Sejarah Hidup Jenderal Djatikusumo, Pangeran Jawa yang Jadi KSAD Pertama

Rabu, 29 Mei 2024 - 06:45 WIB
loading...
Sejarah Hidup Jenderal Djatikusumo, Pangeran Jawa yang Jadi KSAD Pertama
KSAD Pertama Jenderal TNI Goesti Pangeran Harjo (GPH) Djatikusumo. Foto/Disjarahad
A A A
Goesti Pangeran Harjo (GPH) Djatikusumo adalah salah satu sosok penting dalam sejarah TNI Angkatan Darat (AD). Dia menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pertama selama periode 1948-1949.

Sebelum diangkat menjadi orang nomor satu di TNI AD, Djatikusumo telah memiliki banyak pengalaman tempur melawan penjajah. Bersama para pejuang kemerdekaan, Djatikusumo bertaruh nyawa di berbagai medan operasi demi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Djatikusumo merupakan putra dari Raja Surakarta, Sri Susuhan Paku Buwono X, yang memerintah dari 29 Desember 1866 hingga 20 Februari 1936. Ibunya bernama R.A. Kinorukasi.



Seperti putra mahkota lainnya, Djatikusumo yang memiliki nama kecil Bendoro Raden Mas Subandono diharuskan tinggal bersama keluarga Belanda untuk mengenal perilaku dan pemikiran mereka.

Ia bersekolah di Euro Peesche Lagere School (ELS) di Bandung dan melanjutkan ke Technische Hoge School (THS) Nederland. Ketika ayahnya meninggal dunia pada 20 Februari 1939 dan Perang Dunia II meletus.

Djatikusumo harus kembali ke Indonesia dan melanjutkan pendidikannya di THS Bandung (sekarang ITB). Namun, perang kembali memaksanya putus sekolah hanya hingga tingkat empat. Tidak menyelesaikan pendidikannya, pria kelahiran 1 Juli 1917 ini tidak putus asa.

Ia kemudian memasuki Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO), sekolah perwira bentukan Belanda. Namun, ketika Belanda bertekuk lutut kepada Jepang pada 8 Maret 1942, Djatikusumo bergabung dengan tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA) angkatan pertama di Bogor.



Dia ditempatkan sebagai Komandan Kompi I Batalyon I Surakarta. Saat Badan Keamanan Rakyat (BKR) dibentuk, Djatikusumo diangkat sebagai komandan BKR Solo dengan pangkat mayor.

Ia terlibat dalam berbagai pertempuran di Semarang dan melucuti senjata milik Jepang. Djatikusumo juga ikut dalam perundingan dengan Jepang yang disepakati menjadi gencatan senjata.

Loyalitas Djatikusumo terhadap pimpinan sangat tinggi. Ketika diperintah untuk mengambil meriam di Solo, Djatikusumo menerima telegram dari Urip Sumoharjo untuk segera ke Markas Komando di Jakarta.

Namun, setelah tiba di Cikampek, markas tersebut sudah dipindah ke Bandung sehingga Djatikusumo memutuskan kembali ke Solo. Sayangnya, posisinya sudah digantikan sehingga ia tidak memiliki jabatan lagi.

Setelah mendengar kabar akan ada perluasan divisi, Djatikusumo pergi ke Yogyakarta untuk bertemu Urip Sumoharjo.

Ia ditawari untuk memilih jabatan dan memilih memimpin Divisi IV di Salatiga meliputi Pekalongan, Semarang, dan Pati dengan pangkat Mayor Jenderal (Mayjen) sejak November 1945 hingga Juni 1946.



Djatikusumo kemudian dipindahtugaskan menjadi Panglima Divisi V Ronggolawe dengan pangkat Kolonel karena kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (RERA) di TNI.

Pada Februari 1948, Djatikusumo diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pertama dan bermarkas di Benteng Vredenburgh, Yogyakarta. Pengangkatan ini berdasarkan penetapan Presiden Nomor 14 Tahun 1948 tertanggal 14 Mei.

Selain itu, pada November 1948 Djatikusumo juga merangkap jabatan sebagai Gubernur Akademi Militer (AM) di Yogyakarta dengan pangkat tetap Kolonel. Setelah setahun menjabat sebagai KSAD, pada 1949 jabatan tersebut diserahkan kepada Kolonel A.H Nasution.

Meski tidak lagi menjabat sebagai KSAD, Djatikusumo tetap dipercaya dalam berbagai posisi penting. Ia menjadi Kepala Biro Perancang Operasi Militer Kementerian Pertahanan di Jakarta dari Agustus 1950 hingga Maret 1952.

Komandan SSKAD (sekarang Seskoad) di Bandung sejak April 1952, dan Direktur Zeni Angkatan Darat di Jakarta dengan pangkat Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI dari 1956 hingga 1968.



Djatikusumo juga diangkat sebagai Koordinator Operasi Militer di Sumatera Utara dan Ketua Tim Pengatur Penempatan Kontingen Pasukan Indonesia di United Nations Emergency Forces (UNEF) di Kairo, Mesir.

Jabatan terakhir Djatikusumo di dunia militer adalah sebagai Direktur Zeni Angkatan Darat. Kemudian, ia bertugas di Kementerian Luar Negeri sebagai perwakilan RI di Singapura selama setahun.

Djatikusumo juga menjabat sebagai Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata, di mana ia memajukan transportasi darat, telekomunikasi, dan membangun sejumlah hotel bintang lima di Indonesia.

Pada 1963 hingga 1965, Djatikusumo menjabat sebagai Duta Besar (Dubes) RI untuk Malaya (sekarang Malaysia) dan kemudian sebagai Dubes untuk Maroko serta Prancis dan Spanyol hingga 1968.

Setelah pensiun dari dunia militer pada 7 Oktober 1970, Djatikusumo sering mengisi ceramah di perguruan tinggi. Djatikusumo wafat pada 4 Juli 1992 dan dimakamkan di pemakaman raja Imogiri, Yogyakarta.

Atas jasanya, negara memberikan 17 penghargaan, termasuk penghargaan dari Vatikan. Pada 1997, ia dianugerahi pangkat Jenderal Kehormatan dan pada 2002 dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden RI.

Jenderal TNI A.H. Nasution menyebut Djatikusumo mirip dengan Panglima Perang Islam yang ulung, Khalid Bin Walid dan Tariq Bin Ziad. Mereka berjuang semata untuk Sang Pencipta Allah SWT.

Nasution menilai Djatikusumo sebagai sosok pekerja keras dan penuh pengorbanan yang tidak pernah mengharapkan imbalan jasa. Djatikusumo adalah prajurit sejati yang yakin akan kebenaran tugas yang diberikan oleh pimpinan dan tidak memiliki ambisi pribadi.
(ams)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1119 seconds (0.1#10.140)
pixels