Resolusi Jihad NU, 10 November dan Hari Santri

Senin, 31 Oktober 2016 - 05:00 WIB
Resolusi Jihad NU, 10 November dan Hari Santri
Resolusi Jihad NU, 10 November dan Hari Santri
A A A
Tak banyak orang tahu jika Hari Santri yang baru diperingati beberapa waktu lalu pada 22 Oktober 2016 bertepatan dengan peringatan 70 tahun Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama (NU). Peringatan Hari Santri yang baru lalu begitu semarak diperingati tak hanya warga Nahdliyin tapi oleh segenap umat Islam yang ada di tanah air.

Diantaranya dengan gerak jalan memperingati Resolusi Jihad yang menempuh jarak ratusan kilometer diawali dari Tugu Pahlawan di Surabaya dan sampai di Tugu Proklamasi di Jakarta.

Kebetulan peringatan Hari Santri tersebut juga digunakan oleh beberapa elemen masyarakat di sejumlah daerah untuk menyalurkan aspirasinya dalam menyikapi kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok).

Bahkan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo yang menyempatkan diri datang dalam peringatan 70 Resolusi Jihad NU di Tugu Proklamasi Jakarta menyatakan, hikmah dan pelajaran yang diperoleh dari peristiwa Resolusi Jihad antara lain bahwa perjuangan melawan penjajah pada masa perjuangan kemerdekaan, terkait erat dengan Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh Ra'is Akbar NU KH Hasyim Asyari pada 22 Oktober 1945.

Resolusi Jihad NU sejatinya adalah salah satu bukti bahwa Umat Islam Indonesia selalu menjadi garda terdepan dalam menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tanpa adanya Resolusi Jihad NU ini, mungkin Indonesia masih terjajah oleh Belanda yang saat itu ingin kembali menguasai nusantara.

Keluarnya Resolusi Jihad tersebut tak terlepas dari permohonan dari Presiden Soekarno pada 17 September 1945, yang memohon fatwa hukum kepada ulama. Karena NU merupakan organisasi Islam yang terbesar kala itu maka Presiden Soekarno meminta fatwa untuk mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam kepada KH Hasyim Asyari.

Hal yang sama juga dilakukan Mayor Jenderal TKR Mustopo, sebagai komandan sektor perlawanan Surabaya pada waktu itu, bersama Sungkono, Bung Tomo dan tokoh-tokoh Jawa Timur menghadap KH Hasyim Asyari. Intinya meminta fatwa untuk melakukan perang suci atau jihad dengan sasaran mengusir sekutu dan NICA yang dipimpin oleh Brigjend Mallaby di Surabaya. Hal ini didasari situasi Kota Surabaya pada waktu itu.

Kemudian KH Hasyim Asyari mengumpulkan ulama-ulama sebagai konsul Nahdlatul Ulama (NU) se-Jawa dan Madura dalam rapat besar pada 21-22 Oktober di Surabaya, Jawa Timur.

Melalui perwakilan ulama yang datang ke pertemuan tersebut, dibuat seruan berupa fatwa Jihad yang berisikan bahwa perjuangan membela tanah air adalah merupakan jihad fi sabilillah.

Fatwa yang dibacakan dibacakan Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU) Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945 yang kemudian dikenal sebagai Resolusi Jihad yang isinya antara lain perjuangan atau berperang melawan penjajah merupakan fardhu ain yang dikerjakan oleh setiap orang Islam laki-laki, perempuan, anak-anak bersenjata atau tidak.

Bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 kilometer dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi orang-orang yang berada diluar jarak lingkaran tadi kewajiban itu menjadi fardhu kifayah. Berikut adalah Resolusi Jihad NU

Bismillahirrahmanirrahim

Resolusi

Rapat besar wakil-wakil daerah (Konsul-konsul) Perhimpunan Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya: Mendengar:

Bahwa di tiap-tiap daerah di seluruh Jawa-Madura ternyata betapa besarnya hasrat ummat Islam dan Alim ulama di tempatnya masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan AGAMA, KEDAULATAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MERDEKA. Menimbang:

a. Bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum AGAMA ISLAM, termasuk sebagai suatu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam

b. Bahwa di Indonesia ini warga Negaranya adalah sebagian besar terdiri dari Ummat Islam.

Mengingat:

a. Bahwa oleh pihak Belanda (NICA) dan Jepang yang datang dan berada di sini telah banyak sekali dijalankan banyak kejahatan dan kekejaman yang mengganggu ketenteraman umum.

b. Bahwa semua yang dilakukan oleh semua mereka itu dengan maksud melanggar Kedaulatan Republik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali menjajah di sini, maka di beberapa tempat telah terjadi pertempuran yang mengorbankan beberapa banyak jiwa manusia.

c. Bahwa pertempuran-pertempuran itu sebagian besar telah dilakukan ummat Islam yang merasa wajib menurut hukum agamanya untuk mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanya.

d. Bahwa di dalam menghadapi sekalian kejadian-kejadian itu belum mendapat perintah dan tuntutan yang nyata dari Pemerintah Republik Indonesia yang sesuai dengan kejadian-kejadian tersebut.

Memutuskan:

1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan Agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannya.

2. Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.

Dengan adanya Resolusi Jihad NU tersebut, Umat Islam menjadi terbakar semangatnya untuk berperang karena selain tak ingin kembali terjajah oleh Belanda. Mereka juga merindukan mati syahid yang sudah dijanjikan akan memperoleh jaminan masuk surga oleh Allah SWT. Salah satunya adalah perlawanan warga (arek-arek) Surabaya terhadap Sekutu pada 10 November 1945 yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan.

Tanpa Resolusi Jihad, maka tidak ada perlawanan heroik. Jika tidak ada perlawanan heroik maka tidak ada hari pahlawan 10 November.

Sumber:

Wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
Nakhodaku
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3246 seconds (0.1#10.140)