Si Jalak Harupat, Otto Iskandardinata Pahlawan dari Bojongsoang
loading...
A
A
A
DALAM bahasa Sunda, si jalak harupat memiliki arti ayam jantan yang gagah, pemberani, dan bersuara lantang saat berkokok. Sifat itu disematkan untuk sosok Pahlawan Nasional Perintis Kemerdekaan, Otto Iskandardinata .
Di Kota Bandung, nama Raden Otto Iskandardinata sangat harum. Keberanian dan suara lantangnya saat memperjuangkan serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia tak perlu diragukan lagi. (BACA JUGA: Cinta Inggit Garnasih Antarkan Indonesia ke Gerbang Kemerdekaan )
Nama Otto Iskandardinata diabadikan sebagai nama jalan utama di Kota Bandung. Jalan Otto Iskandardinata membentang dari depan Gedung Negara Pakuan, rumah dinas Gubernur Jabar hingga Tegallega. Tak hanya di Kota Bandung, Otto Iskandardinata juga diabadikan sebagai nama jalan di beberapa daerah di Indonesia. (BACA JUGA: Cinta Inggit Garnasih Antarkan Indonesia ke Gerbang Kemerdekaan )
Bahkan, julukan tokoh ini Si Jalak Harupat pun dipakai sebagai nama stadion kebanggaan warga Kabupaten Bandung, Stadion Si Jalak Harupat (SJH). (BACA JUGA: Sunan Kalijaga, Nyai Ratu Kidul dan Kisah Rompi Ontokusumo )
Stadion yang kerap digunakan Persib Bandung untuk berlaga melayani tantangan lawan-lawannya ini selalu mmeberi kemenangan. Aura positif Si Jalak Harupat sebagai ayam jago yang selalu menang saat bertarung, seakan merasuki semangat para pemain persib saat berlaga di stadion ini.
Stadion Si Jalak Harupat, Soreang, Kabupaten Bandung. Nama stadion ini merupakan julukan bagi Pahlawan Nasional Otto Iskandar Dinata. Foto/Pinterest
Dikutip dari Wikipedia dan andirustandisunarya.wordpress.com, Otto Iskandardinata lahir di Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada 31 Maret 1897. Dia merupakan anak ketiga dari sembilan bersaudara dari ayah Nataatmadja, keturunan bangsawan Sunda.
Otto menempuh pendidikan dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Bandung. Kemudian, melanjutkan di Kweekschool Onderbouw (Sekolah Guru Bagian Pertama) Bandung dan Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas) di Purworejo, Jawa Tengah.
Setelah selesai bersekolah, Otto menjadi guru HIS di Banjarnegara, Jawa Tengah. Pada Juli 1920, Otto pindah ke Bandung dan mengajar di HIS bersubsidi serta perkumpulan Perguruan Rakyat.
Selain mengajar, Otto aktif berorganisasi. Dalam berorganisasi, Otto dipercaya sebagai Wakil Ketua Budi Utomo Cabang Bandung pada periode 1921-1924, serta sebagai Wakil Ketua Budi Utomo Cabang Pekalongan pada 1924. Ketika itu, dia menjadi anggota Gemeenteraad atau Dewan Kota Pekalongan mewakili Budi Utomo.
Selama aktif di Budi Utomo, aktivitas Otto menjadi perhatian kolonial Belanda. Pertemuan-pertemuan yang kerap digelar di rumahnya kerap diintai oleh intel Belanda.
Nama Otto pun kian dikenal di kalangan aktivis pergerakan sehingga membuat khawatir Belanda. Akhirnya, pada 1928, Otto dipindah ke Jakarta. Namun sebelum meninggalkan Pekalongan, Otto sempat memprakarsai berdirinya Sekolah Kartini.
Di Jakarta, Otto bekerja sebagai guru Muhammadiyah dan tetap giat beraktivitas di organisasi pergerakan politik. Selain Budi Utomo, Otto juga aktif pada organisasi budaya Sunda bernama Paguyuban Pasundan.
Di organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, sosial-budaya, politik, ekonomi, kepemudaan, dan pemberdayaan perempuan itu, Otto menjabar Sekretaris Pengurus Besar Paguyuban Pasundan pada 1928 dan Ketua Umum Paguyuban Pasundan periode 1929-1942.
Di bawah kepemimpinan Otto, Paguyuban Pasundan berkembang pesat. Sekolah dasar hingga menengah atas didirikan. Bahkan, Paguyuban Pasundan mampu mendirikan Bank Pasundan.
Kantor Pusat PB Paguyuban Pasundan, Jalan Sumatera, Kota Bandung. Foto/Unpas.ac.id
Meskipun sibuk membesarkan Paguyuban Pasundan, Otto juga aktif sebagai anggota Permufakatan Partai-Partai Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Dalam di Surabaya pada 1932, Otto terpilih sebagai Sekertaris PPPKI. Saat itu, PPPKI diketuai oleh Muhammad Husni (MH) Thamrin.
Pada periode 1930-1941, Otto menjadi anggota Volksraad atau Dewan Rakyat semacam DPR yang dibentuk pada masa kolonial Belanda. Selama duduk di Volksraad sebagai wakil dari Paguyuban Pasunda, Otto sangat berani menyuarakan keyakinan suatu saat Indonesia pasti merdeka.
Lantaran pidato-pidato Otto pedas, mengancam eksistensi Belanda, akhirnya dia ditarik dari anggota Volksraad. Kemudian Otto fokus mengembangkan Paguyuban Pasundan.
Suara Otto yang lantang tentang keyakinan Indonesia pasti merdeka dan kecaman terhadap Belanda, dituangkan dalam tulisan surat kabar harian berbahasa Sunda, Sipatahunan di Bandung.
Sedangkan pada masa penjajahan Jepang, Otto menjadi Pemimpin Surat Kabar Tjahaja (1942-1945). Pasalnya, pendudukan Jepang membubarkan semua organisasi pergerakan, termasuk Paguyuban Pasundan.
Bersama empat serangkai Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH Mas Mansyur, Otto bergabung dalam Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Bahkan Otto diangkat jadi anggota Jawa Hokokai dan Pembela Tanah Air (Peta).
Menjelang runtuhnya kekuasaan Jepang, Otto menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Otto menjabat sebagai Menteri Negara pada kabinet pertama Republik Indonesia pada 1945. Otto bertugas mempersiapkan terbentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR) dari laskar-laskar rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia.
BKR kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan selanjutnya menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia” (ABRI) serta kini berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Saat mengemban tugas itu, ada salah satu laskar rakyat yang diduga tak puas dengan kebijakan Otto. Otto menjadi korban penculikan kelompok Laskar Hitam pada Rabu 31 Oktober 1945. Pada 20 Desember 1945, Otto ditemukan telah meninggal dunia di Pantai Masuk, Banten. Almarhum Otto lalu dimakamkan di Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
Di Lembang terdapat sebuah monumen bernama "Monumen Pasir Pahlawan" yang didirikan untuk mengabadikan perjuangan Otto Iskandardinata.
Atas jasa-jasanya merintis dan mempertahankan kemerdekaan, Otto Iskandardinata diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 088/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
Di Kota Bandung, nama Raden Otto Iskandardinata sangat harum. Keberanian dan suara lantangnya saat memperjuangkan serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia tak perlu diragukan lagi. (BACA JUGA: Cinta Inggit Garnasih Antarkan Indonesia ke Gerbang Kemerdekaan )
Nama Otto Iskandardinata diabadikan sebagai nama jalan utama di Kota Bandung. Jalan Otto Iskandardinata membentang dari depan Gedung Negara Pakuan, rumah dinas Gubernur Jabar hingga Tegallega. Tak hanya di Kota Bandung, Otto Iskandardinata juga diabadikan sebagai nama jalan di beberapa daerah di Indonesia. (BACA JUGA: Cinta Inggit Garnasih Antarkan Indonesia ke Gerbang Kemerdekaan )
Bahkan, julukan tokoh ini Si Jalak Harupat pun dipakai sebagai nama stadion kebanggaan warga Kabupaten Bandung, Stadion Si Jalak Harupat (SJH). (BACA JUGA: Sunan Kalijaga, Nyai Ratu Kidul dan Kisah Rompi Ontokusumo )
Stadion yang kerap digunakan Persib Bandung untuk berlaga melayani tantangan lawan-lawannya ini selalu mmeberi kemenangan. Aura positif Si Jalak Harupat sebagai ayam jago yang selalu menang saat bertarung, seakan merasuki semangat para pemain persib saat berlaga di stadion ini.
Stadion Si Jalak Harupat, Soreang, Kabupaten Bandung. Nama stadion ini merupakan julukan bagi Pahlawan Nasional Otto Iskandar Dinata. Foto/Pinterest
Dikutip dari Wikipedia dan andirustandisunarya.wordpress.com, Otto Iskandardinata lahir di Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada 31 Maret 1897. Dia merupakan anak ketiga dari sembilan bersaudara dari ayah Nataatmadja, keturunan bangsawan Sunda.
Otto menempuh pendidikan dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Bandung. Kemudian, melanjutkan di Kweekschool Onderbouw (Sekolah Guru Bagian Pertama) Bandung dan Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas) di Purworejo, Jawa Tengah.
Setelah selesai bersekolah, Otto menjadi guru HIS di Banjarnegara, Jawa Tengah. Pada Juli 1920, Otto pindah ke Bandung dan mengajar di HIS bersubsidi serta perkumpulan Perguruan Rakyat.
Selain mengajar, Otto aktif berorganisasi. Dalam berorganisasi, Otto dipercaya sebagai Wakil Ketua Budi Utomo Cabang Bandung pada periode 1921-1924, serta sebagai Wakil Ketua Budi Utomo Cabang Pekalongan pada 1924. Ketika itu, dia menjadi anggota Gemeenteraad atau Dewan Kota Pekalongan mewakili Budi Utomo.
Selama aktif di Budi Utomo, aktivitas Otto menjadi perhatian kolonial Belanda. Pertemuan-pertemuan yang kerap digelar di rumahnya kerap diintai oleh intel Belanda.
Nama Otto pun kian dikenal di kalangan aktivis pergerakan sehingga membuat khawatir Belanda. Akhirnya, pada 1928, Otto dipindah ke Jakarta. Namun sebelum meninggalkan Pekalongan, Otto sempat memprakarsai berdirinya Sekolah Kartini.
Di Jakarta, Otto bekerja sebagai guru Muhammadiyah dan tetap giat beraktivitas di organisasi pergerakan politik. Selain Budi Utomo, Otto juga aktif pada organisasi budaya Sunda bernama Paguyuban Pasundan.
Di organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, sosial-budaya, politik, ekonomi, kepemudaan, dan pemberdayaan perempuan itu, Otto menjabar Sekretaris Pengurus Besar Paguyuban Pasundan pada 1928 dan Ketua Umum Paguyuban Pasundan periode 1929-1942.
Di bawah kepemimpinan Otto, Paguyuban Pasundan berkembang pesat. Sekolah dasar hingga menengah atas didirikan. Bahkan, Paguyuban Pasundan mampu mendirikan Bank Pasundan.
Kantor Pusat PB Paguyuban Pasundan, Jalan Sumatera, Kota Bandung. Foto/Unpas.ac.id
Meskipun sibuk membesarkan Paguyuban Pasundan, Otto juga aktif sebagai anggota Permufakatan Partai-Partai Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Dalam di Surabaya pada 1932, Otto terpilih sebagai Sekertaris PPPKI. Saat itu, PPPKI diketuai oleh Muhammad Husni (MH) Thamrin.
Pada periode 1930-1941, Otto menjadi anggota Volksraad atau Dewan Rakyat semacam DPR yang dibentuk pada masa kolonial Belanda. Selama duduk di Volksraad sebagai wakil dari Paguyuban Pasunda, Otto sangat berani menyuarakan keyakinan suatu saat Indonesia pasti merdeka.
Lantaran pidato-pidato Otto pedas, mengancam eksistensi Belanda, akhirnya dia ditarik dari anggota Volksraad. Kemudian Otto fokus mengembangkan Paguyuban Pasundan.
Suara Otto yang lantang tentang keyakinan Indonesia pasti merdeka dan kecaman terhadap Belanda, dituangkan dalam tulisan surat kabar harian berbahasa Sunda, Sipatahunan di Bandung.
Sedangkan pada masa penjajahan Jepang, Otto menjadi Pemimpin Surat Kabar Tjahaja (1942-1945). Pasalnya, pendudukan Jepang membubarkan semua organisasi pergerakan, termasuk Paguyuban Pasundan.
Bersama empat serangkai Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH Mas Mansyur, Otto bergabung dalam Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Bahkan Otto diangkat jadi anggota Jawa Hokokai dan Pembela Tanah Air (Peta).
Menjelang runtuhnya kekuasaan Jepang, Otto menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Otto menjabat sebagai Menteri Negara pada kabinet pertama Republik Indonesia pada 1945. Otto bertugas mempersiapkan terbentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR) dari laskar-laskar rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia.
BKR kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan selanjutnya menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia” (ABRI) serta kini berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Saat mengemban tugas itu, ada salah satu laskar rakyat yang diduga tak puas dengan kebijakan Otto. Otto menjadi korban penculikan kelompok Laskar Hitam pada Rabu 31 Oktober 1945. Pada 20 Desember 1945, Otto ditemukan telah meninggal dunia di Pantai Masuk, Banten. Almarhum Otto lalu dimakamkan di Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
Di Lembang terdapat sebuah monumen bernama "Monumen Pasir Pahlawan" yang didirikan untuk mengabadikan perjuangan Otto Iskandardinata.
Atas jasa-jasanya merintis dan mempertahankan kemerdekaan, Otto Iskandardinata diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 088/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
(awd)