Kisah Pangeran Diponegoro dan Gerakan Anti Tionghoa untuk Melawan Belanda
loading...
A
A
A
Diperkirakan setidaknya ada 25.000 penduduk Tionghoa berdarah campuran atau peranakan dalam bahaya.
Bahkan saat menyerbu dan mengepung Yogya, pembantaian orang-orang Tionghoa terjadi di mana-mana, tidak peduli wanita dan anak-anak.
Hal ini diungkapkan seniman berkebangsaan Belgia Payen yang sedang di Yogyakarta melalui buku hariannya.
Nasib komunitas-komunitas Tionghoa di Bagelen mendapat perhatian. Pasalnya pusat-pusat kerajinan tenun kaum peranakan Tionghoa di Jono dan Wedi di Kali Lereng diserang.
Mereka untuk sementara waktu bertahan dengan membuat benteng dan kubu-kubu pertahanan dibantu pasukan polisi setempat.
Bahkan pada tahun 1827 seluruh masyarakat Tionghoa dan peranakannya terdiri dari 147 pria, 138 perempuan, 185 anak-anak harus diungsikan ke Wonosobo.
Penduduk Jawa setempat lantas meminta mereka kembali lagi dengan alasan keterampilan bisnis etnis Tionghoa diperlukan agar penduduk dapat memasarkan produk kapas mereka.
Lebih jauh Pangeran Diponegoro juga memerintahkan komandan lapangannya agar menghentikan segala bentuk hubungan intim dengan perempuan peranakan, dengan alasan hubungan itu bisa membawa sial.
Larangan semacam itu tidak pernah diberlakukan secara ketat di keraton sebelum masa perang, di mana hubungan intim antara penguasa Jawa dan perempuan peranakan Tionghoa dianggap normal-normal saja.
Bahkan satu contohnya kakek Pangeran Diponegoro sendiri Sultan Hamengkubuwono II memiliki selir merupakan perempuan kesayangan bernama Mas Ayu Sumarsonowati, yang memiliki peranakan Tionghoa.
Bahkan saat menyerbu dan mengepung Yogya, pembantaian orang-orang Tionghoa terjadi di mana-mana, tidak peduli wanita dan anak-anak.
Hal ini diungkapkan seniman berkebangsaan Belgia Payen yang sedang di Yogyakarta melalui buku hariannya.
Nasib komunitas-komunitas Tionghoa di Bagelen mendapat perhatian. Pasalnya pusat-pusat kerajinan tenun kaum peranakan Tionghoa di Jono dan Wedi di Kali Lereng diserang.
Mereka untuk sementara waktu bertahan dengan membuat benteng dan kubu-kubu pertahanan dibantu pasukan polisi setempat.
Bahkan pada tahun 1827 seluruh masyarakat Tionghoa dan peranakannya terdiri dari 147 pria, 138 perempuan, 185 anak-anak harus diungsikan ke Wonosobo.
Penduduk Jawa setempat lantas meminta mereka kembali lagi dengan alasan keterampilan bisnis etnis Tionghoa diperlukan agar penduduk dapat memasarkan produk kapas mereka.
Lebih jauh Pangeran Diponegoro juga memerintahkan komandan lapangannya agar menghentikan segala bentuk hubungan intim dengan perempuan peranakan, dengan alasan hubungan itu bisa membawa sial.
Larangan semacam itu tidak pernah diberlakukan secara ketat di keraton sebelum masa perang, di mana hubungan intim antara penguasa Jawa dan perempuan peranakan Tionghoa dianggap normal-normal saja.
Bahkan satu contohnya kakek Pangeran Diponegoro sendiri Sultan Hamengkubuwono II memiliki selir merupakan perempuan kesayangan bernama Mas Ayu Sumarsonowati, yang memiliki peranakan Tionghoa.