Siasat Pasukan Pangeran Diponegoro Rampok Logistik Belanda di Perang Jawa
loading...
A
A
A
Biaya perang cukup besar dialami Pangeran Diponegoro ketika peperangan Jawa. Lama waktu peperangan dan luasan area perang melawan Belanda, membuat sang pangeran dan pasukannya harus merogoh kocek dalam.
Tetapi sejarah juga mencatat tak hanya Pangeran Diponegoro saja yang mengeluarkan uang begitu besar untuk perang. Belanda bahkan juga mengalami hal demikian. Pengeluaran Belanda untuk Perang Jawa konon bahkan terbesar ketika menjajah Indonesia.
Lalu dari mana Pangeran Diponegoro dan pasukannya mendapatkan uang dan logistik perang? Ada banyak cara yang dilakukan sang pangeran memperoleh logistik peperangan, mulai dari memungut pajak untuk perang dari rakyat, hingga memobilisasi persenjataan.
Memang pada buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1855" tulisan Peter Carey, dikisahkan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang sebelumnya menjadi wali sultan dan tak bersepakat dengan keraton, memutuskan melakukan perlawanan kepada Belanda.
Mereka menghimpun kekuatan hingga tiba di daerah Selarong. Di sini para petani penyewa dan petani penggarap di tanah - tanah milik Pangeran Diponegoro telah siap dimobilisasi.
Sebenarnya sekitar tiga bulan sebelum berkumpul, peristiwa serangan Belanda atas Tegalrejo, pangeran sudah mulai membebaskan pajak - pajak puwasa dan mengumpulkan dana - dana untuk membiayai perang.
Pendanaan perang pada awalnya mengandalkan sumber - sumber tradisional. Para pangeran dan priyayi Yogya menyumbang emas, permata, uang, dan barang berharga lainnya. Semua sumbangan ini dibawa ke medan perang oleh istri - istri dan putri - putri mereka.
Suatu sistem yang sangat menyentuh, yang terulang kembali pada masa Revolusi Indonesia. Konon iring - iringan konvoi Belanda yang membawa logistik juga diserang oleh warga, dan hasil rampasan awal ini digunakan untuk membiayai pertempuran - pertempuran.
Banyak pengikut Pangeran Diponegoro telah siap berperang, memperlengkapi diri dengan senjata - senjata tradisional seperti, ketapel, gada, juga tombak yang terbuat dari bambu yang diruncingkan, alias bambu runcing.
Mereka berdatangan ke Selarong mulai akhir Juli hingga awal Agustus, untuk menerima perintah dari pangeran.
Setelah itu mereka langsung pergi menempati pos - pos yang telah ditentukan bagi mereka. Gaya berperang Pangeran Diponegoro begitu memanfaatkan semaksimal mungkin kekuatan lokal pedesaan.
Banyak warga desa dikerahkan untuk melakukan pencegahan bala bantuan Belanda.
Lihat Juga: Kisah Kedekatan Prabowo Subianto dan Gus Dur, Pernah Masuk Kamar Tidur dan Jadi Tukang Pijatnya
Tetapi sejarah juga mencatat tak hanya Pangeran Diponegoro saja yang mengeluarkan uang begitu besar untuk perang. Belanda bahkan juga mengalami hal demikian. Pengeluaran Belanda untuk Perang Jawa konon bahkan terbesar ketika menjajah Indonesia.
Lalu dari mana Pangeran Diponegoro dan pasukannya mendapatkan uang dan logistik perang? Ada banyak cara yang dilakukan sang pangeran memperoleh logistik peperangan, mulai dari memungut pajak untuk perang dari rakyat, hingga memobilisasi persenjataan.
Memang pada buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1855" tulisan Peter Carey, dikisahkan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang sebelumnya menjadi wali sultan dan tak bersepakat dengan keraton, memutuskan melakukan perlawanan kepada Belanda.
Mereka menghimpun kekuatan hingga tiba di daerah Selarong. Di sini para petani penyewa dan petani penggarap di tanah - tanah milik Pangeran Diponegoro telah siap dimobilisasi.
Sebenarnya sekitar tiga bulan sebelum berkumpul, peristiwa serangan Belanda atas Tegalrejo, pangeran sudah mulai membebaskan pajak - pajak puwasa dan mengumpulkan dana - dana untuk membiayai perang.
Pendanaan perang pada awalnya mengandalkan sumber - sumber tradisional. Para pangeran dan priyayi Yogya menyumbang emas, permata, uang, dan barang berharga lainnya. Semua sumbangan ini dibawa ke medan perang oleh istri - istri dan putri - putri mereka.
Suatu sistem yang sangat menyentuh, yang terulang kembali pada masa Revolusi Indonesia. Konon iring - iringan konvoi Belanda yang membawa logistik juga diserang oleh warga, dan hasil rampasan awal ini digunakan untuk membiayai pertempuran - pertempuran.
Banyak pengikut Pangeran Diponegoro telah siap berperang, memperlengkapi diri dengan senjata - senjata tradisional seperti, ketapel, gada, juga tombak yang terbuat dari bambu yang diruncingkan, alias bambu runcing.
Mereka berdatangan ke Selarong mulai akhir Juli hingga awal Agustus, untuk menerima perintah dari pangeran.
Setelah itu mereka langsung pergi menempati pos - pos yang telah ditentukan bagi mereka. Gaya berperang Pangeran Diponegoro begitu memanfaatkan semaksimal mungkin kekuatan lokal pedesaan.
Banyak warga desa dikerahkan untuk melakukan pencegahan bala bantuan Belanda.
Lihat Juga: Kisah Kedekatan Prabowo Subianto dan Gus Dur, Pernah Masuk Kamar Tidur dan Jadi Tukang Pijatnya
(ams)