Riset Urban Policy: Kebijakan Penanganan Corona di Kota Depok Lemah
loading...
A
A
A
JAKARTA -
Urban Policy mengungkapkan kebijakan penanganan virus Corona (COVID-19) di Kota Depok, Jawa Barat cenderung lemah. Hal itu didapat melalui riset dan simulasi eksponensial untuk mengetahui efektivitas PSBB I dan II di daerah tersebut.
“Penelitian ini membandingkan angka riil pergerakan kasus positif Kota Depok dengan tiga skema skenario kebijakan, yaitu kebijakan penanganan lemah, moderat dan ketat,” kata Direktur Eksekutif Urban Policy, Nurfahmi Islami Kaffah, dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews, Selasa (5/5/2020).
Kelemahan PSBB Kota Depok terlihat dari perbandingan tren penambahan kasus positif selama enam hari pertama PSBB I dan II di Kota Depok. Rerata penularan PSBB I berjumlah 9,67 orang terinfeksi setiap harinya. Sementara di fase awal PSBB II tercatat rata-rata penularan 9,16 orang terinfeksi setiap harinya.
Selain itu, rekor puncak pasien positif masih terjadi di masing-masing fase PSBB. Puncak pasien positif tertinggi pada PSBB I terjadi di hari ke-8 yang berjumlah 24 orang dalam sehari. Sementara, pada PSBB II terjadi di hari ke-2 yaitu sebanyak 23 pasien positif dalam sehari.
“Hal ini mengindikasikan instrumen kebijakan PSBB I dan II di Kota Depok belum optimal menekan laju pertambahan kasus positif secara signifikan,” ujar dia.
(Baca: Kabupaten Tasikmalaya Nihil, Depok Paling Tinggi Jumlah Positif Corona)
Dalam beberapa aspek penanganan, Pemerintah Kota (Pemkot) Depok laik diapresiasi. Namun secara spesifik, kebijakan PSBB di Kota Depok ini memerlukan serangkaian perbaikan serius agar aktivitas mobilitas penduduk dapat ditekan dan penularan virus Corona juga dapat diminimalisasi.
Ada tiga poin yang perlu menjadi evaluasi utama efektifitas PSBB di Kota Depok. Pertama, tidak adanya instrumen sanksi hukum yang tegas bagi pelanggar PSBB. Sebab, jika ditinjau dalam Peraturan Wali Kota Depok Nomor 22 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam penanganan COVID-19, tidak ditemukan bentuk sanksi hukum yang jelas perihal pelanggaran PSBB.
Berikutnya, masih terbatasnya jumlah check point di Kota Depok. Ditambah lagi, beberapa check point tidak beroperasi secara efektif dan pengawasan cenderung melonggar sehingga mobilisasi warga secara masif masih terjadi. “Ketiga, kesadaran dan kepedulian masyarakat yang masih sangat rendah,” ujar Nurfahmi.
Lewat penelitian itu, Urban Policy memprediksi kasus positif COVID-19 di Kota Depok akan terus bertambah jika kebijakan penanganan tidak dievalusi dan diperketat. Meskipun dilihat trennya, penambahan kasus positif di Depok memang setelah PSBB II ini cenderung landai.
“Bukan berarti Depok sudah selesai melawan COVID-19, karena potensi pertambahan kasus masih sangat mungkin terjadi. Belum lagi proses rapid test dan PCR juga masih terus berjalan. Artinya, masih sangat mungkin melonjak untuk beberapa waktu ke depan,” terang dia.
Urban Policy mengungkapkan kebijakan penanganan virus Corona (COVID-19) di Kota Depok, Jawa Barat cenderung lemah. Hal itu didapat melalui riset dan simulasi eksponensial untuk mengetahui efektivitas PSBB I dan II di daerah tersebut.
“Penelitian ini membandingkan angka riil pergerakan kasus positif Kota Depok dengan tiga skema skenario kebijakan, yaitu kebijakan penanganan lemah, moderat dan ketat,” kata Direktur Eksekutif Urban Policy, Nurfahmi Islami Kaffah, dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews, Selasa (5/5/2020).
Kelemahan PSBB Kota Depok terlihat dari perbandingan tren penambahan kasus positif selama enam hari pertama PSBB I dan II di Kota Depok. Rerata penularan PSBB I berjumlah 9,67 orang terinfeksi setiap harinya. Sementara di fase awal PSBB II tercatat rata-rata penularan 9,16 orang terinfeksi setiap harinya.
Selain itu, rekor puncak pasien positif masih terjadi di masing-masing fase PSBB. Puncak pasien positif tertinggi pada PSBB I terjadi di hari ke-8 yang berjumlah 24 orang dalam sehari. Sementara, pada PSBB II terjadi di hari ke-2 yaitu sebanyak 23 pasien positif dalam sehari.
“Hal ini mengindikasikan instrumen kebijakan PSBB I dan II di Kota Depok belum optimal menekan laju pertambahan kasus positif secara signifikan,” ujar dia.
(Baca: Kabupaten Tasikmalaya Nihil, Depok Paling Tinggi Jumlah Positif Corona)
Dalam beberapa aspek penanganan, Pemerintah Kota (Pemkot) Depok laik diapresiasi. Namun secara spesifik, kebijakan PSBB di Kota Depok ini memerlukan serangkaian perbaikan serius agar aktivitas mobilitas penduduk dapat ditekan dan penularan virus Corona juga dapat diminimalisasi.
Ada tiga poin yang perlu menjadi evaluasi utama efektifitas PSBB di Kota Depok. Pertama, tidak adanya instrumen sanksi hukum yang tegas bagi pelanggar PSBB. Sebab, jika ditinjau dalam Peraturan Wali Kota Depok Nomor 22 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam penanganan COVID-19, tidak ditemukan bentuk sanksi hukum yang jelas perihal pelanggaran PSBB.
Berikutnya, masih terbatasnya jumlah check point di Kota Depok. Ditambah lagi, beberapa check point tidak beroperasi secara efektif dan pengawasan cenderung melonggar sehingga mobilisasi warga secara masif masih terjadi. “Ketiga, kesadaran dan kepedulian masyarakat yang masih sangat rendah,” ujar Nurfahmi.
Lewat penelitian itu, Urban Policy memprediksi kasus positif COVID-19 di Kota Depok akan terus bertambah jika kebijakan penanganan tidak dievalusi dan diperketat. Meskipun dilihat trennya, penambahan kasus positif di Depok memang setelah PSBB II ini cenderung landai.
“Bukan berarti Depok sudah selesai melawan COVID-19, karena potensi pertambahan kasus masih sangat mungkin terjadi. Belum lagi proses rapid test dan PCR juga masih terus berjalan. Artinya, masih sangat mungkin melonjak untuk beberapa waktu ke depan,” terang dia.
(muh)