Kisah Ki Gede Bungko, Laksamana Kesultanan Cirebon yang Dikenang dengan Musik dan Tarian
loading...
A
A
A
Mereka kelompok perompak yang meresahkan perairan dari Gebang hingga Mundu. Luwu Ijo bahkan berhasil merampas kapalPangeran Bratakelana, putra mahkota Sunan Gunung Jati, dan membunuhnya bersama para pengawalnya.
Merasa kehilangan yang mendalam, Sunan Gunung Jati mengutus Ki Gede Bungko untuk membasmi Luwu Ijo. Dengan keberanian dan taktiknya yang cerdas, Ki Gede Bungko berhasil menumpas perompak tersebut dan memulihkan keamanan perairan utara Jawa.
Stabilitas laut ini menjadi kunci keberhasilan perdagangan rempah di Cirebon. Pada tahun 1522, Ki Gede Bungko kembali menunjukkan kehebatannya. Saat itu, pasukan Portugis bekerja sama dengan Kerajaan Pajajaran setelah kalah perang dengan Cirebon.
Kerja sama ini untuk mempertahankan Pelabuhan Sunda Kelapa, sumber utama ekonomi Pajajaran. Merasa terancam, Sunan Gunung Jati memutuskan untuk menyerang Pelabuhan Sunda Kelapa dari dua arah: darat dan laut.
Ki Gede Bungko memimpin pasukan dari laut, berpura-pura kalah untuk memancing kelengahan Portugis. Begitu pasukan Portugis lengah, serangan dari darat dan laut dilancarkan secara serentak, memukul mundur pasukan asing tersebut.
Kehebatan Ki Gede Bungko tidak hanya terbatas pada pertempuran di laut. Ia juga pernah memimpin misi untuk menumpas aliran sesat yang dipimpin olehKi Gedeng Kapetakan. Istana aliran sesat itu memiliki banyak pengikut yang mengguncang stabilitas umat Islam di Cirebon.
Ki Gede Bungko dengan sigap menangani ancaman ini dan memastikan ajaran Islam dapat berkembang dengan baik di wilayah tersebut. Ki Gede Bungko wafat dan dimakamkan di Desa Bungko, meskipun jasadnya dimakamkan diAstana Gunung Jatikarena jasanya yang besar.
Namanya tidak hanya dikenang dalam naskahSerat Carub Kandha, tetapi juga melalui musik dan tari. Tarian sepertiTari Bebek Ngoyormenggambarkan perjuangan Ki Gede Bungko saat menaklukkan Sunda Kelapa bersama pasukan Cirebon dan Demak.
Tari Ayam Alasmenceritakan bagaimana ia berhasil mengalahkan aliran sesat di Cirebon. Gerakan dalam tarian ini mencerminkan kekuatan dan ketangguhan, karena diilhami dari kisah-kisah peperangan.
Merasa kehilangan yang mendalam, Sunan Gunung Jati mengutus Ki Gede Bungko untuk membasmi Luwu Ijo. Dengan keberanian dan taktiknya yang cerdas, Ki Gede Bungko berhasil menumpas perompak tersebut dan memulihkan keamanan perairan utara Jawa.
Stabilitas laut ini menjadi kunci keberhasilan perdagangan rempah di Cirebon. Pada tahun 1522, Ki Gede Bungko kembali menunjukkan kehebatannya. Saat itu, pasukan Portugis bekerja sama dengan Kerajaan Pajajaran setelah kalah perang dengan Cirebon.
Kerja sama ini untuk mempertahankan Pelabuhan Sunda Kelapa, sumber utama ekonomi Pajajaran. Merasa terancam, Sunan Gunung Jati memutuskan untuk menyerang Pelabuhan Sunda Kelapa dari dua arah: darat dan laut.
Ki Gede Bungko memimpin pasukan dari laut, berpura-pura kalah untuk memancing kelengahan Portugis. Begitu pasukan Portugis lengah, serangan dari darat dan laut dilancarkan secara serentak, memukul mundur pasukan asing tersebut.
Kehebatan Ki Gede Bungko tidak hanya terbatas pada pertempuran di laut. Ia juga pernah memimpin misi untuk menumpas aliran sesat yang dipimpin olehKi Gedeng Kapetakan. Istana aliran sesat itu memiliki banyak pengikut yang mengguncang stabilitas umat Islam di Cirebon.
Ki Gede Bungko dengan sigap menangani ancaman ini dan memastikan ajaran Islam dapat berkembang dengan baik di wilayah tersebut. Ki Gede Bungko wafat dan dimakamkan di Desa Bungko, meskipun jasadnya dimakamkan diAstana Gunung Jatikarena jasanya yang besar.
Namanya tidak hanya dikenang dalam naskahSerat Carub Kandha, tetapi juga melalui musik dan tari. Tarian sepertiTari Bebek Ngoyormenggambarkan perjuangan Ki Gede Bungko saat menaklukkan Sunda Kelapa bersama pasukan Cirebon dan Demak.
Tari Ayam Alasmenceritakan bagaimana ia berhasil mengalahkan aliran sesat di Cirebon. Gerakan dalam tarian ini mencerminkan kekuatan dan ketangguhan, karena diilhami dari kisah-kisah peperangan.