Pertapaan Kembang Lampir, Tempat Turunnya Wahyu Kerajaan Mataram Islam

Sabtu, 05 Januari 2019 - 05:00 WIB
Pertapaan Kembang Lampir,...
Pertapaan Kembang Lampir, Tempat Turunnya Wahyu Kerajaan Mataram Islam
A A A
BERBICARA Kerajaan Mataram Islam, tidak bisa lepas dari Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Di kabupaten ini terdapat tempat bersejarah yang menjadi cikal bakal atau tempat turunnya wahyu kerajaan Mataram yang kemudian pecah menjadi Keraton Yogyakarta Hadiningrat dan Keraton Surakarta Hadiningrat.

Pertapaan tersebut adalah Kembang Lampir atau dikenal dengan sebutan Mbang Lampir yang ada di Padukuhan Blimbing, Desa Girisekar, Kecamatan Panggang. Sebuah desa yang berjarak sekitar 15 km arah barat daya dari Kota Wonosari. Tempat ini dipercaya menjadi tempat yang dianggap sebagai turunnya wahyu Kerajaan Mataram.

Tempat sakral ini menjadi lokasi Ki Ageng Pemanahan melakukan tapa atau semedi untuk meminta petunjuk mengenai wahyu keraton. Di tempat lain, saudara Ki Ageng Pemanahan, yaitu Ki Ageng Giring III juga melakukan semedi. Kedua keturunan Brawijaya V tersebut melakukan semedi dalam rangka melaksanakan petunjuk Sunan Kalijaga berkelana mengunjungi tempat yang sekarang disebut Gunungkidul.

Ki Bagus Kacung, nama muda Ki Ageng Pemanahan, lantas menempati lokasi yang sebutan awalnya Kembang Semampir. Sedangkan Ki Ageng Giring III bertapa di Sodo, Paliyan. Meski berlainan tempat, keduannya mendapat petunjuk bahwa wahyu keraton terdapat di sebuah kelapa muda/degan dengan sebutan Gagak Emprit dari pohon kelapa yang ditanam Ki Ageng Giring III.

Dalam tapanya, Ki Ageng Pemanahan mendapatkan wahyu untuk segera meminun air kelapa gading yang ditanam Ki Ageng Guring III. Di saat yang bersamaan, Ki Ageng Giring juga tengah melakukan ritual yang sama dan berlainan tempat. Namun dalam wangsit yang sama, akhirnya Ki Ageng Pemanahan yang meminum air kelapa terlebih dahulu sehingga mendapatkan wahyu kerajaan Mataram.

Setelah bertemu, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring III pun membuat kesepakatan. Keturunan Ki Ageng Pemanahan lah yang mendapatkan wahyu menjadi raja kerajaan Mataram. Namun setelah keturunan ke-7, sesuai kesepakatan keduanya, barulah raja berikutnya berasal dari keturunan Ki Ageng Giring III.

Akhirnya kerajaan Mataram dipegang Keturunan Ki Ageng Pemanahan yang diturunkan pada Panembahan Senopati. Kemudian tahta turun-temurun ke Pangeran Hanyokrowati dilanjutkan Sultan Agung Hanyokrokusumo hingga akhirnya pecah di masa Sunan Amangkurat IV. Mataram menjadi Keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat melalui perjanjian Gianti pada 1755.

Saat ini, pertapaan Kembang Lampir dijaga tiga juru kunci, yakni Surakso Sekarsari, Surakso Cempokosari, dan Surakso Puspitosari. Pertapaan menempati sebuah bukit, sehingga untuk sampai ke tempat utama pengunjung harus naik anak tangga hingga sampai ke puncak. "Tempat ini sangat disakralkan, sesuai pesan keraton, pengunjung tidak sembarangan bisa naik, ada beberapa peraturan yang harus ditaati," kata salah satu juru kunci, Surakso Sekarsari atau nama aslinya Trisno Sumarto beberapa waktu lalu.

Beberapa larangan di antaranya, saat naik pengunjung tidak boleh memakai sandal, tidak boleh mengambil gambar atau memotret di lokasi utama, hanya diperbolehkan dari luar pintu gerbang atau dari bawah. Pengunjung yang akan naik harus membawa bunga dan dupa/kemenyan serta tidak boleh memakai pakaian berwarna ungu terong dan hijau lumut. "Aturannya seperti itu, kalau warna baju itu mungkin supaya tidak sama dengan yang menjaga Pantai Parang Kusumo/laut selatan," katanya.

Sebagai abdi dalem, Surakso Sekarsari bertugas menjaga dan merawat pertapaan menggantikan kaket buyutnya. Untuk waktu berkunjung dia menyebutkan tidak sama seperti pada tempat serupa lainnya. Artinya, tidak harus pada malam Selasa Kliwon atau Jumat kliwon. Meski tidak bertepatan dengan hari-hari tersebut, terkadang lebih ramai.

Lokasi pertapaan Mbang Lampir sangat hening dan nyaman. Dalam perkembangannya, banyak orang mempercayai dan memanfaatkan lokasi ini juga untuk berdoa, menyendiri, sementara meninggalkan hiruk pikuk aktivitas atau laku prihatin. Biasanya menjelang pemilihan bupati, wali kota atau gubernur, tempat ini sangat ramai. Tak hanya dari wilayah Pulau Jawa, dari luar juga banyak. "Sekarang mulai ramai ada juga yang mengaku caleg datang ke sini," ucapnya.

Bekas tempat bertapa Ki Ageng Pemanahan semacam goa kecil di atas bukit. Di sekitar terdapat bangunan induk sebagai tempat penyimpanan pusaka yang disebut Wuwung Gubug Mataram dan Songsong Ageng Tunggul Naga. "Ada dua buah bangsal atau pendapa kecil bernama Prabayeksa di sebelah kanan dan kiri. Dibangun pula patung Panembahan Senapati, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Mertani, menurut beberapa sumber sebagai pendiri dinasti Mataram Islam," kata Trisno.

Sedangkan pohon-pohon besar yang tumbuh di sekitar pertapaan, sebagian besar ditanam oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, pohon tertua yang masih ada hingga saat ini yakni pohon Sawon.

Ketua Dewan Kebudayaan Gunungkidul, CB Supriyanto mengungkapkan, pertapaan Kembang Lampir merupakan salah satu situs budaya bersejarah. Keberadaan tempat tersebut bdrussh terus ditata bersama dengan Pemprov DIY. "Wewenang utama di keraton Yogyakarta, tapi semua pihak juga ikut menjaga sehingga situs budaya ini tetap bersih dan juga menjadi bagian dari sejarah Kerajaan Mataram," katanya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1113 seconds (0.1#10.140)