YLKI Tak Setuju BPOM Hanya Larang Kental Manis untuk Anak
loading...
A
A
A
Natalya juga menyampaikan mengenai adanya fenomena asimetris informasi yang sebaiknya harus diterapkan dalam kasus SKM ini. BPOM memang sudah mengatur bahwa yang diregristasikan itu seperti apa, manfaatnya seperti apa, dan peruntukannya seperti apa.
Dia menyebutkan kelemahan peraturan BPOM itu adalah tidak ada bentuk teknisnya di situ seperti apa. Ini yang membuat si pelaku usaha tidak sulit untuk mengikuti apa yang diatur dalam Peraturan BPOM itu. Misalnya membuat suatu gambaran yang baru lagi dalam promosinya mereka. Secara peraturan, promosi yang dibuat itu tidak melanggar, yaitu dengan tidak menampilkan anak-anak dalam gambar atau visualisasi iklan. Namun tetap saja iklan yang dibuat itu tidak etis.
Karenanya, YLKI mendorong agar BPOM dalam membuat peraturan itu harus juga memperhatikan masyarakat akar rumput bukan hanya masyarakat yang sudah teredukasi. Masyarakat Indonesia itu lebih dari 40%-nya belum benar-benar teredukasi, punya penghasilan rendah dan bergantung kepada upah harian, serta tidak menentu ekonominya. “Mereka ini yang sebenarnya tidak tersentuh edukasi yang secara formal jarang datang ke Posyandu,” kata Natalya.
Dia melihat Peraturan BPOM itu secara teknik kurang bisa mencakup bagaimana menerapkannya sesuai dengan apa yang ada di pemikiran masyarakat, khususnya kalangan akar rumput. Peraturan BPOM mengenai bagaimana untuk mengonsumsi SKM itu belum sejalan dengan aturan ketat yang terkait iklan dan promosi di masyarakat. Maksudnya, regulasi itu harus bisa menyentuh ke ranah teknis.
Menurut Natalya, kalau hanya membuat peraturan tidak boleh untuk pengganti ASI dan anak 12 bulan ke bawah, itu gampang bagi pengusaha untuk tinggal menempelkannya di label kemasan. Mereka tahu bahwa jarang konsumen yang membaca label tersebut. Saya melihat BPOM kreativitasnya kurang bermain ketika membuat suatu regulasi. Mereka kalah kreatif dengan tim promosi pelaku usaha,” ucapnya.
“Harusnya BPOM juga harus bisa lebih kreatif lagi dalam mengeluarkan peraturan terkait SKM ini. Misalnya menjalin suara lebih ke berbagai Universitas untuk melihat bagaimana tanggapan mereka terhadap SKM itu,” kata Natalya.
Dia menyebutkan kelemahan peraturan BPOM itu adalah tidak ada bentuk teknisnya di situ seperti apa. Ini yang membuat si pelaku usaha tidak sulit untuk mengikuti apa yang diatur dalam Peraturan BPOM itu. Misalnya membuat suatu gambaran yang baru lagi dalam promosinya mereka. Secara peraturan, promosi yang dibuat itu tidak melanggar, yaitu dengan tidak menampilkan anak-anak dalam gambar atau visualisasi iklan. Namun tetap saja iklan yang dibuat itu tidak etis.
Karenanya, YLKI mendorong agar BPOM dalam membuat peraturan itu harus juga memperhatikan masyarakat akar rumput bukan hanya masyarakat yang sudah teredukasi. Masyarakat Indonesia itu lebih dari 40%-nya belum benar-benar teredukasi, punya penghasilan rendah dan bergantung kepada upah harian, serta tidak menentu ekonominya. “Mereka ini yang sebenarnya tidak tersentuh edukasi yang secara formal jarang datang ke Posyandu,” kata Natalya.
Dia melihat Peraturan BPOM itu secara teknik kurang bisa mencakup bagaimana menerapkannya sesuai dengan apa yang ada di pemikiran masyarakat, khususnya kalangan akar rumput. Peraturan BPOM mengenai bagaimana untuk mengonsumsi SKM itu belum sejalan dengan aturan ketat yang terkait iklan dan promosi di masyarakat. Maksudnya, regulasi itu harus bisa menyentuh ke ranah teknis.
Menurut Natalya, kalau hanya membuat peraturan tidak boleh untuk pengganti ASI dan anak 12 bulan ke bawah, itu gampang bagi pengusaha untuk tinggal menempelkannya di label kemasan. Mereka tahu bahwa jarang konsumen yang membaca label tersebut. Saya melihat BPOM kreativitasnya kurang bermain ketika membuat suatu regulasi. Mereka kalah kreatif dengan tim promosi pelaku usaha,” ucapnya.
“Harusnya BPOM juga harus bisa lebih kreatif lagi dalam mengeluarkan peraturan terkait SKM ini. Misalnya menjalin suara lebih ke berbagai Universitas untuk melihat bagaimana tanggapan mereka terhadap SKM itu,” kata Natalya.
(nth)