Polisi Diminta Penuhi Jaminan Kesehatan Korban Penembakan Barukang
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Sorot mata Hasbiah masih labil, tampak memendam perasaan duka akibat kehilangan anak ketiganya Anjas. Putranya itu meregang nyawa tertembak peluru tajam milik oknum polisi dari Polsek Ujung Tanah, Minggu 30 Agustus 2020 lalu.
Mata wanita 45 tahun itu berkaca-kaca ketika ditemui SINDOnews di rumahnya, Jalan Barukang, Kelurahan Pattingallongan, Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar, Selasa (15/9/2020), tepat pukul 17.45 Wita. Hasbiah sedikit lirih menceritakan kepergian anaknya yang pendiam dan pekerja keras itu.
Anjas pergi meninggalkan keluarga besarnya di usia 23 tahun. Hasbiah tak pernah menyangka insiden memilukan itu, merenggut nyawa buah hati yang bekerja serabutan di Pelabuhan Paotere . Nyawa Anjas tak tertolong walau sudah dirawat intensif di Rumah Sakit Bhayangkara .
Setelah menjalani operasi, sekitar pukul 15.30 Wita. Anjas dinyatakan telah berpulang ke Rahmatullah. "Lima mami anak laki-laki ku. Anjas anak ke tiga. Ssmuanya sembilan. Itumi ku bilang bisa-bisanya itu polisi tembak anakku. Baru tidak ada salahnya kodong," ujar Hasbiah.
Ibu sembilan orang anak itu, mengingat kembali kejadian nahas yang dialami putranya. Bahkan Hasbiah sempat melihat seorang pemuda diseret beberapa orang, persis di depan rumahnya yang berseberangan dengan Jalan Tol Reformasi, sekitar pukul 01.45 Wita di hari kejadian.
Hasbiah tak menyangka pemuda yang ia saksikan diseret dengan kaki menjuntai di atas sepeda motor dan diapit dua pria berbadan kekar diduga polisi, adalah anaknya.
"Saya berdiri di depan rumah, ku lihat mi diseret dari dalam lorong, kayak polisi itu, sempat di kasih berhenti di aspal. Baru dibawa naik motor boncengan tiga. Ku bilang siapami kodong anak-anak diseret-seret seperti binatang," ucapnya.
Wanita asal Kabupaten Maros itu, baru tersadar ketika beberapa tetangganya mengabarkan Anjas tertembak di kepala dan dibawa ke rumah sakit Angkatan Laut Jalan Ammari.
"Barupi saya lihat ke di lorong, adami yang tanyaka. Anjas itu yang dibawa (ke rumah sakit) kena tembakan di kepalanya," jelas Hasbiah.
Sayang, peralatan rumah sakit tersebut yang belum memadai, memaksa pihak keluarga dan beberapa kerabat dekat Anjas membawanya ke Rumah Sakit Bhayangkara sekira pukul 03.30 Wita.
"Samaka bapaknya ke sana (rumah sakit) ternyata anakku betul, karena celananya ku liat, warna coklat. Baju hitam. Itumi yang selalu terbayang-bayang waktunya diseret," papar Hasbiah.
Hasbiah tinggal bersama keluarga besarnya di sebuah rumah panggung bercat biru dan hijau. Di rumahnya masih terpajang karangan bunga, ucapan dari Kapolres Pelabuhan Makassar , AKBP Kadarislam Kasim dan ditambah bubuhan kata beserta staf dan Bhayangkari.
"Saya mau dihukum seberat-beratnya itu pelaku, polisi. Tidak tegaka liat anakku dikasih begitu, pas di rumah sakit, itu daging jempolnya anakku terkikis. Masih seringka itu pergi lihat di sana, menangis. Kayak orang gila saya. Kalau ku ingat anakku (Anjas)," kata dia.
Wahyuni, kakak perempuan pertama Anjas menceritakan selama ini, almarhum kerap membawa hasil laut dari pelelangan ikan Paotere, tempatnya mencari nafkah. Wanita 30 tahun itu berkata, Anjas memilih meninggalkan bangku sekolah untuk membantu perekonomian keluarga.
"SD tidak tamat itu. Sembarang na kerja kodong, biasa parkir. Bantu-bantu jual ikan. Biasa bawa ikan pulang. Memang pekerja keras itu anak. Pergi kerja itu jam setengah satu pulang jam 7. Kadang jam 5 pulang jam 10. Baru kalau sudah itu pergi main futsal, sudah Asar, Magrib pi baru pulang," ujarnya.
Wahyuni bilang, beberapa kali Anjas sempat membicarakan soal kematian sekitar pertengahan bulan Juli. "Sama mamaku cerita, biasa bilang duluanka mati dari pada kita mak. Janganki menangis. Sering kali bilang begitu, na bilang mamaku, jangan begitu. Baru selalu termenung," ucapnya.
Anjas dimakamkan di pekuburan keluarga di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, pada Senin 31 Agustus lalu. "Banyak temannya itu datang. Almarhum bilang dulu, itupi diliat semua temanku kalau matika. Ternyata betul, banyak memang temannya adikku kodong," ujar Wahyuni.
Kisah memilukan pascapenembakan berdarah di lingkungan Kelurahan Pattingalloang itu, turut dirasakan korban penembakan lainnya. Beruntung mereka tidak bernasib sama dengan Anjas. Iqbal dan Amar tertembak di bagian kaki. Proses pemulihan luka tembakan dijalani mandiri.
Amar dan Iqbal akhir-akhir ini rajin berendam di laut sekitar Pelabuhan Paotere, tujuannya untuk mempercepat proses penyembuhan luka tembak di kaki mereka. Amar yang masih berusia 18 tahun tertembak di bagian kaki kiri. Sementara Iqbal terkena di betis bagian dalam kanannya.
"Baru dua hari ini direndam (di laut) sore-sore, supaya kurang rasa nyerinya. Dulu kayak ditusuk jarum, sakit sekali. Berteriak-teriak di kamar biasa. Adaji obat dari dokter, pereda nyeri. Tapi masih kaku kalau jalan, tulangnya juga sakit. Pincang-pincang mami jalan," kata Amar.
Terpisah, Pendamping Hukum korban, Abdul Azis Dumpa dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menilai kepolisian dalam hal ini Polda Sulsel, Polres Pelabuhan dan Polsek Ujung Tanah seolah-olah tidak bertanggungjawab terhadap korban penembakan.
Ia pun meminta polisi bertanggung jawab terhadap pengobatan dua korban penembakan. Mengingat, keduanya enggan berobat ke rumah sakit lantaran khawatir dengan biaya. "Saya pikir ini merupakan gambaran, jika kepolisian memang tidak menjamin proses pemulihan kesehatan termasuk pengobatan para korban," jelasnya kepada SINDOnews, Selasa (15/9/2020).
Azis berpendapat, kepolisian terkesan abai dan seolah-olah melindungi serta membuat citra baik saja di media. Beberapa proses pascainsiden berdarah dua pekan lalu itu, mestinya dilakukan petugas berseragam coklat tersebut, namun nyatanya urung diwujudkan.
Salah satunya proses pemulihan kondisi korban baik kesehatan maupun psikologis yang berdampak pada keluarga korban. "Padahal mereka sudah bicara di media akan bertanggung dan berkomitmen menyelesaikan masalah yang ditimbulkan baik proses hukum maupun kesehatan para korban," tegasnya.
Menurut Azis, kepolisian tampaknya tak serius menangani persoalan dugaan pelanggaran HAM dan kesalahan prosedur oleh kepolisian terhadap warga sipil. Terlebih kata dia, tidak ada perkembangan berarti yang diungkap kepolisian ke khalayak terkait peristiwa kelam di penghujung Agustus itu.
Bahkan sampai pihaknya mendampingi para korban melaporkan kasus yang diduga melibatkan 16 anggota kepolisian dari Polsek Ujung Tanah dan Polres Pelabuhan Makassar telah dilaporkan ke Ditreskrimum Polda Sulsel terkait dugaan pelanggaran pidana pada Sabtu, 4 September 2020 lalu.
Keluarga korban melaporkan beberapa petugas, salah satunya, Bripka Usman, anggota Polsek Ujung Tanah yang diduga menjadi otak dalam insiden berdarah di kawasan padat penduduk itu. Kepolisian lanjut Azis, hanya cenderung melindungi anggotanya dan institusinya saja.
"Kasus ini sudah hampir berjalan tiga minggu. Tapi tidak ada transparansi dari kepolisian sendiri bagaimana perjalanan perkaranya. Korban hanya menuntut keadilan tentang transparansi, akuntabilitas dan pertanggungjawaban kepolisian," ungkap Azis.
Wakil Direktur LBH Makassar itu berpendapat seharusnya kepolisian menunjukkan profesionalitas dalam penanganan perkara, dengan menunjukkan tranparansi dan akuntabilitas. Sehingga publik bisa percaya jika kasus tersebut diproses serius.
"Sekarang yang terjadi sebaliknya polisi terkesan melindungi anggotanya dan lebih mementingkan nama baik institusi. Padahal, sebenarnya proses keterbukaan informasi, transparansi dan akuntabilitas penanganan perkara itu akan memberikan kepercayaan publik bahwa polisi ini profesional," pungkasnya.
Kapolres Pelabuhan Makassar AKBP Kadarislam Kasim mengaku selama kasus ini berjalan pihaknya selalu memantau kondisi korban. Termasuk kebutuhan pengobatan guna pemulihan kesehatan.
"Kalau itu (kondisi korban memburuk) Sementara kami cek. Kalau selama ini kita masih pantau kesehatannya kalau ada kebutuhannya terkait pengobatan kita juga bantu," turur Kadarislam melalui sambungan telepon.
16 polisi yang sebelumnya diperiksa Bid Propam Polda Sulsel, kata Kadarislam juga sudah dipulangkan sambil menanti proses sidang etik dan disiplin. Soal waktu dia mengaku itu wewenang Polda Sulsel.
"Sepenuhnya diserahkan ke Polda Sulsel (penanganan kasus penembakan). 16 orang anggota itu sudah dipulangkan sambil menunggu sidang. Kalau balistik itu berkaitan dengan pidananya yang dilaporkan. Sementara masih etik (berjalan) setahu saya itu," tutup Mantan Kapolres Bone itu.
Mata wanita 45 tahun itu berkaca-kaca ketika ditemui SINDOnews di rumahnya, Jalan Barukang, Kelurahan Pattingallongan, Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar, Selasa (15/9/2020), tepat pukul 17.45 Wita. Hasbiah sedikit lirih menceritakan kepergian anaknya yang pendiam dan pekerja keras itu.
Anjas pergi meninggalkan keluarga besarnya di usia 23 tahun. Hasbiah tak pernah menyangka insiden memilukan itu, merenggut nyawa buah hati yang bekerja serabutan di Pelabuhan Paotere . Nyawa Anjas tak tertolong walau sudah dirawat intensif di Rumah Sakit Bhayangkara .
Setelah menjalani operasi, sekitar pukul 15.30 Wita. Anjas dinyatakan telah berpulang ke Rahmatullah. "Lima mami anak laki-laki ku. Anjas anak ke tiga. Ssmuanya sembilan. Itumi ku bilang bisa-bisanya itu polisi tembak anakku. Baru tidak ada salahnya kodong," ujar Hasbiah.
Ibu sembilan orang anak itu, mengingat kembali kejadian nahas yang dialami putranya. Bahkan Hasbiah sempat melihat seorang pemuda diseret beberapa orang, persis di depan rumahnya yang berseberangan dengan Jalan Tol Reformasi, sekitar pukul 01.45 Wita di hari kejadian.
Hasbiah tak menyangka pemuda yang ia saksikan diseret dengan kaki menjuntai di atas sepeda motor dan diapit dua pria berbadan kekar diduga polisi, adalah anaknya.
"Saya berdiri di depan rumah, ku lihat mi diseret dari dalam lorong, kayak polisi itu, sempat di kasih berhenti di aspal. Baru dibawa naik motor boncengan tiga. Ku bilang siapami kodong anak-anak diseret-seret seperti binatang," ucapnya.
Wanita asal Kabupaten Maros itu, baru tersadar ketika beberapa tetangganya mengabarkan Anjas tertembak di kepala dan dibawa ke rumah sakit Angkatan Laut Jalan Ammari.
"Barupi saya lihat ke di lorong, adami yang tanyaka. Anjas itu yang dibawa (ke rumah sakit) kena tembakan di kepalanya," jelas Hasbiah.
Sayang, peralatan rumah sakit tersebut yang belum memadai, memaksa pihak keluarga dan beberapa kerabat dekat Anjas membawanya ke Rumah Sakit Bhayangkara sekira pukul 03.30 Wita.
"Samaka bapaknya ke sana (rumah sakit) ternyata anakku betul, karena celananya ku liat, warna coklat. Baju hitam. Itumi yang selalu terbayang-bayang waktunya diseret," papar Hasbiah.
Hasbiah tinggal bersama keluarga besarnya di sebuah rumah panggung bercat biru dan hijau. Di rumahnya masih terpajang karangan bunga, ucapan dari Kapolres Pelabuhan Makassar , AKBP Kadarislam Kasim dan ditambah bubuhan kata beserta staf dan Bhayangkari.
"Saya mau dihukum seberat-beratnya itu pelaku, polisi. Tidak tegaka liat anakku dikasih begitu, pas di rumah sakit, itu daging jempolnya anakku terkikis. Masih seringka itu pergi lihat di sana, menangis. Kayak orang gila saya. Kalau ku ingat anakku (Anjas)," kata dia.
Wahyuni, kakak perempuan pertama Anjas menceritakan selama ini, almarhum kerap membawa hasil laut dari pelelangan ikan Paotere, tempatnya mencari nafkah. Wanita 30 tahun itu berkata, Anjas memilih meninggalkan bangku sekolah untuk membantu perekonomian keluarga.
"SD tidak tamat itu. Sembarang na kerja kodong, biasa parkir. Bantu-bantu jual ikan. Biasa bawa ikan pulang. Memang pekerja keras itu anak. Pergi kerja itu jam setengah satu pulang jam 7. Kadang jam 5 pulang jam 10. Baru kalau sudah itu pergi main futsal, sudah Asar, Magrib pi baru pulang," ujarnya.
Wahyuni bilang, beberapa kali Anjas sempat membicarakan soal kematian sekitar pertengahan bulan Juli. "Sama mamaku cerita, biasa bilang duluanka mati dari pada kita mak. Janganki menangis. Sering kali bilang begitu, na bilang mamaku, jangan begitu. Baru selalu termenung," ucapnya.
Anjas dimakamkan di pekuburan keluarga di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, pada Senin 31 Agustus lalu. "Banyak temannya itu datang. Almarhum bilang dulu, itupi diliat semua temanku kalau matika. Ternyata betul, banyak memang temannya adikku kodong," ujar Wahyuni.
Kisah memilukan pascapenembakan berdarah di lingkungan Kelurahan Pattingalloang itu, turut dirasakan korban penembakan lainnya. Beruntung mereka tidak bernasib sama dengan Anjas. Iqbal dan Amar tertembak di bagian kaki. Proses pemulihan luka tembakan dijalani mandiri.
Amar dan Iqbal akhir-akhir ini rajin berendam di laut sekitar Pelabuhan Paotere, tujuannya untuk mempercepat proses penyembuhan luka tembak di kaki mereka. Amar yang masih berusia 18 tahun tertembak di bagian kaki kiri. Sementara Iqbal terkena di betis bagian dalam kanannya.
"Baru dua hari ini direndam (di laut) sore-sore, supaya kurang rasa nyerinya. Dulu kayak ditusuk jarum, sakit sekali. Berteriak-teriak di kamar biasa. Adaji obat dari dokter, pereda nyeri. Tapi masih kaku kalau jalan, tulangnya juga sakit. Pincang-pincang mami jalan," kata Amar.
Terpisah, Pendamping Hukum korban, Abdul Azis Dumpa dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menilai kepolisian dalam hal ini Polda Sulsel, Polres Pelabuhan dan Polsek Ujung Tanah seolah-olah tidak bertanggungjawab terhadap korban penembakan.
Ia pun meminta polisi bertanggung jawab terhadap pengobatan dua korban penembakan. Mengingat, keduanya enggan berobat ke rumah sakit lantaran khawatir dengan biaya. "Saya pikir ini merupakan gambaran, jika kepolisian memang tidak menjamin proses pemulihan kesehatan termasuk pengobatan para korban," jelasnya kepada SINDOnews, Selasa (15/9/2020).
Azis berpendapat, kepolisian terkesan abai dan seolah-olah melindungi serta membuat citra baik saja di media. Beberapa proses pascainsiden berdarah dua pekan lalu itu, mestinya dilakukan petugas berseragam coklat tersebut, namun nyatanya urung diwujudkan.
Salah satunya proses pemulihan kondisi korban baik kesehatan maupun psikologis yang berdampak pada keluarga korban. "Padahal mereka sudah bicara di media akan bertanggung dan berkomitmen menyelesaikan masalah yang ditimbulkan baik proses hukum maupun kesehatan para korban," tegasnya.
Menurut Azis, kepolisian tampaknya tak serius menangani persoalan dugaan pelanggaran HAM dan kesalahan prosedur oleh kepolisian terhadap warga sipil. Terlebih kata dia, tidak ada perkembangan berarti yang diungkap kepolisian ke khalayak terkait peristiwa kelam di penghujung Agustus itu.
Bahkan sampai pihaknya mendampingi para korban melaporkan kasus yang diduga melibatkan 16 anggota kepolisian dari Polsek Ujung Tanah dan Polres Pelabuhan Makassar telah dilaporkan ke Ditreskrimum Polda Sulsel terkait dugaan pelanggaran pidana pada Sabtu, 4 September 2020 lalu.
Keluarga korban melaporkan beberapa petugas, salah satunya, Bripka Usman, anggota Polsek Ujung Tanah yang diduga menjadi otak dalam insiden berdarah di kawasan padat penduduk itu. Kepolisian lanjut Azis, hanya cenderung melindungi anggotanya dan institusinya saja.
"Kasus ini sudah hampir berjalan tiga minggu. Tapi tidak ada transparansi dari kepolisian sendiri bagaimana perjalanan perkaranya. Korban hanya menuntut keadilan tentang transparansi, akuntabilitas dan pertanggungjawaban kepolisian," ungkap Azis.
Wakil Direktur LBH Makassar itu berpendapat seharusnya kepolisian menunjukkan profesionalitas dalam penanganan perkara, dengan menunjukkan tranparansi dan akuntabilitas. Sehingga publik bisa percaya jika kasus tersebut diproses serius.
"Sekarang yang terjadi sebaliknya polisi terkesan melindungi anggotanya dan lebih mementingkan nama baik institusi. Padahal, sebenarnya proses keterbukaan informasi, transparansi dan akuntabilitas penanganan perkara itu akan memberikan kepercayaan publik bahwa polisi ini profesional," pungkasnya.
Kapolres Pelabuhan Makassar AKBP Kadarislam Kasim mengaku selama kasus ini berjalan pihaknya selalu memantau kondisi korban. Termasuk kebutuhan pengobatan guna pemulihan kesehatan.
"Kalau itu (kondisi korban memburuk) Sementara kami cek. Kalau selama ini kita masih pantau kesehatannya kalau ada kebutuhannya terkait pengobatan kita juga bantu," turur Kadarislam melalui sambungan telepon.
16 polisi yang sebelumnya diperiksa Bid Propam Polda Sulsel, kata Kadarislam juga sudah dipulangkan sambil menanti proses sidang etik dan disiplin. Soal waktu dia mengaku itu wewenang Polda Sulsel.
"Sepenuhnya diserahkan ke Polda Sulsel (penanganan kasus penembakan). 16 orang anggota itu sudah dipulangkan sambil menunggu sidang. Kalau balistik itu berkaitan dengan pidananya yang dilaporkan. Sementara masih etik (berjalan) setahu saya itu," tutup Mantan Kapolres Bone itu.
(luq)