Pelarian Epik Raden Wijaya: Dari Singasari ke Madura, Perahu Jadi Penyelamat!
loading...

Raden Wijaya dan pasukannya kabur dari tanah Jawa menggunakan perahu menuju Madura. Menantu dari Raja Singasari, Kertanegara ini kabur dari kejaran Jayakatwang. Foto/Ilustrasi/Ist
A
A
A
RADENWIJAYA dan sisa pasukannya kabur dari tanah Jawa menggunakan perahu menuju Madura. Menantu dari Raja Singasari, Kertanegara ini kabur dari kejaran Jayakatwang usai menghancurkan Istana Singasari dan membuat seluruh pejabatnya tewas seketika.
Pemberontakan itu memang mengejutkan seluruh istana dan rakyat Singasari, termasuk Raden Wijaya.
Saat itu, Raden Wijaya yang masih muda dan minim pengalaman diperintahkan oleh mertuanya, Raja Kertanegara menghadapi serangan Jayakatwang. Padahal ia tak tahu seberapa kekuatan lawannya. Sehingga ketika kalah perang dan terpaksa kabur ke arah utara Singasari atau kini menuju kawasan Pasuruan.
Saran dari pengikut setianya Lembu Sore menjadi awal pelarian panjang dan menantang Raden Wijaya dari Singasari. Ia harus beberapa kali mengendap-endap dan memastikan jalur pelariannya aman, sebagaimana dikutip dari buku "Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit" dari sejarawan Prof. Slamet Muljana.
Ketika pelarian itulah, Raden Wijaya singgah di sebuah dusun bernama Dusun Pandak. Konon Raden Wijaya singgah di Dusun Pandak. Di situ ia diterima dan dijamu oleh ketua desa yang bernama Macan Kuping dengan buah kelapa muda dan si patih.
Raden Wijaya terharu menerima sambutan ramah tamah itu. Kemudian ia bermaksud melanjutkan perjalanannya sebagaimana dikutip dari "Menuju Puncak Kemegahan : Sejarah Kerajaan Majapahit".
Di situlah salah satu pasukan andalannya bernama Gadjah Pagon terlalu letih akibat lukanya pada paha, tidak dapat ikut serta.
Ia ditinggalkan di Dusun Pandak, disembunyikan di tengah ladang. Makan minumnya dijaga setiap hari oleh para penghuni desa. Raden Wijaya meninggalkan Dusun Pandak menuju Dataran. Dari situ lalu naik perahu menuju Madura.
Pada Kakawin Pararaton, Dusun Pandak tidak disebut, yang disebut adalah Datar. Dalam hal ini boleh dikatakan ada persesuaian berita antara Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama.
Lempengan tembaga yang terdapat di Gunung Butak di daerah Majakerta yang dikeluarkan oleh Raja Kertarajasa Jayawardana, yakni nama abiseka Raden Wijaya, pada tahun Saka 1216 atau tahun Masehi 1294 sebagian telah diterjemahkan oleh ahli bahasa kuno Belanda Dr. Brandes. Sebagian lagi sudah diterbitkan dalam Oud Javaansche Oorkonden.
Baik dalam terjemahan Dr. Brandes maupun dalam piagam yang belum diterjemahkan itu tidak terdapat nama Dusun Pandak. Piagam itu sekarang terkenal dengan namanya Piagam Kudadu.
Piagam itu menceriterakan, rasa terima kasih Raja Kertarajasa kepada ketua Dusun Kudadu yang pernah menerimanya dengan ramah tamah waktu ia singgah di dusun tersebut dalam perjalanannya ke Madura.
Ia serta pengikutnya sangat lapar, lelah, dan sedih ketika sampai di Dusun Kudadu. la merasa tertimpa bahaya yang sangat besar. Ketua Desa Kudadu menerimanya dengan ramah, memberinya minum dan makan. Tak hanya itu, pengikutnya juga disediakan tempat sembunyi agar tidak diketahui oleh musuh yang mencarinya.
Kemudian ia diantar sampai Rembang untuk melanjutkan perjalanannya ke Madura. Sebagai tanda terima kasih atas sambutan yang ramah itu, sang raja mengeluarkan piagam yang menyatakan bahwa seluruh tanah Kudadu diberikan kepada ketua desa dan diberikan status merdeka, bebas dari segala pajak dan diwaris oleh anak keturunannya untuk selamanya.
Pada Piagam Gunung Butak atau piagam Kudadu yang pernah dikeluarkan Raden Wijaya pada dasarnya, sama tepat dengan apa yang terbaca dalam Kidung Panji Wijayakrama pupuh I/106-115. Hal berbeda ialah nama dusunnya saja.
Kidung Panji Wijayakarma menyebut Dusun Pandak, sedangkan piagam Gunung Butak menyebut Dusun Kudadu. Nama Rembang tidak terdapat dalam Panji Wijayakrama.
Pada naskah Panji Wijayakrama menyebut Datar. Karena piagam itu dikeluarkan oleh sang raja atas dasar pengalamannya sendiri, sudah pasti bahwa piagam itu ditulis dengan sangat teliti.
Demikianlah, dusun yang bernama Pandak dalam Panji Wijayakrama itu sama dengan dusun Kudadu dalam piagam Gunung Butak. Dengan kata lain, Dusun Kudadu itu kemudian bernama Dusun Pandak.
Pemberontakan itu memang mengejutkan seluruh istana dan rakyat Singasari, termasuk Raden Wijaya.
Saat itu, Raden Wijaya yang masih muda dan minim pengalaman diperintahkan oleh mertuanya, Raja Kertanegara menghadapi serangan Jayakatwang. Padahal ia tak tahu seberapa kekuatan lawannya. Sehingga ketika kalah perang dan terpaksa kabur ke arah utara Singasari atau kini menuju kawasan Pasuruan.
Saran dari pengikut setianya Lembu Sore menjadi awal pelarian panjang dan menantang Raden Wijaya dari Singasari. Ia harus beberapa kali mengendap-endap dan memastikan jalur pelariannya aman, sebagaimana dikutip dari buku "Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit" dari sejarawan Prof. Slamet Muljana.
Ketika pelarian itulah, Raden Wijaya singgah di sebuah dusun bernama Dusun Pandak. Konon Raden Wijaya singgah di Dusun Pandak. Di situ ia diterima dan dijamu oleh ketua desa yang bernama Macan Kuping dengan buah kelapa muda dan si patih.
Raden Wijaya terharu menerima sambutan ramah tamah itu. Kemudian ia bermaksud melanjutkan perjalanannya sebagaimana dikutip dari "Menuju Puncak Kemegahan : Sejarah Kerajaan Majapahit".
Di situlah salah satu pasukan andalannya bernama Gadjah Pagon terlalu letih akibat lukanya pada paha, tidak dapat ikut serta.
Ia ditinggalkan di Dusun Pandak, disembunyikan di tengah ladang. Makan minumnya dijaga setiap hari oleh para penghuni desa. Raden Wijaya meninggalkan Dusun Pandak menuju Dataran. Dari situ lalu naik perahu menuju Madura.
Pada Kakawin Pararaton, Dusun Pandak tidak disebut, yang disebut adalah Datar. Dalam hal ini boleh dikatakan ada persesuaian berita antara Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama.
Lempengan tembaga yang terdapat di Gunung Butak di daerah Majakerta yang dikeluarkan oleh Raja Kertarajasa Jayawardana, yakni nama abiseka Raden Wijaya, pada tahun Saka 1216 atau tahun Masehi 1294 sebagian telah diterjemahkan oleh ahli bahasa kuno Belanda Dr. Brandes. Sebagian lagi sudah diterbitkan dalam Oud Javaansche Oorkonden.
Baik dalam terjemahan Dr. Brandes maupun dalam piagam yang belum diterjemahkan itu tidak terdapat nama Dusun Pandak. Piagam itu sekarang terkenal dengan namanya Piagam Kudadu.
Piagam itu menceriterakan, rasa terima kasih Raja Kertarajasa kepada ketua Dusun Kudadu yang pernah menerimanya dengan ramah tamah waktu ia singgah di dusun tersebut dalam perjalanannya ke Madura.
Ia serta pengikutnya sangat lapar, lelah, dan sedih ketika sampai di Dusun Kudadu. la merasa tertimpa bahaya yang sangat besar. Ketua Desa Kudadu menerimanya dengan ramah, memberinya minum dan makan. Tak hanya itu, pengikutnya juga disediakan tempat sembunyi agar tidak diketahui oleh musuh yang mencarinya.
Kemudian ia diantar sampai Rembang untuk melanjutkan perjalanannya ke Madura. Sebagai tanda terima kasih atas sambutan yang ramah itu, sang raja mengeluarkan piagam yang menyatakan bahwa seluruh tanah Kudadu diberikan kepada ketua desa dan diberikan status merdeka, bebas dari segala pajak dan diwaris oleh anak keturunannya untuk selamanya.
Pada Piagam Gunung Butak atau piagam Kudadu yang pernah dikeluarkan Raden Wijaya pada dasarnya, sama tepat dengan apa yang terbaca dalam Kidung Panji Wijayakrama pupuh I/106-115. Hal berbeda ialah nama dusunnya saja.
Kidung Panji Wijayakarma menyebut Dusun Pandak, sedangkan piagam Gunung Butak menyebut Dusun Kudadu. Nama Rembang tidak terdapat dalam Panji Wijayakrama.
Pada naskah Panji Wijayakrama menyebut Datar. Karena piagam itu dikeluarkan oleh sang raja atas dasar pengalamannya sendiri, sudah pasti bahwa piagam itu ditulis dengan sangat teliti.
Demikianlah, dusun yang bernama Pandak dalam Panji Wijayakrama itu sama dengan dusun Kudadu dalam piagam Gunung Butak. Dengan kata lain, Dusun Kudadu itu kemudian bernama Dusun Pandak.
(shf)