Momen Bupati Madiun Melawan Belanda dengan Menyelinap dari Yogyakarta Tengah Malam
loading...
A
A
A
Nama Raden Ronggo Bupati Wedana Mancanagera Timur Kesultanan Yogyakarta yang merangkap Bupati Madiun, mungkin tak banyak didengar masyarakat awam berjuang melawan penjajah di Indonesia.
Namanya mungkin kalah gaungnya jika dibandingkan Pangeran Diponegoro, Kyai Modjo, hingga Sentot Ali Basya panglima perang pada masa Perang Diponegoro. Namun siapa sangka Raden Ronggo telah melakukan perlawanan awal ke Belanda sejak 1810 Masehi.
Sang bupati wedana ini bergerak memberikan perlawanan ke pasukan Belanda kala Gubernur Daendels berkuasa.
Sebagaimana dikisahkan pada "Banteng Terakhir Kesultanan Yogyakarta: Riwayat Raden Ronggo Prawirodirjo II dari Madiun sekitar 1779 - 1810" Raden Ronggo menaiki muda dengan 300 orang pengikutnya lewat tengah malam meninggalkan Yogyakarta menuju Jenu.
Sang bupati itu memutuskan melawan Belanda dengan meninggal Yogyakarta tanpa memenuhi keinginan Daendels agar dirinya hadir sebagai undangan ke Bogor.
Di Jenu, bupati dan rombongannya beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke Madiun dengan rombongannya yang berkuda. Tiga hari sebelum pelariannya, dia menulis surat kepada Notodiningrat dan Sumodiningrat berisi alasan perlawanan.
Surat Raden Ronggo tidak sampai ke tangan calon penerimanya, tetapi dapat memberikan wawasan tentang tujuan pokok dia melakukan perlawanan.
Raden Ronggo tidak bermaksud menentang Sultan Hamengkubuwono II, tetapi justru berniat melawan pemerintah kolonial dan sunan di Surakarta beserta orang-orang Jawa yang memihak Belanda, yang mengakibatkan perubahan dalam kehidupan rakyat.
Dia berharap berkah sultan dan para leluhurnya yang merupakan raja-raja wirayuda. Dia juga berharap Sultan Hamengkubuwono II tidak mempunyai niat untuk mencelakakan dirinya.
Setelah memproklamasikan perlawanan terhadap pihak kolonial pada 20 November 1810, Raden Ronggo berangkat ke Madiun pada 21 November 1810 dini hari.
Dia mengangkut 300 pasukan melewati Bengawan Solo dengan perahu tambang atau eretan saat bergerak dari Kartasura ke Masaran menuju Madiun pada 22 November 1810.
Sang bupati wedana Mancanagera Timur yang juga menjabat Bupati Madiun mengimbau, ajakan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial kepada semua golongan masyarakat bumiputra dan Timur Asing (Tionghoa) di mancanegara timur dan pesisir.
Dia menikmati hubungan akrab dengan masyarakat Tionghoa di Mancanegara Timur dan pesisir utara.
Sebelum perlawanan pada November hingga Desember 1810, berkat kedudukannya sebagai kepala penguasa persewaan gerbang cukai jalan untuk sultan di wilayah Madiun.
Raden Ronggo curiga pada ancaman yang ditimbulkan atas kepentingan perekonomian setempat, khususnya dalam perdagangan kayu, sebagai akibat dari kegiatan yang tidak pandang bulu para penebang kayu serta pengusaha Eropa.
Dia menyatakan dirinya sendiri sebagai pengayom semua orang Jawa dan orang Tionghoa.
Orang Jawa dan Tionghoa yang diperlakukan secara sewenang-wenang oleh pemerintahan Belanda diajak bekerja sama, agar dapat memerangi pemerintah Belanda yang telah merugikan kesejahteraan dan kemakmuran Jawa.
Seruan sang bupati wedana secara khusus juga ditujukan kepada komunitas Tionghoa yang makmur di pantai utara, yang dukungannya diharapkan diperoleh melakukan serangkaian serangan terhadap pasukan utama Belanda di antara daerah Rembang dan Surabaya.
Namanya mungkin kalah gaungnya jika dibandingkan Pangeran Diponegoro, Kyai Modjo, hingga Sentot Ali Basya panglima perang pada masa Perang Diponegoro. Namun siapa sangka Raden Ronggo telah melakukan perlawanan awal ke Belanda sejak 1810 Masehi.
Sang bupati wedana ini bergerak memberikan perlawanan ke pasukan Belanda kala Gubernur Daendels berkuasa.
Sebagaimana dikisahkan pada "Banteng Terakhir Kesultanan Yogyakarta: Riwayat Raden Ronggo Prawirodirjo II dari Madiun sekitar 1779 - 1810" Raden Ronggo menaiki muda dengan 300 orang pengikutnya lewat tengah malam meninggalkan Yogyakarta menuju Jenu.
Sang bupati itu memutuskan melawan Belanda dengan meninggal Yogyakarta tanpa memenuhi keinginan Daendels agar dirinya hadir sebagai undangan ke Bogor.
Di Jenu, bupati dan rombongannya beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke Madiun dengan rombongannya yang berkuda. Tiga hari sebelum pelariannya, dia menulis surat kepada Notodiningrat dan Sumodiningrat berisi alasan perlawanan.
Surat Raden Ronggo tidak sampai ke tangan calon penerimanya, tetapi dapat memberikan wawasan tentang tujuan pokok dia melakukan perlawanan.
Baca Juga
Raden Ronggo tidak bermaksud menentang Sultan Hamengkubuwono II, tetapi justru berniat melawan pemerintah kolonial dan sunan di Surakarta beserta orang-orang Jawa yang memihak Belanda, yang mengakibatkan perubahan dalam kehidupan rakyat.
Dia berharap berkah sultan dan para leluhurnya yang merupakan raja-raja wirayuda. Dia juga berharap Sultan Hamengkubuwono II tidak mempunyai niat untuk mencelakakan dirinya.
Setelah memproklamasikan perlawanan terhadap pihak kolonial pada 20 November 1810, Raden Ronggo berangkat ke Madiun pada 21 November 1810 dini hari.
Dia mengangkut 300 pasukan melewati Bengawan Solo dengan perahu tambang atau eretan saat bergerak dari Kartasura ke Masaran menuju Madiun pada 22 November 1810.
Sang bupati wedana Mancanagera Timur yang juga menjabat Bupati Madiun mengimbau, ajakan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial kepada semua golongan masyarakat bumiputra dan Timur Asing (Tionghoa) di mancanegara timur dan pesisir.
Dia menikmati hubungan akrab dengan masyarakat Tionghoa di Mancanegara Timur dan pesisir utara.
Sebelum perlawanan pada November hingga Desember 1810, berkat kedudukannya sebagai kepala penguasa persewaan gerbang cukai jalan untuk sultan di wilayah Madiun.
Raden Ronggo curiga pada ancaman yang ditimbulkan atas kepentingan perekonomian setempat, khususnya dalam perdagangan kayu, sebagai akibat dari kegiatan yang tidak pandang bulu para penebang kayu serta pengusaha Eropa.
Baca Juga
Dia menyatakan dirinya sendiri sebagai pengayom semua orang Jawa dan orang Tionghoa.
Orang Jawa dan Tionghoa yang diperlakukan secara sewenang-wenang oleh pemerintahan Belanda diajak bekerja sama, agar dapat memerangi pemerintah Belanda yang telah merugikan kesejahteraan dan kemakmuran Jawa.
Seruan sang bupati wedana secara khusus juga ditujukan kepada komunitas Tionghoa yang makmur di pantai utara, yang dukungannya diharapkan diperoleh melakukan serangkaian serangan terhadap pasukan utama Belanda di antara daerah Rembang dan Surabaya.
(ams)