Beranda
Nasional
Internasional
Metro
Daerah
Lifestyle
Sports
Ekonomi Bisnis
Teknologi
Sains
Otomotif
Edukasi
Kalam
GenSINDO
Infografis
Video
Foto
Indeks
Sejarah 50 Haji Legendaris Tahun 1850 Pantik Lahirnya Belasan Ribu Pesantren di Jawa
loading...
Potret ibadah haji masa lampau suasana di Kakbah, Mekkah. Foto/NU
A
A
A
Pada masa kolonial Belanda, tingginya animo orang-orang Nusantara terutama orang Jawa untuk pergi haji telah memengaruhi lahirnya pemimpin Islam dan pondok pesantren. Berawal dari 50 orang Jawa yang naik haji pada tahun 1850, jumlah haji di Jawa terus bertambah.
Hingga tahun 1858, jumlah jamaah haji di Jawa meledak, yakni melebihi 2.200 jiwa. “Jumlah itu terus naik-turun dalam tahun-tahun berikutnya, tetapi tak pernah lagi kurang dari 1.000 orang,” demikian dikutip dari buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).
Pada tahun 1898 calon jamaah haji yang berangkat ke tanah suci lebih dari 5.300 orang. Kemudian tahun 1911 mencapai 7.600 orang dan 10.000 lebih pada tahun 1914. Pesatnya pertambahan haji di Jawa mempengaruhi penduduk daerah lain di Indonesia.
Pada kisaran tahun 1850 dan 1860 jumlah rata-rata yang pergi haji di seluruh pulau mencapai 1.600 orang per tahun. Sepanjang tahun 1870-an, jumlah penduduk luar Jawa yang pergi haji mencapai 2.600 orang, sebanyak 4.400 orang pada tahun 1880-an.
Pada akhir abad ke-19 melebihi 7.000 jamaah. “Beberapa orang Indonesia menjadi sosok penting di Mekah, seperti Syekh Muhammad Nawawi (1813-1897) dari Banten”. Meningkatnya jumlah jamaah haji mendorong perubahan penting dunia Islam Jawa.
Perubahan itu selaras dengan isu pembaharuan yang sedang muncul dalam dunia Islam. Ibadah haji menyumbang andil besar bagi pesatnya peningkatan jumlah pemimpin agama dan pondok pesantren di Jawa.
Tahun 1862 tercatat santri Jawa mencapai 94.000 orang. Jumlah itu terus meningkat menjadi 162.000 lebih pada dekade berikutnya. “Catatan pemerintah kolonial melaporkan bahwa pada tahun 1893 hampir 11.000 pesantren berdiri berbahasa Jawa dengan santri lebih 272.000 orang”.
Pesantren dan pemimpin Islam bermunculan pada masa kolonial Belanda, realitasnya memiliki warna spiritual berbeda. Banyak pesantren mengajarkan Islam dengan campuran mistik, yakni seiring bacaan hafalan Al-Quran juga bela diri, dan hal-hal laku ajaran yang bersifat metafisik.
Hingga tahun 1858, jumlah jamaah haji di Jawa meledak, yakni melebihi 2.200 jiwa. “Jumlah itu terus naik-turun dalam tahun-tahun berikutnya, tetapi tak pernah lagi kurang dari 1.000 orang,” demikian dikutip dari buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).
Pada tahun 1898 calon jamaah haji yang berangkat ke tanah suci lebih dari 5.300 orang. Kemudian tahun 1911 mencapai 7.600 orang dan 10.000 lebih pada tahun 1914. Pesatnya pertambahan haji di Jawa mempengaruhi penduduk daerah lain di Indonesia.
Pada kisaran tahun 1850 dan 1860 jumlah rata-rata yang pergi haji di seluruh pulau mencapai 1.600 orang per tahun. Sepanjang tahun 1870-an, jumlah penduduk luar Jawa yang pergi haji mencapai 2.600 orang, sebanyak 4.400 orang pada tahun 1880-an.
Pada akhir abad ke-19 melebihi 7.000 jamaah. “Beberapa orang Indonesia menjadi sosok penting di Mekah, seperti Syekh Muhammad Nawawi (1813-1897) dari Banten”. Meningkatnya jumlah jamaah haji mendorong perubahan penting dunia Islam Jawa.
Perubahan itu selaras dengan isu pembaharuan yang sedang muncul dalam dunia Islam. Ibadah haji menyumbang andil besar bagi pesatnya peningkatan jumlah pemimpin agama dan pondok pesantren di Jawa.
Tahun 1862 tercatat santri Jawa mencapai 94.000 orang. Jumlah itu terus meningkat menjadi 162.000 lebih pada dekade berikutnya. “Catatan pemerintah kolonial melaporkan bahwa pada tahun 1893 hampir 11.000 pesantren berdiri berbahasa Jawa dengan santri lebih 272.000 orang”.
Pesantren dan pemimpin Islam bermunculan pada masa kolonial Belanda, realitasnya memiliki warna spiritual berbeda. Banyak pesantren mengajarkan Islam dengan campuran mistik, yakni seiring bacaan hafalan Al-Quran juga bela diri, dan hal-hal laku ajaran yang bersifat metafisik.
Explore More