Asal Mula Semboyan Bhinneka Tunggal Ika Lahir dari Disharmoni Kerajaan Majapahit
loading...
A
A
A
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang tertulis pada lambang negara Indonesia warisan Kerajaan Majapahit. Semboyan ini menyimbolkan keberagaman budaya, suku, agama, dan ras di Indonesia yang menginjak usia 79 tahun kemerdekaannya.
Tapi sejatinya semboyan Bhinneka Tunggal Ika muncul pertama kali dari konsep keagamaan baru di era Kerajaan Majapahit usai hubungan kurang harmonis dari agama yang ada. Pencetusnya adalah Mpu Tantular pujangga yang terkenal dengan karya - karya sastranya.
Konon saat itu memang ada permasalahan agama yang dihadapi Kerajaan Majapahit. Dimana awalnya hubungan agama Hindu Siwa dan Buddha Mahayana memang cukup harmonis dan berdampingan.
Namun saat pemerintahan Majapahit waktu itu masih jelas bahwa kedua agama itu terpisah satu dari yang lain.
Dikutip dari “700 Tahun Majapahit Suatu Bunga Rampai” usai terpisah dan mengalami kerenggangan hubungan, masing-masing agama mempunyai candi yang berbeda dan terpisah, bahkan mempunyai arca-arca pemujaan yang dapat dibedakan dengan jelas satu sama lain.
Hanyalah Prasasti Kelurak yang ditulis pada tahun 782 Masehi, satu-satunya yang memberikan ungkapan penyamaan antara suatu konsep kebenaran agama Buddha dengan konsep kebenaran agama Siwa.
Dari sanalah akhirnya rumusan lebih tegas terkait hubungan antara kedua agama ini dicetuskan pada Kakawin Sutasoma.Kakawin ini ditulis semasa pemerintahan Sri Rajasanagara atau yang dikenal dengan Hayam Wuruk dengan bahasa Jawa kuno.
Di dalam Kakawin Sutasoma, pada Pupuh CXLVII bait satu jelas-jelas mengatakan bahwa karyanya itu adalah sebuah boddhacarita atau cerita yang bersifat buddha.
Tapi sejatinya semboyan Bhinneka Tunggal Ika muncul pertama kali dari konsep keagamaan baru di era Kerajaan Majapahit usai hubungan kurang harmonis dari agama yang ada. Pencetusnya adalah Mpu Tantular pujangga yang terkenal dengan karya - karya sastranya.
Konon saat itu memang ada permasalahan agama yang dihadapi Kerajaan Majapahit. Dimana awalnya hubungan agama Hindu Siwa dan Buddha Mahayana memang cukup harmonis dan berdampingan.
Namun saat pemerintahan Majapahit waktu itu masih jelas bahwa kedua agama itu terpisah satu dari yang lain.
Dikutip dari “700 Tahun Majapahit Suatu Bunga Rampai” usai terpisah dan mengalami kerenggangan hubungan, masing-masing agama mempunyai candi yang berbeda dan terpisah, bahkan mempunyai arca-arca pemujaan yang dapat dibedakan dengan jelas satu sama lain.
Hanyalah Prasasti Kelurak yang ditulis pada tahun 782 Masehi, satu-satunya yang memberikan ungkapan penyamaan antara suatu konsep kebenaran agama Buddha dengan konsep kebenaran agama Siwa.
Dari sanalah akhirnya rumusan lebih tegas terkait hubungan antara kedua agama ini dicetuskan pada Kakawin Sutasoma.Kakawin ini ditulis semasa pemerintahan Sri Rajasanagara atau yang dikenal dengan Hayam Wuruk dengan bahasa Jawa kuno.
Di dalam Kakawin Sutasoma, pada Pupuh CXLVII bait satu jelas-jelas mengatakan bahwa karyanya itu adalah sebuah boddhacarita atau cerita yang bersifat buddha.