Asal-usul Wangsa Sailendra, Trah Raja-raja Besar di Pulau Jawa

Kamis, 11 Januari 2024 - 07:41 WIB
loading...
Asal-usul Wangsa Sailendra,...
Wangsa Sailendra menjadi salah satu trah penguasa raja-raja di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. Foto/Ilustrasi/Ist
A A A
Wangsa Sailendra menjadi salah satu trah penguasa raja-raja di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa . Istilah Sailendra ini muncul pertama kali dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 700 Saka atau 778 M. Di Prasasti Kalasan disebut istilah Sailendrawangsa.

Kemudian istilah itu muncul pula di dalam prasasti dari Desa Kelurak tahun 704 Saka atau 782 M. Selanjutnya di Prasasti Abhayagiriwihara dari bukit Ratu Baka tahun 714 Saka atau 792 M, dan di dalam Prasasti Kayumwungan tahun 746 Saka atau 824 M. Menariknya istilah Wangsa Sailendra ini juga muncul dalam peninggalan sejarah di luar Jawa yaitu Prasasti Ligor B5, Nālanda di India, dan Leiden.

Prasasti-prasasti tersebut semuanya menggunakan bahasa Sanskerta. Tiga di antaranya, kecuali Prasasti Kayumwungan, menggunakan huruf siddham, bukan huruf Pallawa atau huruf Jawa kuno sebagaimana umumnya prasasti-prasasti di Jawa.

Kenyataan ini ditambah dengan kenyataan bahwa ada beberapa nama wangsa di India, dan daratan Asia Tenggara yang sama artinya dengan Sailendra, yaitu raja gunung. Ada banyak pendapat mengenai asal usul Wangsa Sailendra di Nusantara, dikutip dari "Sejarah Nasional Indonesia II : Zaman Kuno".



Ada yang menyebut, wangsa ini berasal dari Kalingga di India Selatan. Sementara George Coedes sejarawan dan arkeolog Prancis menyebut wangsa ini berasal dari Fu-nan atau Kamboja. Pada berita Cina itu berasal dari kata Khmer kuno vnam atau bnam yang berarti gunung; dalam bahasa Khmer sekarang phnom.

Raja-raja Fu-nan disebut parwatabhūpala, yang berarti raja gunung sama dengan kata Sailendra. Setelah kerajaan Fu-nan itu runtuh sekitar tahun 620 M, ada anggota wangsa raja-raja Fu-nan itu yang menyingkir ke Jawa. Konon muncullah sebagai penguasa di sini pada pertengahan abad VIII M, dengan menggunakan nama wangsa Sailendra.

Pendapat sejarawan lain mengenai asal usul Wangsa Sailendra berasal dari India Selatan, yang kemudian berkuasa di Palembang. Tetapi konon pada tahun 683 M melarikan diri ke Jawa, karena serangan dari Sriwijaya dari Semenanjung Tanah Melayu.

Sedangkan filolog asal Belanda Johannes Gijsbertus de Casparis menemukan istilah Waranarādhirājarāja di dalam prasasti dari candi Plaosan Lor, juga Prasasti Kelurak. De Casparis mengidentifikasikan Waranara itu dengan Narawaranāgara atau Na-fu-na di dalam berita-berita Cina, yaitu pusat Kerajaan Fu-nan, setelah berpindah dari Wyadhapura atau T'e-mu, setelah mendapat serangan dari Chen-la di bawah pimpinan Bhawawarman dan Citrasena pada pertengahan kedua abad VI M.

Selanjutnya de Casparis mengatakan bahwa setelah pindah ke Na-fu-na yang biasa dilokasikan di dekat Angkor Borei, da di antara raja-raja itu yang pergi ke Jawa dan berhasil mengalahkan raja yang berkuasa di sana, yaitu Sañjaya dan keturunan-keturunannya.

Jadi, menurut de Casparis, di Jawa mula-mula berkuasa wangsa raja-raja yang beragama Siwa, tetapi setelah kedatangan raja dari Na-fu-na itu yang berhasil menaklukkannya, di Jawa Tengah terdapat dua wangsa raja-raja, yaitu raja-raja dari wangsa Sañjaya yang beragama Siwa, dan para pendatang baru itu, yang kemudian menamakan dirinya wangsa Sailendra, yang beragama Buddha.

Pendapat de Casparis itu diilhami Prasasti Kalasan yang ditemukan pada 778, dimana disebutkan pada prasasti tersebut ada dua pihak yaitu pihak raja wangsa Sailendra, yang hanya disebut sebagai Permata wangsa Sailendra tanpa nama, dan Rakai Panangkaran, raja bawahannya dari wangsa Sañjaya.

Di sisi lain ada pendapat filolog Indonesia Poerbatjaraka yang menyatakan, bahwa wangsa Sailendra berasal sepenuhnya dari Indonesia sendiri. Artinya wangsa ini tidak ada kaitannya dengan luar negeri maupun hubungan Nusantara dengan luar negeri kala itu.

Menurut Poerbatjaraka, Wangsa Sailendra semula menganut agama Siwa. Tetapi sejak Rakai Panangkaran berpindah agama menjadi penganut agama Buddha Mahayana. Sebagai salah satu alasan Poerbatjaraka menunjuk kepada kitab Carita Parahyangan, yang antara lain memuat keterangan bahwa Rahyang Sañjaya telah menganjurkan anaknya Rahyangta Panaraban, untuk meninggalkan agama yang dianutnya, karena ia ditakuti oleh semua orang. Nama Rahyangta Panaraban diidentifikasikan dengan Rakai Panangkaran.
(hri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1923 seconds (0.1#10.140)