Kuasa Hukum Nilai Dakwaan Jaksa Tak Cermat

Senin, 13 Februari 2017 - 21:23 WIB
Kuasa Hukum Nilai Dakwaan Jaksa Tak Cermat
Kuasa Hukum Nilai Dakwaan Jaksa Tak Cermat
A A A
MATARAM - Kuasa hukum terdakwa korupsi proyek Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD) di Lombok Barat, Bangkit Sanjaya, Albert Kuhon berkesimpulan bahwa uraian perbuatan melawan hukum yang didakwakan oleh jaksa tidak jelas atau kabur (obscuur libel).

Karenanya penasihat hukum meminta agar majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram menyatakan, dakwaan tersebut batal demi hukum berdasarkan Pasal 143 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan KUHAP seharusnya batal demi hukum,” kata advokat Albert Kuhon dalam pernyataan tertulis yang dikirimkan ke SINDOnews, Senin (13/2/2017).

Sidang dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai Ferdinand M Leander dengan anggota Putu Ngurah Rajendra dan Abadi.

Tim penasihat hukum mengutip Pasal 143 ayat 2 KUHAP yang menyatakan Penuntut Umum harus cermat, jelas dan lengkap dalam membuat surat dakwaan.

Surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani antara lain harus berisi keterangan tentang nama lengkap, tempat lahir, dan umur atau tanggal lahir tersangka.

Tim penasihat hukum juga menilai dakwaan tidak jelas dan tidak lengkap. Katanya, dalam dakwaan terhadap Bangkit Sanjaya seharusnya dikemukakan semua unsur yang terdapat dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang no 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 (1) KUHP sebagaimana didakwakan jaksa.

Menurut Albert Kuhon, uraian dalam dakwaan jaksa tentang perbuatan melawan hukum yang dilakukan Bangkit Sanjaya sangat kabur.

Jaksa secara kabur menggambarkan perbuatan melawan hukum dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dengan mengisikan Keppres Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Undang-undang No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Keppres Nomor 42 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN.

Albert Kuhon menjelaskan, ketiga peraturan yang digunakan JPU sebagai norma melawan hukum tersebut sesungguhnya mengatur dan ditujukan bagi pejabat atau penyelenggara negara. Pasal 36 ayat 3 Bab II bagian ke 11 paragraf 8 tentang serah terima pekerjaan dalam Keppres Nomor 80/2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, yang diajukan Jaksa Penuntut umum, berbunyi, “Pengguna barang/jasa menerima penyerahan pekerjaan setelah seluruh hasil pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan kontrak.”

Pasal 18 ayat 3 Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang diajukan Jaksa Penuntut Umum, berbunyi, “Pejabat yang menandatangani dan /atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN/APBD bertanggungjawab atas kebenaran materiil dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud,”.

Pasal 12 ayat 2 Keppres Nomor 42 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN, yang diajukan Jaksa Penuntut Umum, berbunyi “Belanja atas beban anggaran belanja negara dilakukan berdasarkan atas hak dan bukti-bukti yang sah untuk memperoleh pembayaran.”

Kata penasihat hukum, ketiga pasal tersebut sesungguhnya mengatur dan ditujukan bagi subyek pejabat atau penyelenggara negara.

Sedang terdakwa Bangkit Sanjaya sama sekali bukan pejabat atau penyelenggara negara. “Karenanya, tim penasihat hukum meminta agar majelis hakim menerima eksepsi dan menyatakan dakwaan tersebut batal demi hukum,” kata Albert Kuhon mengakhiri eksepsinya.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8976 seconds (0.1#10.140)