Legenda Batu Menangis dari Kalimantan Barat: Kisah dan Pesan Moral
loading...
A
A
A
Sayangnya, Darmi tetap keras kepala dan tidak pernah mendengar nasihat dari ibunya. Suatu hari, Darmi meminta ibunya untuk membelikan alat kecantikannya yang sudah habis.
Karena tidak mengerti bentuk alat kecantikan yang dimaksud, ibunya mengajak Darmi pergi ke pasar. Sempat menolak karena takut kulitnya menghitam, ia akhirnya setuju dengan mengajukan syarat mengejutkan.
Syarat tersebut mengharuskan ibunya berjalan di belakang Darmi. Singkatnya, ia malu dan tidak ingin melihat ibunya berjalan beriringan.
Darmi berjalan di depan ibunya bersama pakaian yang menawan. Sebaliknya, sang ibu mengikuti di belakang dengan pakaian lusuh dan kotor.
Seperti dugaan, pandangan semua orang tertuju kepada penampilan Darmi. Pada salah satu momen, ada seorang warga yang bertanya mengenai sosok perempuan tua di belakangnya.
Memang dasar sifatnya yang sombong, Darmi justru tidak mengakuinya sebagai ibu, melainkan menyebutnya seorang pembantu. Sang ibu pun hanya bisa menahan diri meski hatinya sakit.
Setelah berulang kali menahan diri, si ibu kehabisan kesabaran. Ia pun lantas berdoa, “Ya Tuhan, hamba sudah tidak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba dengan teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, Tuhan hukumlah anakku yang durhaka ini ! Hukumlah dia….”.
Tak berselang lama setelah momen tersebut, tiba-tiba langit di sekitar menjadi mendung, petir pun datang dan turun hujan. Selain itu, ada kejadian lain yang sangat mengejutkan.
Secara perlahan, tubuh Darmi membatu dari kaki hingga penjuru bagian lain. Darmi yang ketakutan menangis dan memohon ampun kepada ibunya.
Karena tidak mengerti bentuk alat kecantikan yang dimaksud, ibunya mengajak Darmi pergi ke pasar. Sempat menolak karena takut kulitnya menghitam, ia akhirnya setuju dengan mengajukan syarat mengejutkan.
Syarat tersebut mengharuskan ibunya berjalan di belakang Darmi. Singkatnya, ia malu dan tidak ingin melihat ibunya berjalan beriringan.
Darmi berjalan di depan ibunya bersama pakaian yang menawan. Sebaliknya, sang ibu mengikuti di belakang dengan pakaian lusuh dan kotor.
Seperti dugaan, pandangan semua orang tertuju kepada penampilan Darmi. Pada salah satu momen, ada seorang warga yang bertanya mengenai sosok perempuan tua di belakangnya.
Memang dasar sifatnya yang sombong, Darmi justru tidak mengakuinya sebagai ibu, melainkan menyebutnya seorang pembantu. Sang ibu pun hanya bisa menahan diri meski hatinya sakit.
Setelah berulang kali menahan diri, si ibu kehabisan kesabaran. Ia pun lantas berdoa, “Ya Tuhan, hamba sudah tidak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba dengan teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, Tuhan hukumlah anakku yang durhaka ini ! Hukumlah dia….”.
Tak berselang lama setelah momen tersebut, tiba-tiba langit di sekitar menjadi mendung, petir pun datang dan turun hujan. Selain itu, ada kejadian lain yang sangat mengejutkan.
Secara perlahan, tubuh Darmi membatu dari kaki hingga penjuru bagian lain. Darmi yang ketakutan menangis dan memohon ampun kepada ibunya.