi pantangan itu jika dilanggar maka akan terjadi musibah di dalam 1 keluarga mulai dari sakit-sakitan hingga meninggal dunia," kata Senen.
Di lokasi Kampung Pitu terdapat sumber mata air yang menurut cerita merupakan bekas Tlogo Guyangan (telaga kecil untuk mandi). Telaga ini dipercaya sebagai tempat pemandian Jaran Sembrani (kuda gaib) yang menjadi kendaraan bidadari. Setiap Jaran Sembrani yang turun ingin mandi maka menginjakan kaki di batu besar samping telaga tersebut.
Tapak kaki Jaran Sembrani akan membekas di batu. Namun saat ini Tlogo Guyangan sudah tertutup oleh lumpur dan akhirnya dimanfaatkan warga sekitar untuk area persawahan. Sumber mata air yang berada di samping tlogo digunakan untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat sekitar dan digunakan untuk irigasi persawahan.
Salah satu keturunan Eyang Iro Kromo yang boleh menetap di Kampung Pitu adalah Rejodimulyo. Kakek Rejodimulyo kini sudah berusia sekitar 103 tahun ini mengaku menikah dengan istri yang dia minta sebelum istrinya tersebut dilahirkan.
Dalam ceritanya ada keanehan tersendiri karna dia meminta istri pada orang dewasa yang belum menikah. "Jadi waktu itu saya disuruh menggembala kerbau. Akhirnya saya mau tapi nanti kalau sampeyan (anda) menikah dan punya anak maka anaknya harus menikah dengan saya," tuturnya.
Benar saja Rejodimulyo akhirnya menikahi istrinya yang sudah ditunggu sejak belum lahir. "Saya memiliki 16 anak dan 10 yang hidup," kata dia.
Hingga saat ini di kampung tersebut dihuni keturunan Eyang Iro Kromo dan hanya dihuni 7 KK dengan 30 jiwa. "Pokoknya kalau sudah menikah saya suruh membuat rumah di luar Kampung Pitu ini. Boleh di sekitar lahan dengan luas 7 hektare pemberian Keraton Yogyakarta ini," pungkasnya.
Lokasi dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut (Mdpl) ini memiliki sebuah aura yang berbeda. Hingga kini warga tidal berani membuat KK lebih dari 7 dan hanya mendiami 7 rumah. Dengan demikian ketika sudah meniikahkan anak, maka anak harus keluar dari wilayah tersebut. (Baca juga: Tokoh Adat dan Jawara Banten Sebut Kabareskrim Jenderal Tanpa Sekat)
Lurah Nglanggeran, Senen mengatakan, di Kampung Pitu memang masih ada kepercayaan yang kuat, yaitu hanya memiliki 7 KK. Warga tidak berani melanggar karena memang ada yang terkena dampaknya. "Jadi dulu pernah ada yang nekat membangun rumah dan tinggal di Kampung Pitu melebihi kebiasaan yaitu tujuh rumah. Akhirnya sakit-sakitan dan meninggal dunia. Dari kejadian itu sampai sekarang warga tidak berani menambah atau mengurangi KK," terangnya kepada SINDOnews. (Baca juga: Syekh Ali Jabir Ditusuk, Muhammadiyah: Itu Perbuatan Jahiliyah, Harus Diusut)
Menurut cerita yang turun temurun dipercaya warga setempat, awal mula terjadinya Kampung Pitu berawal dari keberadaan pusaka milik Keraton Yogyakarta yang berada di dalam pohon Kinah Gadung Wulung. Pihak Keraton pun membuat sayembara barang siapa bisa menjaga dan menemukan pusaka di dalam pohon tersebut bakal menerima hadiah berupa lahan di sekitar pohon Kinah tersebut dengan luas sekitar 7 hektare. Akhirnya Eyang Iro Kromo yang berhasil merawat pusaka sehingga mendapatkan lahan tersebut.
Namun setelah beberapa tahun kemudian benda pusaka itu tidak diketahui keberadaanya. Setelah kejadian tersebut banyak orang-orang sakti yang berdatangan dan ingin tinggal di daerah Kampung Pitu. Namun demikian hanya tujuh orang yang kuat hidup dan yang lain meninggal. "Jadi pantangan itu jika dilanggar maka akan terjadi musibah di dalam 1 keluarga mulai dari sakit-sakitan hingga meninggal dunia," kata Senen.
Di lokasi Kampung Pitu terdapat sumber mata air yang menurut cerita merupakan bekas Tlogo Guyangan (telaga kecil untuk mandi). Telaga ini dipercaya sebagai tempat pemandian Jaran Sembrani (kuda gaib) yang menjadi kendaraan bidadari. Setiap Jaran Sembrani yang turun ingin mandi maka menginjakan kaki di batu besar samping telaga tersebut.
Tapak kaki Jaran Sembrani akan membekas di batu. Namun saat ini Tlogo Guyangan sudah tertutup oleh lumpur dan akhirnya dimanfaatkan warga sekitar untuk area persawahan. Sumber mata air yang berada di samping tlogo digunakan untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat sekitar dan digunakan untuk irigasi persawahan.
Salah satu keturunan Eyang Iro Kromo yang boleh menetap di Kampung Pitu adalah Rejodimulyo. Kakek Rejodimulyo kini sudah berusia sekitar 103 tahun ini mengaku menikah dengan istri yang dia minta sebelum istrinya tersebut dilahirkan.
Dalam ceritanya ada keanehan tersendiri karna dia meminta istri pada orang dewasa yang belum menikah. "Jadi waktu itu saya disuruh menggembala kerbau. Akhirnya saya mau tapi nanti kalau sampeyan (anda) menikah dan punya anak maka anaknya harus menikah dengan saya," tuturnya.
Benar saja Rejodimulyo akhirnya menikahi istrinya yang sudah ditunggu sejak belum lahir. "Saya memiliki 16 anak dan 10 yang hidup," kata dia.
Hingga saat ini di kampung tersebut dihuni keturunan Eyang Iro Kromo dan hanya dihuni 7 KK dengan 30 jiwa. "Pokoknya kalau sudah menikah saya suruh membuat rumah di luar Kampung Pitu ini. Boleh di sekitar lahan dengan luas 7 hektare pemberian Keraton Yogyakarta ini," pungkasnya.
(shf)