Kisah 3 Jenderal Mongol Dihukum Cambuk oleh Khubilai Khan Gara-gara Gagal Kalahkan Majapahit
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kisahtiga Jenderal Mongol dihukum cambuk oleh Khubilai Khan gara-gara bala tentara mereka dikhianati dan gagal mengalahkan Majapahit yang dipimpin Raden Wijaya menjadi saksi sejarah yang diyakini hingga sekarang.
Kaisar Mongol Khubilai Khan yang berkuasa pada 1260-1293. Foto/Istimewa/Avid-archer
Peristiwa ini berawal dari ekspansi Kekaisaran Mongol di bawah pemerintahan Khubilai Khan ke wilayah Asia Tenggara pada akhir abad ke-13.
Kekaisaran Mongol mengincar Pulau Jawa dengan pusat kekuasaan yang berada di Kerajaan Singasari pada masa itu.
Ekspansi kekuasan itu dilakukan Khubilai Khan dengan mengirim utusan ke Singhasari pada tahun 1280, 1281, dan 1286. Utusan itu dikirim untuk meminta Raja Singasari, Kertanegara mengakui kekuasaan Khubilai Khan dan menjadi bawahan Mongol.
Sontak, Raja Singasari Kertanegara yang berkuasa di Tanah Jawa marah besar dengan permintaan itu dan tidak mau tunduk pada keinginan Khubilai Khan.
Kertanegara yang merasa dihina langsung menolak secara tegas permintaan itu. Bahkan penolakan Kertanegara tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga secara fisik.
Hal itu dilakukan Kertanegara saat utusan terakhir Mongol tiba pada 1289. Lantaran sudah kesal dan marah, Raja Singasari memotong kuping merusak wajah utusan tersebut sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan Mongol yang kala itu dibawah kepemimpinan Khubilai Khan.
Peristiwa itu dikisahkan pada “Sandyakala di Timur Jawa (1042 - 1527 M): Kejayaan dan Keruntuhan Kerajaan Hindu dari Mataram Kuno II hingga Majapahit”.
Utusan Mongol kemudian kembali dan menghadap Khubilai Khan dengan kondisi terluka. Sontak Khubilai Khan marah besar terhadap Singasari.
Hingga akhirnya Khubilai Khan merencanakan ekspedisi militer besar-besaran untuk menghukum Singasari. Ekspedisi Mongol menuju Jawa dimulai pada 1292 dengan kekuatan besar yang dipimpin oleh tiga jenderal ternama: Shi Bi, Ike Mese, dan Gao Xing.
Ribuan pasukan Mongol ini berlayar dengan kapal perang. Bala tentara Mongol tiba di perairan Jawa awal 1293 dan mendarat di Pelabuhan Tuban.
Selepas dari Tuban, pasukan Mongol bergerak ke pedalaman menuju tepi Sungai Brantas yang merupakan jalur utama menuju Kerajaan Singasari.
Misi utama mereka adalah menundukkan raja Jawa dan membawa Singasari ke dalam kekuasaan Mongol. Namun, situasi politik di Jawa sudah berubah drastis. Raja Kertanegara telah tewas dalam kudeta yang dilakukan oleh Jayakatwang, penguasa Gelang-Gelang.
Kala itu Jayakatwang berhasil menggulingkan Singasari dan mendirikan kekuasaannya di Kediri. Raden Wijaya, menantu Kertanegara melarikan diri dan mendirikan perkampungan baru di wilayah Majapahit.
Dalam kondisi ini, Raden Wijaya melihat peluang untuk memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol. Dengan kecerdikan diplomatisnya, ia berpura-pura tunduk pada Mongol dan meminta bantuan mereka untuk mengalahkan Jayakatwang, penguasa yang membunuh Kertanegara.
Tentara Mongol yang percaya bahwa mereka sedang menyelesaikan misi kekaisaran dengan membantu Raden Wijaya, akhirnya bergabung dengannya. Pada 20 Maret 1293, gabungan pasukan Raden Wijaya dan ribuan tentara Mongol menyerang Jayakatwang.
Dalam pertempuran yang berlangsung di tepian Sungai Brantas, akhirnya pasukan Jayakatwang berhasil dihancurkan. Lebih dari 5.000 prajurit Jayakatwang terbunuh. Sedangkan Jayakatwang akhirnya menyerah setelah terkepung di istananya.
Pertempuran ini tampaknya menjadi awal kemenangan besar bagi Mongol dan mereka yakin telah menyelesaikan misi mereka di Jawa. Akan tetapi, pengkhianatan yang tidak diduga menanti pasukan Mongol. Setelah kemenangan atas Jayakatwang.
Dengan cerdik, Raden Wijaya meminta izin untuk kembali ke Majapahit dengan dalih ingin mempersiapkan upeti bagi Kaisar Mongol Khubilai Khan.
Jenderal pasukan Mongol yang sudah percaya dan hanyut dengan eufioria kemenangan membiarkan Raden Wijaya pergi ke Majapahit dikawal dua perwira dan 200 prajurit.
Tak disangka, ketika tiba di Majapahit Raden Wijaya kemudian mempersiapkan pasukan dan kemudian secara cepat berbalik menyerang pengawal Mongol.
Raden Wijaya dan pasukannya kemudian melancarkan serangan mendadak ke kamp-kamp Mongol di Daha dan Canggu, di mana tentara Mongol tengah berpesta minuman keras (miras) merayakan kemenangan mereka.
Serangan cepat dan mendadak ini membuat pasukan Mongol kocar-kacir. Bala tentara Mongol terpaksa mundur dengan tergesa-gesa menuju kapal-kapal mereka di pantai, dikejar oleh pasukan Raden Wijaya. Saat berusaha mundur ini lebih dari 3.000 tentara Mongol tewas di tangan pasukan Raden Wijaya.
Sedangkan sisa-sisa pasukan Mongol yang selamat, termasuk jenderal mereka, Shi Bi, Ike Mese, dan Gao Xing, berhasil melarikan diri ke kapal-kapal mereka dan segera meninggalkan Jawa. Pada 24 April 1293 mereka kembali ke Mongol.
Meski kalah dan memutuskan mundur, namun bala tentara Mongol membawa barang rampasan yang mencakup peta, daftar penduduk, surat-surat kerajaan, dan benda-benda berharga lainnya, termasuk emas, perak, cula badak, gading, dan tekstil. Nilai barang rampasan ini diperkirakan mencapai 500.000 tahil perak.
Kendati mereka pulang dengan barang-barang berharga, kekalahan yang mereka alami di Jawa dianggap sebagai aib besar oleh Kubilai Khan. Kaisar yang dikenal ambisius itu tidak puas hanya dengan kemenangan atas Jayakatwang.
Karena ekspedisi tersebut sebenarnya bertujuan untuk menaklukkan seluruh Pulau Jawa dan menjadikannya bagian dari kekaisaran Mongol. Karena kegagalan untuk menundukkan Raden Wijaya, ketiga jenderal Mongol menerima hukuman berat.
Setiba di Tiongkok, Jenderal Shi Bi dicambuk 17 kali dan sepertiga hartanya disita sebagai hukuman atas kegagalannya. Jenderal Ike Mese, meskipun hanya ditegur, juga kehilangan sepertiga hartanya. Kedua jenderal ini dianggap telah membuat kesalahan besar.
Sedangkan Jenderal Gao Xing yang sudah memperkirakan pengkhianatan Raden Wijaya mendapat penghargaan berupa 50 tahil emas karena dianggap tidak terlibat dalam kesalahan strategis yang fatal mempermalukan Khubilai Khan.
Namun, hukuman yang diterima Jenderal Shi Bi dan Jenderal Ike Mese tidak berlangsung lama. Dalam waktu singkat, keduanya diampuni oleh Kaisar dan dikembalikan ke posisi mereka semula. Bahkan, Jenderal Shi Bi kembali menduduki jabatan penting di pemerintahan pada 1295.
Perjalanan mereka ke Jawa, meskipun dianggap gagal secara militer, tetap diakui sebagai prestasi luar biasa karena mereka telah berlayar menyeberangi lautan sejauh ribuan mil dan menjelajahi wilayah yang belum pernah dikunjungi oleh bangsa Mongol sebelumnya.
Ekspedisi Mongol ke Jawa juga menggambarkan ketegangan budaya dan pandangan dunia yang berbeda antara Jawa dan Mongol. Dalam konsep Hinduisme Jawa, bangsa Mongol, atau yang dalam sumber-sumber Jawa disebut sebagai Tatar.
Hal itu dianggap sebagai asura atau raksasa jahat dan biadab. Keberadaan Mongol yang terlalu lama di tanah Jawa dianggap dapat mencemari kesucian tanah tersebut.
Oleh karena itu, tindakan Raden Wijaya untuk mengusir Mongol dari Jawa dinilai religius dan kultural yang kuat.
Keberhasilan Raden Wijaya dalam mengusir pasukan Mongol menandai awal kebangkitan Majapahit sebagai kerajaan besar di Nusantara. Sementara bagi Mongol, kegagalan mereka di Jawa menjadi salah satu dari beberapa kekalahan besar yang mereka alami di Asia Tenggara.
Khubilai Khan meninggal dunia pada 18 Februari 1294, hanya beberapa bulan setelah kegagalan di Jawa, meninggalkan ambisi besar yang tak sepenuhnya terpenuhi.
Meskipun demikian, ekspedisi Mongol ke Jawa tetap dikenang sebagai salah satu petualangan militer yang paling menarik dalam sejarah Mongol. Selain itu menjadi bukti betapa luasnya jangkauan kekaisaran Mongol serta tantangan yang harud dihadapi dalam menaklukkan wilayah Asia Tenggara.
Lihat Juga: 3 Potret Karya Ivan Gunawan di New York Fashion Week 2023, Terinspirasi Kerajaan Majapahit
Kaisar Mongol Khubilai Khan yang berkuasa pada 1260-1293. Foto/Istimewa/Avid-archer
Peristiwa ini berawal dari ekspansi Kekaisaran Mongol di bawah pemerintahan Khubilai Khan ke wilayah Asia Tenggara pada akhir abad ke-13.
Kekaisaran Mongol mengincar Pulau Jawa dengan pusat kekuasaan yang berada di Kerajaan Singasari pada masa itu.
Ekspansi kekuasan itu dilakukan Khubilai Khan dengan mengirim utusan ke Singhasari pada tahun 1280, 1281, dan 1286. Utusan itu dikirim untuk meminta Raja Singasari, Kertanegara mengakui kekuasaan Khubilai Khan dan menjadi bawahan Mongol.
Sontak, Raja Singasari Kertanegara yang berkuasa di Tanah Jawa marah besar dengan permintaan itu dan tidak mau tunduk pada keinginan Khubilai Khan.
Kertanegara yang merasa dihina langsung menolak secara tegas permintaan itu. Bahkan penolakan Kertanegara tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga secara fisik.
Hal itu dilakukan Kertanegara saat utusan terakhir Mongol tiba pada 1289. Lantaran sudah kesal dan marah, Raja Singasari memotong kuping merusak wajah utusan tersebut sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan Mongol yang kala itu dibawah kepemimpinan Khubilai Khan.
Peristiwa itu dikisahkan pada “Sandyakala di Timur Jawa (1042 - 1527 M): Kejayaan dan Keruntuhan Kerajaan Hindu dari Mataram Kuno II hingga Majapahit”.
Utusan Mongol kemudian kembali dan menghadap Khubilai Khan dengan kondisi terluka. Sontak Khubilai Khan marah besar terhadap Singasari.
Hingga akhirnya Khubilai Khan merencanakan ekspedisi militer besar-besaran untuk menghukum Singasari. Ekspedisi Mongol menuju Jawa dimulai pada 1292 dengan kekuatan besar yang dipimpin oleh tiga jenderal ternama: Shi Bi, Ike Mese, dan Gao Xing.
Ribuan pasukan Mongol ini berlayar dengan kapal perang. Bala tentara Mongol tiba di perairan Jawa awal 1293 dan mendarat di Pelabuhan Tuban.
Selepas dari Tuban, pasukan Mongol bergerak ke pedalaman menuju tepi Sungai Brantas yang merupakan jalur utama menuju Kerajaan Singasari.
Misi utama mereka adalah menundukkan raja Jawa dan membawa Singasari ke dalam kekuasaan Mongol. Namun, situasi politik di Jawa sudah berubah drastis. Raja Kertanegara telah tewas dalam kudeta yang dilakukan oleh Jayakatwang, penguasa Gelang-Gelang.
Kala itu Jayakatwang berhasil menggulingkan Singasari dan mendirikan kekuasaannya di Kediri. Raden Wijaya, menantu Kertanegara melarikan diri dan mendirikan perkampungan baru di wilayah Majapahit.
Dalam kondisi ini, Raden Wijaya melihat peluang untuk memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol. Dengan kecerdikan diplomatisnya, ia berpura-pura tunduk pada Mongol dan meminta bantuan mereka untuk mengalahkan Jayakatwang, penguasa yang membunuh Kertanegara.
Tentara Mongol yang percaya bahwa mereka sedang menyelesaikan misi kekaisaran dengan membantu Raden Wijaya, akhirnya bergabung dengannya. Pada 20 Maret 1293, gabungan pasukan Raden Wijaya dan ribuan tentara Mongol menyerang Jayakatwang.
Dalam pertempuran yang berlangsung di tepian Sungai Brantas, akhirnya pasukan Jayakatwang berhasil dihancurkan. Lebih dari 5.000 prajurit Jayakatwang terbunuh. Sedangkan Jayakatwang akhirnya menyerah setelah terkepung di istananya.
Pertempuran ini tampaknya menjadi awal kemenangan besar bagi Mongol dan mereka yakin telah menyelesaikan misi mereka di Jawa. Akan tetapi, pengkhianatan yang tidak diduga menanti pasukan Mongol. Setelah kemenangan atas Jayakatwang.
Dengan cerdik, Raden Wijaya meminta izin untuk kembali ke Majapahit dengan dalih ingin mempersiapkan upeti bagi Kaisar Mongol Khubilai Khan.
Jenderal pasukan Mongol yang sudah percaya dan hanyut dengan eufioria kemenangan membiarkan Raden Wijaya pergi ke Majapahit dikawal dua perwira dan 200 prajurit.
Tak disangka, ketika tiba di Majapahit Raden Wijaya kemudian mempersiapkan pasukan dan kemudian secara cepat berbalik menyerang pengawal Mongol.
Raden Wijaya dan pasukannya kemudian melancarkan serangan mendadak ke kamp-kamp Mongol di Daha dan Canggu, di mana tentara Mongol tengah berpesta minuman keras (miras) merayakan kemenangan mereka.
Serangan cepat dan mendadak ini membuat pasukan Mongol kocar-kacir. Bala tentara Mongol terpaksa mundur dengan tergesa-gesa menuju kapal-kapal mereka di pantai, dikejar oleh pasukan Raden Wijaya. Saat berusaha mundur ini lebih dari 3.000 tentara Mongol tewas di tangan pasukan Raden Wijaya.
Sedangkan sisa-sisa pasukan Mongol yang selamat, termasuk jenderal mereka, Shi Bi, Ike Mese, dan Gao Xing, berhasil melarikan diri ke kapal-kapal mereka dan segera meninggalkan Jawa. Pada 24 April 1293 mereka kembali ke Mongol.
Meski kalah dan memutuskan mundur, namun bala tentara Mongol membawa barang rampasan yang mencakup peta, daftar penduduk, surat-surat kerajaan, dan benda-benda berharga lainnya, termasuk emas, perak, cula badak, gading, dan tekstil. Nilai barang rampasan ini diperkirakan mencapai 500.000 tahil perak.
Kendati mereka pulang dengan barang-barang berharga, kekalahan yang mereka alami di Jawa dianggap sebagai aib besar oleh Kubilai Khan. Kaisar yang dikenal ambisius itu tidak puas hanya dengan kemenangan atas Jayakatwang.
Karena ekspedisi tersebut sebenarnya bertujuan untuk menaklukkan seluruh Pulau Jawa dan menjadikannya bagian dari kekaisaran Mongol. Karena kegagalan untuk menundukkan Raden Wijaya, ketiga jenderal Mongol menerima hukuman berat.
Setiba di Tiongkok, Jenderal Shi Bi dicambuk 17 kali dan sepertiga hartanya disita sebagai hukuman atas kegagalannya. Jenderal Ike Mese, meskipun hanya ditegur, juga kehilangan sepertiga hartanya. Kedua jenderal ini dianggap telah membuat kesalahan besar.
Sedangkan Jenderal Gao Xing yang sudah memperkirakan pengkhianatan Raden Wijaya mendapat penghargaan berupa 50 tahil emas karena dianggap tidak terlibat dalam kesalahan strategis yang fatal mempermalukan Khubilai Khan.
Namun, hukuman yang diterima Jenderal Shi Bi dan Jenderal Ike Mese tidak berlangsung lama. Dalam waktu singkat, keduanya diampuni oleh Kaisar dan dikembalikan ke posisi mereka semula. Bahkan, Jenderal Shi Bi kembali menduduki jabatan penting di pemerintahan pada 1295.
Perjalanan mereka ke Jawa, meskipun dianggap gagal secara militer, tetap diakui sebagai prestasi luar biasa karena mereka telah berlayar menyeberangi lautan sejauh ribuan mil dan menjelajahi wilayah yang belum pernah dikunjungi oleh bangsa Mongol sebelumnya.
Ekspedisi Mongol ke Jawa juga menggambarkan ketegangan budaya dan pandangan dunia yang berbeda antara Jawa dan Mongol. Dalam konsep Hinduisme Jawa, bangsa Mongol, atau yang dalam sumber-sumber Jawa disebut sebagai Tatar.
Hal itu dianggap sebagai asura atau raksasa jahat dan biadab. Keberadaan Mongol yang terlalu lama di tanah Jawa dianggap dapat mencemari kesucian tanah tersebut.
Oleh karena itu, tindakan Raden Wijaya untuk mengusir Mongol dari Jawa dinilai religius dan kultural yang kuat.
Keberhasilan Raden Wijaya dalam mengusir pasukan Mongol menandai awal kebangkitan Majapahit sebagai kerajaan besar di Nusantara. Sementara bagi Mongol, kegagalan mereka di Jawa menjadi salah satu dari beberapa kekalahan besar yang mereka alami di Asia Tenggara.
Khubilai Khan meninggal dunia pada 18 Februari 1294, hanya beberapa bulan setelah kegagalan di Jawa, meninggalkan ambisi besar yang tak sepenuhnya terpenuhi.
Meskipun demikian, ekspedisi Mongol ke Jawa tetap dikenang sebagai salah satu petualangan militer yang paling menarik dalam sejarah Mongol. Selain itu menjadi bukti betapa luasnya jangkauan kekaisaran Mongol serta tantangan yang harud dihadapi dalam menaklukkan wilayah Asia Tenggara.
Lihat Juga: 3 Potret Karya Ivan Gunawan di New York Fashion Week 2023, Terinspirasi Kerajaan Majapahit
(shf)