Tribhuwana Tunggadewi, Ratu Majapahit Politikus Ulung yang Menyatukan Nusantara
loading...
A
A
A
TRIBHUWANA Tunggadewi adalah penguasa ketiga Kerajaan Majapahit, memerintah dari tahun 1328 hingga 1350 M. Setelah naik takhta, ia menerima gelar Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.
Masa pemerintahannya diwarnai oleh berbagai tantangan, termasuk beberapa pemberontakan yang mengancam stabilitas kerajaan. Namun, dengan bantuan Gajah Mada, Tribhuwana berhasil memadamkan pemberontakan-pemberontakan tersebut.
Kemudian dia mengangkat Gajah Mada sebagai mahapatih yang setia membantu memajukan Majapahit. Hal itu dikisahkan Earl Drake pada “Gayatri Rajapatni: Perempuan Dibalik Kejayaan Majapahit” mengisahkan bagaimana Tribhuwana dari seorang gadis yang anggun dan ramah.
Tribhuwana Tunggadewi adalah putri Raden Wijaya, pendiri Majapahit, dan Gayatri Rajapatni yang merupakan putri dari Kertanegara, raja terakhir Kerajaan Singasari.
Ia memiliki dua saudara: Dyah Wiyat (Rajadewi Maharajasa) dan saudara tiri, Jayanagara, yang menjadi raja kedua Majapahit. Tribhuwana lahir dengan nama Sri Gitarja dan diangkat sebagai Bhre Kahuripan selama pemerintahan Jayanagara.
Setelah kematian Jayanagara pada 1328 tanpa meninggalkan pewaris, Gayatri yang sudah menjadi biksuni, memerintahkan Tribhuwana untuk menggantikan takhta. Tribhuwana memerintah bersama suaminya Kertawardhana Bhre Tumapel.
Mereka memiliki dua anak: Dyah Hayam Wuruk, yang kelak menjadi raja Majapahit, dan Dyah Nertaja. Pada awal pemerintahannya, tahun 1331, terjadi pemberontakan di Sadeng dan Keta yang berhasil dipadamkan oleh Gajah Mada.
Sebagai pengakuan atas keberhasilan ini, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih pada tahun 1334. Pada saat itulah, ia mengucapkan Sumpah Palapa, sebuah janji untuk tidak menikmati kesenangan duniawi sebelum berhasil menyatukan seluruh nusantara.
Dengan bantuan Gajah Mada, Tribhuwana berhasil memperluas wilayah Majapahit, menaklukkan Bali dan berbagai kerajaan lainnya di nusantara, menjadikan Majapahit sebagai kerajaan besar yang makmur.
Pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi berakhir pada tahun 1350 setelah kematian ibunya, Gayatri Rajapatni. Ia mengundurkan diri dari takhta karena merasa hanya memerintah untuk mewakili sang ibu.
Takhta kerajaan kemudian diserahkan kepada putranya, Hayam Wuruk, yang saat itu baru berusia 16 tahun. Meski tidak lagi menjadi ratu, Tribhuwana tetap aktif dalam urusan kerajaan, menjadi Bhre Kahuripan dan anggota Bhattara Saptaprabhu.
Dimana sebuah dewan tetua yang memberikan nasihat kepada raja. Tidak ada catatan pasti tentang kapan Tribhuwana Tunggadewi meninggal, tetapi diketahui ia wafat setelah tahun 1371.
Sebagai penghormatan, Tribhuwana Tunggadewi didharmakan di Candi Pantarapura, yang terletak di Desa Panggih, Trowulan, Mojokerto.
Kisahnya menggambarkan seorang ratu yang bijaksana, tegas, dan visioner, yang melalui kepemimpinan dan kerja sama dengan Gajah Mada, berhasil mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaan sebagai kerajaan besar di nusantara.
Masa pemerintahannya diwarnai oleh berbagai tantangan, termasuk beberapa pemberontakan yang mengancam stabilitas kerajaan. Namun, dengan bantuan Gajah Mada, Tribhuwana berhasil memadamkan pemberontakan-pemberontakan tersebut.
Kemudian dia mengangkat Gajah Mada sebagai mahapatih yang setia membantu memajukan Majapahit. Hal itu dikisahkan Earl Drake pada “Gayatri Rajapatni: Perempuan Dibalik Kejayaan Majapahit” mengisahkan bagaimana Tribhuwana dari seorang gadis yang anggun dan ramah.
Tribhuwana Tunggadewi adalah putri Raden Wijaya, pendiri Majapahit, dan Gayatri Rajapatni yang merupakan putri dari Kertanegara, raja terakhir Kerajaan Singasari.
Ia memiliki dua saudara: Dyah Wiyat (Rajadewi Maharajasa) dan saudara tiri, Jayanagara, yang menjadi raja kedua Majapahit. Tribhuwana lahir dengan nama Sri Gitarja dan diangkat sebagai Bhre Kahuripan selama pemerintahan Jayanagara.
Setelah kematian Jayanagara pada 1328 tanpa meninggalkan pewaris, Gayatri yang sudah menjadi biksuni, memerintahkan Tribhuwana untuk menggantikan takhta. Tribhuwana memerintah bersama suaminya Kertawardhana Bhre Tumapel.
Mereka memiliki dua anak: Dyah Hayam Wuruk, yang kelak menjadi raja Majapahit, dan Dyah Nertaja. Pada awal pemerintahannya, tahun 1331, terjadi pemberontakan di Sadeng dan Keta yang berhasil dipadamkan oleh Gajah Mada.
Sebagai pengakuan atas keberhasilan ini, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih pada tahun 1334. Pada saat itulah, ia mengucapkan Sumpah Palapa, sebuah janji untuk tidak menikmati kesenangan duniawi sebelum berhasil menyatukan seluruh nusantara.
Dengan bantuan Gajah Mada, Tribhuwana berhasil memperluas wilayah Majapahit, menaklukkan Bali dan berbagai kerajaan lainnya di nusantara, menjadikan Majapahit sebagai kerajaan besar yang makmur.
Pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi berakhir pada tahun 1350 setelah kematian ibunya, Gayatri Rajapatni. Ia mengundurkan diri dari takhta karena merasa hanya memerintah untuk mewakili sang ibu.
Takhta kerajaan kemudian diserahkan kepada putranya, Hayam Wuruk, yang saat itu baru berusia 16 tahun. Meski tidak lagi menjadi ratu, Tribhuwana tetap aktif dalam urusan kerajaan, menjadi Bhre Kahuripan dan anggota Bhattara Saptaprabhu.
Dimana sebuah dewan tetua yang memberikan nasihat kepada raja. Tidak ada catatan pasti tentang kapan Tribhuwana Tunggadewi meninggal, tetapi diketahui ia wafat setelah tahun 1371.
Sebagai penghormatan, Tribhuwana Tunggadewi didharmakan di Candi Pantarapura, yang terletak di Desa Panggih, Trowulan, Mojokerto.
Kisahnya menggambarkan seorang ratu yang bijaksana, tegas, dan visioner, yang melalui kepemimpinan dan kerja sama dengan Gajah Mada, berhasil mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaan sebagai kerajaan besar di nusantara.
(ams)