Jika Uji Klinis Vaksin Sinovac Gagal, Ini Langkah Bio Farma
loading...
A
A
A
BANDUNG - PT Bio Farma telah menyiapkan langkah antisipasi jika uji klinis vaksin Sinovac asal China di Kota Bandung , gagal. Selain mencari kandidat vaksin lain, Bio Farma juga akan menunggu proses pembuatan vaksin Merah Putih.
"Misalkan (uji klinis) gagal, kami harus mencari alternatif (vaksin) lainl. Berarti kami harus mencari akses (vaksin) lagi sambil menunggu vaksin Merah Putih selesai. Bisa gak kita mencari kandidat yang lain?" kata Sekretaris Perusahaan Bio Farma Bambang Heriyanto kepada wartawan melalui sambungan telepon, Rabu (12/8/2020). (BACA JUGA: Vaksin Merah Putih Ditarget Produksi Januari 2021 Setelah Uji Kinis )
Menurut Bambang, jika uji klinis tahap satu dan dua bagus, kecil sekali kemungkinan tahap ketiga gagal. "Berdasarkan data dan pengalaman pengujian vaksin, hanya 10 persen terjadi kegagalan," kata Sekretaris Perusahaan PT Bio Farma.
Bambang mengemukakan, PT Bio Farma telah menyiapkan rencana kerja sama dengan Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI), lembaga kolaborasi antara pemerintah dengan swasta di Oslo, Norwegia. (BACA JUGA: Bio Farma Klaim Halal Vaksin Sinovach Walau Belum Diuji MUI )
CEPI, ujar Bambang, bergerak di bidang riset agar suatu negara segera mendapatkan kandidat vaksin. Saat ini, PT Bio Farma sedang dalam proses submit proposal ke lembaga tersebut. (BACA JUGA: Komisi VI DPR Dukung Bio Farma Genjot Produksi Vaksin COVID-19 )
"Submit proposal ini masih dalam proses. Kalau berhasil, nanti kami mendapatkan kandidat vaksin untuk diproduksi di Indonesia," ujar dia. (BACA JUGA: Bio Farma Bisa Penuhi Vaksin untuk Seluruh Penduduk Indonesia )
Namun sampai saat ini, tutur Bambang, komunikasi intens masih terjalin dengan Sinovach, produsen vaksin asal China. "Sampai saat ini, vaksin COVID-19 hanya dengan Sinovach," tutur Bambang.
Disinggung tentang tawaran vaksin Sputnik V dari Rusia, Bambang mengungkapkan, PT Bio Farma belum berpikir untuk menjalin kerja sama dengan Beruang Merah itu.
"Kami belum ke sana (kerja sama dengan Rusia terkait vaksin Sputnik V). Kami fokus ke Sinovac dulu. Sebab, kalau melihat peluang, saya kira ini (Sinovac) masih potensial," ungkap Bambang.
Bambang menilai, Rusia tertutup kepada World Health Organization (WHO) terkait proses pembuatan vaksin Sputnik V. Dalam data WHO, terdapat ratusan data calon vaksin Corona di seluruh dunia.
Ada calon vaksin yang masih melalui tahapan pra uji klinis dan ada juga yang sudah memasuki tahap tiga seperti Sinovach. "Sementara, Rusia tak memberi data terkait uji klinis vaksin Sputnik V kepada WHO.
Akibatnya WHO juga tidak paham. Ini kok (vaksin Sputnik V) tiba-tiba sudah jadi. Kapan risetnya? Metodenya seperti apa? Cara produksinya bagaimana? Tidak pernah dilaporkan dan tidak ada keterangan," pungkas Bambang.
Sementara, kerja sama dengan Sinovac, ujar dia, telah terjalin sebelum pandemi COVID-19. Di sisi lain, Indonesia membutuhkan vaksin secepatnya untuk menanggulangi pandemi tersebut.
"Nah, ketika ini wabah terjadi kemudian partner kami (Sinovac) ternyata sudah duluan melakukan riset, nah kami mau ajak siapa yang kira-kira bisa kami dapatkan vaksinnya secara cepat. Kalau misalkan kami minta ke Eropa, belum tentu dikasih," ujar dia.
Dengan kerja sama tersebut, tegas Bambang, Indonesia mendapat sejumlah keuntungan. Salah satunya adalah transfer teknologi. "Ada transfer teknologi di sana (dalam kerja sama dengan Sinovach). Jadi produksi vaksin ini kan dari hulu ke hilir. Untuk kerja sama ini kami mulai dari hilir yang lebih mudah dulu," pungkas Bambang.
"Misalkan (uji klinis) gagal, kami harus mencari alternatif (vaksin) lainl. Berarti kami harus mencari akses (vaksin) lagi sambil menunggu vaksin Merah Putih selesai. Bisa gak kita mencari kandidat yang lain?" kata Sekretaris Perusahaan Bio Farma Bambang Heriyanto kepada wartawan melalui sambungan telepon, Rabu (12/8/2020). (BACA JUGA: Vaksin Merah Putih Ditarget Produksi Januari 2021 Setelah Uji Kinis )
Menurut Bambang, jika uji klinis tahap satu dan dua bagus, kecil sekali kemungkinan tahap ketiga gagal. "Berdasarkan data dan pengalaman pengujian vaksin, hanya 10 persen terjadi kegagalan," kata Sekretaris Perusahaan PT Bio Farma.
Bambang mengemukakan, PT Bio Farma telah menyiapkan rencana kerja sama dengan Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI), lembaga kolaborasi antara pemerintah dengan swasta di Oslo, Norwegia. (BACA JUGA: Bio Farma Klaim Halal Vaksin Sinovach Walau Belum Diuji MUI )
CEPI, ujar Bambang, bergerak di bidang riset agar suatu negara segera mendapatkan kandidat vaksin. Saat ini, PT Bio Farma sedang dalam proses submit proposal ke lembaga tersebut. (BACA JUGA: Komisi VI DPR Dukung Bio Farma Genjot Produksi Vaksin COVID-19 )
"Submit proposal ini masih dalam proses. Kalau berhasil, nanti kami mendapatkan kandidat vaksin untuk diproduksi di Indonesia," ujar dia. (BACA JUGA: Bio Farma Bisa Penuhi Vaksin untuk Seluruh Penduduk Indonesia )
Namun sampai saat ini, tutur Bambang, komunikasi intens masih terjalin dengan Sinovach, produsen vaksin asal China. "Sampai saat ini, vaksin COVID-19 hanya dengan Sinovach," tutur Bambang.
Disinggung tentang tawaran vaksin Sputnik V dari Rusia, Bambang mengungkapkan, PT Bio Farma belum berpikir untuk menjalin kerja sama dengan Beruang Merah itu.
"Kami belum ke sana (kerja sama dengan Rusia terkait vaksin Sputnik V). Kami fokus ke Sinovac dulu. Sebab, kalau melihat peluang, saya kira ini (Sinovac) masih potensial," ungkap Bambang.
Bambang menilai, Rusia tertutup kepada World Health Organization (WHO) terkait proses pembuatan vaksin Sputnik V. Dalam data WHO, terdapat ratusan data calon vaksin Corona di seluruh dunia.
Ada calon vaksin yang masih melalui tahapan pra uji klinis dan ada juga yang sudah memasuki tahap tiga seperti Sinovach. "Sementara, Rusia tak memberi data terkait uji klinis vaksin Sputnik V kepada WHO.
Akibatnya WHO juga tidak paham. Ini kok (vaksin Sputnik V) tiba-tiba sudah jadi. Kapan risetnya? Metodenya seperti apa? Cara produksinya bagaimana? Tidak pernah dilaporkan dan tidak ada keterangan," pungkas Bambang.
Sementara, kerja sama dengan Sinovac, ujar dia, telah terjalin sebelum pandemi COVID-19. Di sisi lain, Indonesia membutuhkan vaksin secepatnya untuk menanggulangi pandemi tersebut.
"Nah, ketika ini wabah terjadi kemudian partner kami (Sinovac) ternyata sudah duluan melakukan riset, nah kami mau ajak siapa yang kira-kira bisa kami dapatkan vaksinnya secara cepat. Kalau misalkan kami minta ke Eropa, belum tentu dikasih," ujar dia.
Dengan kerja sama tersebut, tegas Bambang, Indonesia mendapat sejumlah keuntungan. Salah satunya adalah transfer teknologi. "Ada transfer teknologi di sana (dalam kerja sama dengan Sinovach). Jadi produksi vaksin ini kan dari hulu ke hilir. Untuk kerja sama ini kami mulai dari hilir yang lebih mudah dulu," pungkas Bambang.
(awd)