Kisah Mpu Sindok dan Selirnya Perintahkan Penduduk Bangun 3 Bendungan

Kamis, 11 Januari 2024 - 06:06 WIB
loading...
Kisah Mpu Sindok dan Selirnya Perintahkan Penduduk Bangun 3 Bendungan
Perintah pembangunan di masa Kerajaan Mataram kuno era Mpu Sindok, konon tak hanya datang dari sang raja saja. Foto/Ilustrasi/Ist
A A A
Perintah pembangunan di masa Kerajaan Mataram kuno era Mpu Sindok, konon tak hanya datang dari sang raja saja. Bahkan dikisahkan permaisuri atau seorang selir Raja Mpu Sindok konon pernah memerintahkan pembangunan tiga bangunan bendungan.

Bangunan bendungan ini tercantum dalam Prasasti Wulig tahun 856 Saka atau sama dengan 935 Masehi. Di dalam Prasasti Wulig itu disebutkan perintah Rakryan Binihaji Rakryān Mangibil, permaisuri atau salah seorang selir Mpu Sindok, kepada Samgat Susuhan agar memerintahkan penduduk Desa Wulig, Pangiketan, Padi Padi, Pikatan, Panghawaran, dan Busuran untuk membuat bendungan.

Menariknya dalam perintahnya itu permaisuri Mpu Sindok memperingatkan jangan ada yang berani mengusik atau mengganggu pembangunan dan selama beroperasi, dengan menyatukan bendungan tersebut. Tak hanya itu, peringatan agar penduduk sekitar tidak mengambil ikan di bendungan tersebut sewaktu siang juga menjadi isi dari prasasti tersebut.

Dikutip dari "Sejarah Nasional Indonesia II : Zaman Kuno" pada tanggal 8 Januari 935 M, Rakryan Binihaji meresmikan ketiga bendungan yang ada di Desa Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya. Nama permaisuri Mpu Sindok ini pun muncul pula di dalam prasasti Géwég tahun 855 Saka atau sama dengan 933 M dan prasasti Cunggrang tahun 851 Saka atau sama dengan 929 M.



Di dalam prasasti Gèwèg itu Mpu Sindok tidak memakai gelar mahārāja, tetapi rakryan sri mahamantri dan sang permaisuri disebut Rakryan Sri Parameswari Sri Warddhani pu Kbi. Di dalam prasasti Cunggrang sang permaisuri disebut Rakyan Binihaji Sri Parameswari Dyah Kbi. Tapi ada tafsiran dari sejarawan Stutterheim yang berpendapat, tokoh Rakryan Binihaji, bukanlah permaisuri Pu Sindok, melainkan neneknya.

Akan tetapi, karena kata kbi itu didahului oleh pu dan dyah, yang biasa mendahului nama orang, agak sulit menerima tafsiran Stutterheim itu. Sebab di sini lebih condong untuk menerimanya sebagai permaisuri atau rakryan binihaji parameswari, yang namanya Pu atau Dyah Kebi.

Prasasti Cunggrang juga menyatakan bagaimana Mpu Sindok memerintahkan Desa Cunggrang, yang masuk wilayah Bawang, di bawah pemerintahan langsung dari Wahuta Wungkal, dengan penghasilan pajak sebanyak 15 süwarna emas, dan kewajiban kerja bakti.

Tapi adanya bangunan suci tempat pemujaan arwah Rakryan Bawang yang telah diperdewakan, yaitu ayah dari permaisuri raja yang bernama Dyah Kebi, membuat Mpu Sindok memutuskan membebaskan wilayah tersebut dari pajak atau daerah sima.

Ia pun menugaskan penduduk daerah yang dijadikan sima atau wilayah yang bebas dari pajak itu bisa memelihara pertapaan dan prasada, juga memperbaiki bangunan pancuran di Pawitra (umahayua sang hyang tirtha pañcuran i pawitra).

Di sisi lain Mpu Sindok konon memberikan hadiah kepada permaisurinya, yang ikut dijadikan sima sebagai sumber pembiayaan pemujaan arwah mertua raja Rakryan Bawang di Prasada, dan biaya pemujaan di pertapaan di Tirtha pada tanggal 3 tiap bulan, serta biaya persembahan caru setiap harinya.
(hri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1063 seconds (0.1#10.140)