Wujudkan Pemilu Damai Tanpa Hoaks, Bawaslu Jatim Singgung Etika Bermedia Sosial
loading...
A
A
A
SURABAYA - Masyarakat Indonesia tak lama lagi akan merayakan pesta demokrasi, sambut
Ketua Umum AKSI Wanseslaus Manggut menyebut, pola munculnya hoaks dapat dideteksi sejak dini. Masyarakat dapat mendeteksi hoaks melalui judul berita yang bombastis dan mengadu domba, sehingga perlu diwaspadai. Tak hanya itu, target hoaks juga dapat dikenali secara kasat mata, seperti saat masa pemilu hoaks dapat menyasar DPT.
"Dari peta dan pola yang ada, praktisnya kita punya persiapan yang diorkestrasi secara menyeluruh, berdasarkan pattern yang terjadi," ujar Wanseslaus.
Namun, dari pengalaman pemilu dua kali sebelumnya, hoaks beredar terlebih dahulu ke masyarakat, baru diklarifikasi kemudian dengan kecepatan rasio klarifikasi satu per sepuluh atau klarifikasi hanya 10% dari berita hoaks yang beredar.
Komisioner Bawaslu Jawa Timur (Jatim) Nur Aulia Anggraini menyatakan, ketika pola-pola munculnya hoaks dapat diidentifikasi, maka penyelenggara pemilu dapat mengorkestrasi pencegahan hoaks, dengan melibatkan pihak-pihak platform sosial media.
Karena itu, Bawaslu melakukan pencegahan pelanggaran pemilu. Pada pengalaman pemilu tahun 2019, Bawaslu mengidentifikasi hoaks meningkat dua bulan jelang pemilu, dan masih berlanjut hingga 2-3 bukan setelah pencoblosan.
Menurut Aulia, algoritma media sosial patut diwaspadai. Karena, tautan konten hoaks dapat menuntun pengguna media sosial lain turut menaut berita hoaks.
"Etika di dunia nyata, dapat diterapkan di media sosial. Karena itu, etika bermedia sosial dapat diterapkan pada konteks elektoral," ujar Aulia.
Ketua Umum AKSI Wanseslaus Manggut menyebut, pola munculnya hoaks dapat dideteksi sejak dini. Masyarakat dapat mendeteksi hoaks melalui judul berita yang bombastis dan mengadu domba, sehingga perlu diwaspadai. Tak hanya itu, target hoaks juga dapat dikenali secara kasat mata, seperti saat masa pemilu hoaks dapat menyasar DPT.
"Dari peta dan pola yang ada, praktisnya kita punya persiapan yang diorkestrasi secara menyeluruh, berdasarkan pattern yang terjadi," ujar Wanseslaus.
Namun, dari pengalaman pemilu dua kali sebelumnya, hoaks beredar terlebih dahulu ke masyarakat, baru diklarifikasi kemudian dengan kecepatan rasio klarifikasi satu per sepuluh atau klarifikasi hanya 10% dari berita hoaks yang beredar.
Komisioner Bawaslu Jawa Timur (Jatim) Nur Aulia Anggraini menyatakan, ketika pola-pola munculnya hoaks dapat diidentifikasi, maka penyelenggara pemilu dapat mengorkestrasi pencegahan hoaks, dengan melibatkan pihak-pihak platform sosial media.
Karena itu, Bawaslu melakukan pencegahan pelanggaran pemilu. Pada pengalaman pemilu tahun 2019, Bawaslu mengidentifikasi hoaks meningkat dua bulan jelang pemilu, dan masih berlanjut hingga 2-3 bukan setelah pencoblosan.
Menurut Aulia, algoritma media sosial patut diwaspadai. Karena, tautan konten hoaks dapat menuntun pengguna media sosial lain turut menaut berita hoaks.
"Etika di dunia nyata, dapat diterapkan di media sosial. Karena itu, etika bermedia sosial dapat diterapkan pada konteks elektoral," ujar Aulia.
(hri)