KH Abdul Chalim, Pahlawan Nasional asal Majalengka Keturunan Sunan Gunung Jati

Rabu, 08 November 2023 - 19:30 WIB
loading...
KH Abdul Chalim, Pahlawan Nasional asal Majalengka Keturunan Sunan Gunung Jati
KH Abdul Chalim, pendiri NU asal Leuwimunding, Majalengka, Jawa Barat disetujui pemerintah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Foto/Istimewa/PP GNU
A A A
KH Abdul Chalim, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang kemerdekaan asal Leuwimunding, Majalengka, Jawa Barat disetujui pemerintah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Penetapan KH Abdul Chalim sebagai pahlawan nasional dibuktikan dengan keluarnya surat dari Kementerian Sekretariat Negara RI, Cq Sekretariat Militer Presiden, dengan nomor surat R-09/KSN/SM/GT/.02.00/11/2023.



Surat tersebut terkait penyampaian Informasi Calon Penerima Gelar Pahlawan Nasional Tahun 2023.

Dalam isi surat itu, Presiden telah menyetujui dan menetapkan beberapa tokoh calon pahlawan nasional untuk dianugerahkan gelar pahlawan nasional pada 10 November 2023 di Istana Negara.

Dilansir dari berbagai sumber, KH Abdul Chalim lahir di Leuwimunding, Majalengka, pada 2 Juni 1898. Dia merupakan putra dari seorang Kepala Desa bernama Kedung Wangsagama dan ibunya bernama Satimah.

Kakeknya merupakan Kepala Desa Kertagama, putra dari Buyut Liuh yang merupakan putra seorang Pangeran Cirebon. Ditelusuri silsilah, Abdul Chalim bersambung kepada Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati.



Keterangan tersebut diperkuat dengan tulisan Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim MA. Putra ke-21 KH Abdul Chalim itu menuliskan biografi ayahnya dengan secara lengkap.

Tulisan itu menerangkan masa kecil KH Abdul Chalim yang bersekolah di Sekolah HIS (Hollandsch Inlandsche School). Kemudian, dia belajar di beberapa pesantren di wilayah Leuwimunding dan Rajagaluh.

Beberapa di antaranya Pondok Pesantren Banada, Pondok Pesantren al-Fattah Trajaya, dan Pondok Pesantren Nurul Huda al Ma’arif Pajajar. Pada 1913, KH. Abdul Chalim naik haji dan belajar di Mekkah.



Saat belajar di Mekkah, KH Abdul Chalim bertemu dan berkawan antara lain dengan KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Asnawi Kudus. Dia tercatat sebagai anggota SI (Syarikat Islam) termuda cabang Makkah.

Dia berguru kepada beberapa ulama Makkah, yang antara lain KH Mahfud Termas, dan pada tahun 1914 KH Abdul Chalim bersama dengan beberapa temannya kembali ke Indonesia.

Sekembalinya dari Mekkah, KH Abdul Chalim berkhidmat kepada kedua orang tuanya, yaitu membantu untuk menyelesaikan tugas ayahnya.

Setelah ayahnya meninggal dunia, KH Abdul Chalim teringat sosok KH Abdul Wahab Hasbullah, dengan komitmennya untuk ikut serta memerdekakan Indonesia.

Maka pada 1922, dia berangkat ke Surabaya dengan berjalan kaki selama 14 hari untuk menanamkan dan menebalkan nasionalisme dan kecintaannya terhadap Tanah Air.

Pada hari ke-12, KH Abdul Chalim singgah di Pondok Pesantren Tebuireng. Dia tinggal sehari semalam untuk mendapatkan bimbingan, pengarahan dan nasihat dari KH Hasyim Asy’ari. Dari sinilah mulai terbangun komunikasi intensif dengan KH Hasyim Asy’ari.

Setibanya di Surabaya, KH Abdul Chalim langsung bergabung dengan KH Abdul Wahab Hasbullah. Dia membantu menangani dan organisasi yang telah dirintis oleh KH Abdul Wahab Hasbullah, yaitu Nahdlatul Wathan dan Taswirul Afkar.

Dengan kepiawaian dan kepandaiannya dalam memanage organisasi maka organisasi-organisasi tersebut berkembang pesat sehingga terbentuk Nahdlatul Wathan di berbagai cabang, yaitu Sidoarjo dan Gresik dan cabang cabang yang lain.

Nahdlatul Wathan yaitu tempat pengkaderan dan pengkursusan para pemuda yang dipersiapkan untuk menjadi para pemimpin bangsa.

Untuk periode 1924 dipimpin langsung oleh KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Abdul Chalim sebagai sekretarisnya dengan jumlah peserta sebanyak 65 peserta. Mereka berdua juga bertindak sebagai tutor.

Karena kepandaian mereka dalam melakukan Tahrikil Afkar (memotivasi dan membangkitkan semangat) utamanya untuk kemerdekaan, maka Nahdlatul Wathan pada periode ini setelah menyelesaikan program kurikulumnya menjelma menjadi Syubbanul Wathan.

Pada saat memimpin Syubbanul Wathan, mereka mendirikan Komite Hijaz yang bertugas untuk mengundang ulama-ulama pesantren dengan agenda untuk mendirikan organisasi ulama-ulama pesantren. Hal ini untuk merespons kejadian yang terdapat di Hijaz dan agenda utamanya adalah untuk kemerdekaan Indonesia.

Komite Hijaz pada tanggal 31 Januari 1926 yang bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H menyelenggarakan pertemuan yang diikuti oleh 65 ulama, yang antara lain KH Hasyim Asy’ari Tebuireng, KH Ahmad Dahlan Ahyat Surabaya, KH Abdul Wahab Hasbullah Surabaya, dan KH Abdul Chalim.

Pertemuan itu menelurkan beberapa keputusan, antara lain:
1. Pokok-pokok pikiran dari surat yang dikirim kepada Raja Abdul Azis di Makkah
2. Memutuskan nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama sebagai pengirim dari surat yang akan dikirim. Nahdlah diambilkan dari nama Nahdlatul Wathan, sedangkan ulama dari para ulama yang hadir saat itu.
3. Menetapkan delegasi yang akan mengirimkan surat adalah KH Asnawi Kudus
4. Terus mengobarkan semangat untuk kemerdekaan.

Setelah ditetapkannya pengirim surat ini adalah Nahdlatul Ulama, maka saat itu pula disusun pengurus intinya Syuriah, Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari, Wakil Rais KH Ahmad Dahlan Ahyat, Katib Awwal KH Abdul Wahab Hasbullah dan Katib Tsani KH Abdul Chalim.

Dari hal tersebut di atas, yang membedakan KH Abdul Chalim dengan 65 pendiri NU yang lainnya, KH Abdul Chalim sebagai penulis surat dan koordinator pengiriman surat. Selain itu, KH Abdul Chalim juga yang mengusulkan agar isi surat tersebut tujuan pertamanya yaitu kemerdekaan Republik.

KH Abdul Chalim wafat di Leuwimunding pada tanggal 12 Juni 1972. Kini, namanya diabadikan menjadi nama perguruan tinggi di Mojokerto, yaitu Institut Pesantren KH Abdul Chalim Mojokerto yang kini sedang berproses menjadi Universitas Pesantren KH Abdul Chalim Mojokerto.
(shf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1451 seconds (0.1#10.140)