Asal-usul Wonosobo, Kabupaten yang Lahir dari Perjuangan Para Kiai
loading...
A
A
A
WONOSOBO - Kabupaten Wonosobo memiliki sejarah panjang yang tidak bisa dipisahkan dari peran tiga kiai pengembara yang tiba di wilayah ini pada awal abad ke-17. Ketiga kiai tersebut adalah Kyai Kolodete, Kyai Karim, dan Kyai Walik, yang masing-masing menetap di lokasi berbeda.
Kyai Kolodete memilih untuk membuka permukiman di Dataran Tinggi Dieng, Kyai Karim di sekitar Kalibeber, dan Kyai Walik menetap di wilayah yang kini menjadi pusat Kota Wonosobo. Dari ketiga tokoh inilah, lahir keturunan yang kemudian menjadi pemimpin di berbagai wilayah sekitar Wonosobo.
Salah satu keturunan yang paling dikenal adalah cucu dari Kyai Karim, yang kemudian dikenal dengan nama Ki Singowedono. Setelah menerima hadiah berupa wilayah dari Keraton Mataram, Ki Singowedono diangkat menjadi Tumenggung Jogonegoro dan memimpin di wilayah Selomerto. Jejak sejarah Tumenggung Jogonegoro masih dapat ditemukan di makamnya yang terletak di Desa Pakuncen, Selomerto.
Asal-usul nama Wonosobo juga diyakini berasal dari sebuah dusun bernama Wanasaba di Desa Polobangan, Selomerto, yang didirikan oleh Kyai Wanasaba. Hingga saat ini, Dusun Wanasaba tetap ada dan menjadi tujuan ziarah bagi banyak orang yang ingin berdoa di makam Kyai Wanasaba, Kyai Goplem, Kyai Putih, dan Kyai Wan Haji.
Sejarah Wonosobo juga erat kaitannya dengan masa Perang Diponegoro (1825-1830), di mana wilayah ini menjadi salah satu basis perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Bersama beberapa tokoh penting seperti Imam Misbach (juga dikenal sebagai Tumenggung Kertosinuwun), Tumenggung Mangkunegaran, dan Gajah Permodo, Kyai Muhammad Ngarpah berjuang untuk mempertahankan Wonosobo. Kyai Muhammad Ngarpah berhasil memenangkan pertempuran pertama, yang membuatnya dianugerahi gelar Tumenggung Setjonegoro.
Setelah menjadi Bupati pertama Wonosobo, Tumenggung Setjonegoro memindahkan pusat pemerintahan dari Ledok, Selomerto ke kawasan yang sekarang dikenal sebagai Kota Wonosobo. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Tim Peneliti dari Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) dan tokoh-tokoh masyarakat setempat, peristiwa pemindahan ini diyakini terjadi pada 24 Juli 1825. Tanggal inilah yang kemudian diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Wonosobo.
Kini, Wonosobo dikenal sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang kaya akan sejarah. Jejak para kiai pendiri dan pahlawan lokal yang berjuang melawan penjajah masih terasa dalam kehidupan masyarakatnya, menjadikan Wonosobo bukan hanya tempat yang penuh dengan sejarah, tetapi juga sebuah simbol perjuangan dan keteguhan dalam mempertahankan nilai-nilai luhur.
Kyai Kolodete memilih untuk membuka permukiman di Dataran Tinggi Dieng, Kyai Karim di sekitar Kalibeber, dan Kyai Walik menetap di wilayah yang kini menjadi pusat Kota Wonosobo. Dari ketiga tokoh inilah, lahir keturunan yang kemudian menjadi pemimpin di berbagai wilayah sekitar Wonosobo.
Salah satu keturunan yang paling dikenal adalah cucu dari Kyai Karim, yang kemudian dikenal dengan nama Ki Singowedono. Setelah menerima hadiah berupa wilayah dari Keraton Mataram, Ki Singowedono diangkat menjadi Tumenggung Jogonegoro dan memimpin di wilayah Selomerto. Jejak sejarah Tumenggung Jogonegoro masih dapat ditemukan di makamnya yang terletak di Desa Pakuncen, Selomerto.
Asal-usul nama Wonosobo juga diyakini berasal dari sebuah dusun bernama Wanasaba di Desa Polobangan, Selomerto, yang didirikan oleh Kyai Wanasaba. Hingga saat ini, Dusun Wanasaba tetap ada dan menjadi tujuan ziarah bagi banyak orang yang ingin berdoa di makam Kyai Wanasaba, Kyai Goplem, Kyai Putih, dan Kyai Wan Haji.
Sejarah Wonosobo juga erat kaitannya dengan masa Perang Diponegoro (1825-1830), di mana wilayah ini menjadi salah satu basis perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Bersama beberapa tokoh penting seperti Imam Misbach (juga dikenal sebagai Tumenggung Kertosinuwun), Tumenggung Mangkunegaran, dan Gajah Permodo, Kyai Muhammad Ngarpah berjuang untuk mempertahankan Wonosobo. Kyai Muhammad Ngarpah berhasil memenangkan pertempuran pertama, yang membuatnya dianugerahi gelar Tumenggung Setjonegoro.
Setelah menjadi Bupati pertama Wonosobo, Tumenggung Setjonegoro memindahkan pusat pemerintahan dari Ledok, Selomerto ke kawasan yang sekarang dikenal sebagai Kota Wonosobo. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Tim Peneliti dari Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) dan tokoh-tokoh masyarakat setempat, peristiwa pemindahan ini diyakini terjadi pada 24 Juli 1825. Tanggal inilah yang kemudian diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Wonosobo.
Kini, Wonosobo dikenal sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang kaya akan sejarah. Jejak para kiai pendiri dan pahlawan lokal yang berjuang melawan penjajah masih terasa dalam kehidupan masyarakatnya, menjadikan Wonosobo bukan hanya tempat yang penuh dengan sejarah, tetapi juga sebuah simbol perjuangan dan keteguhan dalam mempertahankan nilai-nilai luhur.
(hri)