Kisah Kesaktian Bajulgiling, Pusaka Andalan Jaka Tingkir yang Bisa Tundukkan Puluhan Buaya
loading...
A
A
A
Jaka Tingkir atau dalam pelafalan Bahasa Jawa menjadi Joko Tingkir, sangat dikenal di masyarakat. Bahkan, peninggalannya di Desa Sangiran, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, yang dikenal dengan Punden Tingkir, selalu ramai dikunjungi masyarakat.
Nama Jaka Tingkir juga pernah ramai menjadi kontroversial, usai dijadikan syair dalam lagu bergaya dangdut campursari oleh pencipta lagu sekaligus penyanyi Tama Halu. Dikemudian hari, penyanyi dan pencipta lagu itu akhirnya meminta maaf dan menghilangkan nama Jaka Tingkir dalam syair lagunya.
Siapa sangka, Jaka Tingkir merupakan sosok yang memiliki kesaktian dan kedigdayaan hingga melegenda di tanah Jawa. Kisah-kisah tentang Jaka Tingkir, yang berkembang di tengah masyarakat, tidak pernah lepas dari pusaka berupa ikat pinggang atau timang yang memiliki nama Kiai Bajulgiling.
Pusaka sakti Kiai Bajulgiling tersebut, didapatkan Jaka Tingkir dari gurunya, Ki Buyut Banyubiru atau Ki Kebo Kanigoro. Banyak dikisahkan, pusaka sakti timang Kiai Bajulgiling itu, dibuat oleh Ki Buyut Banyubiru dari biji baja murni yang diambil dari dalam gumpalan magma lahar Gunung Merapi dan kulit buaya.
Dengan kekuatan gaibnya, bijih baja murni itu oleh Ki Banyubiru dibuat menjadi pusaka. Berdasarkan Babad Jawi dan Babad Pengging, kekuatan gaib yang dimiliki timang Kiai Bajulgiling ialah, barang siapa yang memakai ikat pinggang Kiai Bajulgiling ini, maka dia akan kebal dari segala macam senjata tajam dan ditakuti semua binatang buas.
Hal ini selain kekuatan alami yang dimiliki oleh inti biji baja murni itu sendiri, juga karena adanya kekuatan rajah berkekuatan gaib yang diguratkan Ki Banyubiru di seputar timang berkulit buaya tersebut.
Kekuatan dan keampuhan ikat pinggang Kiai Bajulgiling beberapa kali dialami dan dibuktikan sendiri oleh Jaka Tingkir. Sebelum berguru ke Ki Banyubiru, Jaka Tingkir atau Mas Karebet ini, pernah juga berguru ke Sunan Kalijaga dan Ki Ageng Sela.
Setelah berguru kepada Ageng Sela, dan Sunan Kalijaga, Jaka Tingkir lalu disuruh untuk mengabdi ke Keraton Demak Bintoro. Di Kesultanan Demak ini Jaka Tingkir melamar sebagai pengawal pribadi.
Keberhasilannya meloncati kolam masjid dengan lompatan ke belakang tanpa sengaja, karena sekonyong-konyong Jaka Tingkir harus menghindari Sultan dan para pengiringnya memperlihatkan bahwa dialah orang yang tepat sebagai pengawal.
Jaka Tingkir juga dikenal pandai menarik simpati Raja Demak Trenggono, sehingga dia diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat Lurah Wiratamtama. Beberapa waktu kemudian, Jaka Tingkir ditugaskan menyeleksi penerimaan prajurit baru.
Ada seorang pelamar bernama Dadungawuk yang sombong dan suka pamer. Ketika dihadapan Jaka Tingkir, Dadungawuk tidak ingin diseleksi seperti yang lain, namun malah ingin menjajal kesaktian dari Jaka Tingkir.
Karena merasa diremehkan, Jaka Tingkir sakit hati dan tidak bisa menahan emosinya sehingga Dadungawuk ditusuk dengan Sadak Kinang (tusuk konde) yang menembus jantungnya. Akibatnya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari Demak karena konon Dadungdawuk juga merupakan kerabat Kesultanan Demak.
Kepergian Jaka Tingkir menimbulkan rasa sedih yang mendalam pada kawan-kawannya. Dengan rasa putus asa Jaka Tingkir pulang kembali dan ingin mati saja. Dua orang pertapa, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang (suami dari putri Bondan Kejawen atau adik Ki Ageng Getas Pendawa, kakek buyut Panempahan Senopati) memberinya semangat.
Ketika Jaka Tingkir berziarah pada malam hari di makam ayahnya di Pengging. Di sana Jaka Tingkir mendengar suara atau wangsit yang menyuruhnya pergi ke tokoh keramat lain, yaitu Ki Buyut dari Banyubiru. Lalu Mas Karebet atau Jaka Tingkir pergi menemui Ki Buyut Banyubiru.
Ki Banyubiru yang telah mengetahui maksud kedatangan Jaka Tingkir, langsung menerimanya sebagai murid. Oleh guru yang sakti ini, Jaka Tingkir diberikan pelajaran-pelajaran ilmu kedigjayaan di Gunung Lawu. Salah satunya adalah dengan merendam diri dalam sungai yang dingin, dengan tujuan dapat mengendalikan hawa nafsu dalam diri Jaka Tingkir.
Setelah beberapa bulan lamanya Jaka Tingkir menimba ilmu, Ki Buyut Banyubiru sudah memperbolehkan Jaka Tingkir untuk menemui Sultan Demak guna memohon pengampunan atas kesalahan yang pernah dilakukannya yaitu membunuh Dadungawuk. Sebelum berangkat ke Demak Ki Buyut Banyubiru memberikannya azimat Timang Kiai Bajulgiling.
Perjalanan kembali Jaka Tingkir ke Demak dilakukan dengan getek, yakni rakit yang hanya terdiri dari susunan beberapa batang bambu. Saat akan melewati Kedung Srengenge, Jaka Tingkir menghadapi hambatan karena adanya sekawanan buaya, kurang lebih berjumlah 40 ekor, yang menjadi penghuni dan penjaga kedung tersebut.
Percaya dengan kekuatan gaib dari timang ikat pinggang pemberian Ki Buyut Banyubiru, Jaka Tingkir nekad mengayuhkan geteknya memasuki kawasan Kedung Srengenge. Bahaya mengancam, ketika sekawanan buaya menghadang dan mengitari rakitnya.
Namun, berkat kekuatan gaib dari Timang Kiai Bajulgiling, buaya-buaya yang semula buas beringas seketika menjadi lemah dan akhirnya tunduk pada Jaka Tingkir. Bahkan, keempat puluh buaya ekor buaya itu menjadi pengawal perjalanan Jaka Tingkir selama menyebrangi Kedung Srengenge dengan berenang di kiri-kanan, depan dan belakang rakitnya
Di wilayah Demak, keampuhan jimat pemberian Kiai Buyut Banyubiru berupa ikat pinggang Kiai Bajulgiling diterapkannya kembali. Seekor kerbau liar atau banteng, dibuat Jaka Tingkir menjadi gila, sehingga tiga hari tiga malam para prajurit di Demak tidak dapat menghalau kerbau tersebut, bahkan dengan malu terpaksa mengaku kalah.
Hanya Jaka Tingkir yang akhirnya berhasil membunuh kerbau itu, yakni dengan mengeluarkan jimat yang telah dimasukkan ke dalam mulut hewan itu sebelumnya. Para prajurit Demak terkagum dengan aksi Jaka Tingkir yang mampu menaklukan banteng buas.
Raja Demak Sultan Trenggono akhirnya mengampuni perbuatan Jaka Tingkir tempo hari, dan memaafkannya. Kemudian Jaka Tingkir diangkat kembali sebagai prajurit, dengan jabatan sebagai pemimpin laskar tamtama.
Jaka Tingkir menikah dengan putri ke-5 raja, yaitu Ratu Mas Cempaka dan menjadi Bupati Pajang dengan gelar Adipati Adiwijaya. Sepeninggal Trenggono tahun 1546, puteranya yang bergelar Sunan Prawoto seharusnya naik takhta, tapi kemudian tewas dibunuh Aryo Penangsang pada tahun 1549.
Aryo Penangsang membunuh Sunan Prawoto, sebagai bentuk balas dendam atas kematian ayahnya. Ayah Aryo Penangsang yang bernama Pangeran Sekar Seda Lepen, tewas dibunuh Sunan Prawoto sewaktu dia menyelesaikan salat ashar di tepi Bengawan Solo.
Kemudian Aryo Penangsang mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang, tapi utusan itu gagal karena dia memiliki kekebalan dari jimat Ki Bajulgiling. Namun setelah mengalahkan utusan Aryo Penangsang, justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka hadiah untuk mempermalukan Aryo Penangsang.
Adiwijaya segan memerangi Aryo Penangsang secara langsung, karena sama-sama anggota keluarga Demak, dan merupakan saudara seperguruan yakni sama sama sebagai murid Sunan Kudus. Menyiasati hal itu, Adiwijaya mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Aryo Penangsang, akan mendapatkan tanah Pati dan Mentaok atau Mataram sebagai hadiah.
Sayembara diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani yang merupakan kakak ipar Ki Ageng Pemanahan, berhasil menyusun siasat cerdik. Sehingga Sutawijaya yang merupakan anak Ki Ageng Pemanahan, dapat menewaskan Aryo Penangsang setelah menusukkan Tombak Kiai Plered ketika Aryo Penangsang menyeberang Bengawan Sore dengan mengendarai Kuda Jantan Gagak Rimang.
Berkat kemenangan itu, lalu oleh Adiwijaya keluarga Ki Ageng Pemanahan diberi tanah perdikan Mataram. Saat naik takhta, kekuasaan Adiwijaya hanya mencakup wilayah Jawa Tengah saja, karena sepeninggal Trenggana, banyak daerah bawahan Demak yang melepaskan diri.
Negeri-negeri di Jawa Timur tergabung dalam Persekutuan Adipati Bang Wetan, yang saat itu dipimpin oleh Bupati Surabaya, Panji Wiryakrama. Pada tahun 1568 Sunan Prapen penguasa Giri Kedaton, menjadi mediator pertemuan antara Adiwijaya Raja Pajang di atas negeri yang mereka pimpin.
Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama diambil sebagai menantu Adiwijaya. Selain itu, Adiwijaya juga berhasil menundukkan Madura setelah penguasa pulau itu yang bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya menjadi menantunya.
Dalam pertemuan tahun 1568 itu, Sunan Prapen untuk pertama kalinya berjumpa dengan Ki Ageng Pemanahan, dan untuk kedua kalinya meramalkan bahwa Pajang akan ditaklukkan Mataram melalui keturunan Ki Ageng tersebut. Mendengar ramalan tersebut, Adiwijaya tidak lagi merasa cemas karena dia menyerahkan semuanya pada kehendak takdir.
Lalu beberapa tahun kemudian Sutawijaya atau Panembahan Senopati yang telah diberikannya tanah perdikan di Alas Mentaok, mulai melakukan pemberontakan terhadap Pajang. Pada tahun 1582 seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang, bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton yang merupakan putri bungsu Adiwijaya.
Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang, karena diduga ikut membantu anaknya. Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke Mataram. Sutawijaya mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang, dalam perjalanan pembuangannya ke Semarang.
Perbuatan Sutawijaya itu menjadi alasan Adiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua pihak meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan. Karena konon Sutawijaya mendapat bantuan dari Kanjeng Ratu Kidul sang penguasa Laut Selatan. Dengan sekoyong-konyong Gunung Merapi meletus akibatnya ratusan laskar Pajang tewas terkena letusan gunung tersebut.
Selanjutnya diceritakan dalam Serat Babad Tanah Jawi. Sultan Adiwijaya, terseret dalam kekacauan itu. Sehingga pasukannya dapat dipukul mundur oleh pasukan Mataram dan dengan terpaksa Adiwijaya melarikan diri. Adiwijaya ingin berdoa di Makam Tembayat, tetapi pintu makam tidak dapat dibuka.
Raja Pajang ini bahkan tidak mampu membukanya, sehingga dia berlutut saja di luar dan membuka ikat pinggang Kiai Bajulgiling. Juru kunci memberikan penjelasan yang sangat buruk tentang kejadian itu. Bahwa dia tidak lagi dizinkan menjadi raja. Hal ini amat mengguncangkan jiwa Adiwijaya.
Pada malam hari dia tertidur dalam bale kencur yang dikelilingi air, yang sangat menyegarkan. Esok harinya perjalanan dilanjutkan, tetapi ikat pinggang Bajulgiling tertinggal di depan pintu makam Sunan Tembakat. Sehingga gajah yang menjadi tunggangannya menjadi liar dan membuat Adiwijaya terjatuh. Setelah itu dia dinaikkan di atas tandu, begitulah perjalanan pulang ke Pajang amat lambat dan raja duduk terguncang-guncang di atas tandu.
Beberapa abdi dalem yang menolong raja saat jatuh dari gajah, segera mengetahui, mengapa Sultan tidak bisa lagi mengendalikan gajah yang tiba-tiba menjadi galak, karena tidak lagi adanya ikat pinggang azimat dari Kiai Buyut Banyubiru di pinggang sang raja. Mereka ingat, Sultan melepaskan ikat pinggang itu dari tubuhnya dan meletakkan di sampingnya saat berdoa di depan pintu makam Sunan Tembayat.
Hilangnya ikat pinggang Bajulgiling terdengar oleh telik sandi Mataram. Lalu sesampainya di Pajang, datang makhluk halus anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman yang menyerang dengan memukul dada Adiwijaya. Karena tidak lagi mengenakan ikat pinggang Ki Bajulgiling membuat sakit sang Raja Pajang ini bertambah parah.
Dalam keadaan sakit Adiwijaya berwasiat supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya, karena perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir. Selain itu, Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Adiwijaya yang dianggapnya sebagai putra tertua.
Adiwijaya akhirnya meninggal dunia pada tahun 1582. Dia dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya Banyak kisah tentang hilangnya dan keberadaan ikat pinggang bertimang Kiai Bajulgiling yang bertuah itu.
Ada sebagian kisah menceritakan, ikat pinggang yang tertinggal di depan pintu makam Sunan Tembayat itu diambil dan disimpan oleh juru kunci makam. Tetapi ada pula yang mempercayai ikat pinggang itu hilang secara gaib, yang hilangnya jimat itu juga diketahui dan disadari oleh Sultan.
Baca Juga
Nama Jaka Tingkir juga pernah ramai menjadi kontroversial, usai dijadikan syair dalam lagu bergaya dangdut campursari oleh pencipta lagu sekaligus penyanyi Tama Halu. Dikemudian hari, penyanyi dan pencipta lagu itu akhirnya meminta maaf dan menghilangkan nama Jaka Tingkir dalam syair lagunya.
Siapa sangka, Jaka Tingkir merupakan sosok yang memiliki kesaktian dan kedigdayaan hingga melegenda di tanah Jawa. Kisah-kisah tentang Jaka Tingkir, yang berkembang di tengah masyarakat, tidak pernah lepas dari pusaka berupa ikat pinggang atau timang yang memiliki nama Kiai Bajulgiling.
Pusaka sakti Kiai Bajulgiling tersebut, didapatkan Jaka Tingkir dari gurunya, Ki Buyut Banyubiru atau Ki Kebo Kanigoro. Banyak dikisahkan, pusaka sakti timang Kiai Bajulgiling itu, dibuat oleh Ki Buyut Banyubiru dari biji baja murni yang diambil dari dalam gumpalan magma lahar Gunung Merapi dan kulit buaya.
Dengan kekuatan gaibnya, bijih baja murni itu oleh Ki Banyubiru dibuat menjadi pusaka. Berdasarkan Babad Jawi dan Babad Pengging, kekuatan gaib yang dimiliki timang Kiai Bajulgiling ialah, barang siapa yang memakai ikat pinggang Kiai Bajulgiling ini, maka dia akan kebal dari segala macam senjata tajam dan ditakuti semua binatang buas.
Hal ini selain kekuatan alami yang dimiliki oleh inti biji baja murni itu sendiri, juga karena adanya kekuatan rajah berkekuatan gaib yang diguratkan Ki Banyubiru di seputar timang berkulit buaya tersebut.
Kekuatan dan keampuhan ikat pinggang Kiai Bajulgiling beberapa kali dialami dan dibuktikan sendiri oleh Jaka Tingkir. Sebelum berguru ke Ki Banyubiru, Jaka Tingkir atau Mas Karebet ini, pernah juga berguru ke Sunan Kalijaga dan Ki Ageng Sela.
Setelah berguru kepada Ageng Sela, dan Sunan Kalijaga, Jaka Tingkir lalu disuruh untuk mengabdi ke Keraton Demak Bintoro. Di Kesultanan Demak ini Jaka Tingkir melamar sebagai pengawal pribadi.
Keberhasilannya meloncati kolam masjid dengan lompatan ke belakang tanpa sengaja, karena sekonyong-konyong Jaka Tingkir harus menghindari Sultan dan para pengiringnya memperlihatkan bahwa dialah orang yang tepat sebagai pengawal.
Jaka Tingkir juga dikenal pandai menarik simpati Raja Demak Trenggono, sehingga dia diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat Lurah Wiratamtama. Beberapa waktu kemudian, Jaka Tingkir ditugaskan menyeleksi penerimaan prajurit baru.
Ada seorang pelamar bernama Dadungawuk yang sombong dan suka pamer. Ketika dihadapan Jaka Tingkir, Dadungawuk tidak ingin diseleksi seperti yang lain, namun malah ingin menjajal kesaktian dari Jaka Tingkir.
Karena merasa diremehkan, Jaka Tingkir sakit hati dan tidak bisa menahan emosinya sehingga Dadungawuk ditusuk dengan Sadak Kinang (tusuk konde) yang menembus jantungnya. Akibatnya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari Demak karena konon Dadungdawuk juga merupakan kerabat Kesultanan Demak.
Kepergian Jaka Tingkir menimbulkan rasa sedih yang mendalam pada kawan-kawannya. Dengan rasa putus asa Jaka Tingkir pulang kembali dan ingin mati saja. Dua orang pertapa, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang (suami dari putri Bondan Kejawen atau adik Ki Ageng Getas Pendawa, kakek buyut Panempahan Senopati) memberinya semangat.
Baca Juga
Ketika Jaka Tingkir berziarah pada malam hari di makam ayahnya di Pengging. Di sana Jaka Tingkir mendengar suara atau wangsit yang menyuruhnya pergi ke tokoh keramat lain, yaitu Ki Buyut dari Banyubiru. Lalu Mas Karebet atau Jaka Tingkir pergi menemui Ki Buyut Banyubiru.
Ki Banyubiru yang telah mengetahui maksud kedatangan Jaka Tingkir, langsung menerimanya sebagai murid. Oleh guru yang sakti ini, Jaka Tingkir diberikan pelajaran-pelajaran ilmu kedigjayaan di Gunung Lawu. Salah satunya adalah dengan merendam diri dalam sungai yang dingin, dengan tujuan dapat mengendalikan hawa nafsu dalam diri Jaka Tingkir.
Setelah beberapa bulan lamanya Jaka Tingkir menimba ilmu, Ki Buyut Banyubiru sudah memperbolehkan Jaka Tingkir untuk menemui Sultan Demak guna memohon pengampunan atas kesalahan yang pernah dilakukannya yaitu membunuh Dadungawuk. Sebelum berangkat ke Demak Ki Buyut Banyubiru memberikannya azimat Timang Kiai Bajulgiling.
Perjalanan kembali Jaka Tingkir ke Demak dilakukan dengan getek, yakni rakit yang hanya terdiri dari susunan beberapa batang bambu. Saat akan melewati Kedung Srengenge, Jaka Tingkir menghadapi hambatan karena adanya sekawanan buaya, kurang lebih berjumlah 40 ekor, yang menjadi penghuni dan penjaga kedung tersebut.
Percaya dengan kekuatan gaib dari timang ikat pinggang pemberian Ki Buyut Banyubiru, Jaka Tingkir nekad mengayuhkan geteknya memasuki kawasan Kedung Srengenge. Bahaya mengancam, ketika sekawanan buaya menghadang dan mengitari rakitnya.
Namun, berkat kekuatan gaib dari Timang Kiai Bajulgiling, buaya-buaya yang semula buas beringas seketika menjadi lemah dan akhirnya tunduk pada Jaka Tingkir. Bahkan, keempat puluh buaya ekor buaya itu menjadi pengawal perjalanan Jaka Tingkir selama menyebrangi Kedung Srengenge dengan berenang di kiri-kanan, depan dan belakang rakitnya
Di wilayah Demak, keampuhan jimat pemberian Kiai Buyut Banyubiru berupa ikat pinggang Kiai Bajulgiling diterapkannya kembali. Seekor kerbau liar atau banteng, dibuat Jaka Tingkir menjadi gila, sehingga tiga hari tiga malam para prajurit di Demak tidak dapat menghalau kerbau tersebut, bahkan dengan malu terpaksa mengaku kalah.
Hanya Jaka Tingkir yang akhirnya berhasil membunuh kerbau itu, yakni dengan mengeluarkan jimat yang telah dimasukkan ke dalam mulut hewan itu sebelumnya. Para prajurit Demak terkagum dengan aksi Jaka Tingkir yang mampu menaklukan banteng buas.
Raja Demak Sultan Trenggono akhirnya mengampuni perbuatan Jaka Tingkir tempo hari, dan memaafkannya. Kemudian Jaka Tingkir diangkat kembali sebagai prajurit, dengan jabatan sebagai pemimpin laskar tamtama.
Jaka Tingkir menikah dengan putri ke-5 raja, yaitu Ratu Mas Cempaka dan menjadi Bupati Pajang dengan gelar Adipati Adiwijaya. Sepeninggal Trenggono tahun 1546, puteranya yang bergelar Sunan Prawoto seharusnya naik takhta, tapi kemudian tewas dibunuh Aryo Penangsang pada tahun 1549.
Aryo Penangsang membunuh Sunan Prawoto, sebagai bentuk balas dendam atas kematian ayahnya. Ayah Aryo Penangsang yang bernama Pangeran Sekar Seda Lepen, tewas dibunuh Sunan Prawoto sewaktu dia menyelesaikan salat ashar di tepi Bengawan Solo.
Kemudian Aryo Penangsang mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang, tapi utusan itu gagal karena dia memiliki kekebalan dari jimat Ki Bajulgiling. Namun setelah mengalahkan utusan Aryo Penangsang, justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka hadiah untuk mempermalukan Aryo Penangsang.
Adiwijaya segan memerangi Aryo Penangsang secara langsung, karena sama-sama anggota keluarga Demak, dan merupakan saudara seperguruan yakni sama sama sebagai murid Sunan Kudus. Menyiasati hal itu, Adiwijaya mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Aryo Penangsang, akan mendapatkan tanah Pati dan Mentaok atau Mataram sebagai hadiah.
Sayembara diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani yang merupakan kakak ipar Ki Ageng Pemanahan, berhasil menyusun siasat cerdik. Sehingga Sutawijaya yang merupakan anak Ki Ageng Pemanahan, dapat menewaskan Aryo Penangsang setelah menusukkan Tombak Kiai Plered ketika Aryo Penangsang menyeberang Bengawan Sore dengan mengendarai Kuda Jantan Gagak Rimang.
Berkat kemenangan itu, lalu oleh Adiwijaya keluarga Ki Ageng Pemanahan diberi tanah perdikan Mataram. Saat naik takhta, kekuasaan Adiwijaya hanya mencakup wilayah Jawa Tengah saja, karena sepeninggal Trenggana, banyak daerah bawahan Demak yang melepaskan diri.
Negeri-negeri di Jawa Timur tergabung dalam Persekutuan Adipati Bang Wetan, yang saat itu dipimpin oleh Bupati Surabaya, Panji Wiryakrama. Pada tahun 1568 Sunan Prapen penguasa Giri Kedaton, menjadi mediator pertemuan antara Adiwijaya Raja Pajang di atas negeri yang mereka pimpin.
Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama diambil sebagai menantu Adiwijaya. Selain itu, Adiwijaya juga berhasil menundukkan Madura setelah penguasa pulau itu yang bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya menjadi menantunya.
Dalam pertemuan tahun 1568 itu, Sunan Prapen untuk pertama kalinya berjumpa dengan Ki Ageng Pemanahan, dan untuk kedua kalinya meramalkan bahwa Pajang akan ditaklukkan Mataram melalui keturunan Ki Ageng tersebut. Mendengar ramalan tersebut, Adiwijaya tidak lagi merasa cemas karena dia menyerahkan semuanya pada kehendak takdir.
Lalu beberapa tahun kemudian Sutawijaya atau Panembahan Senopati yang telah diberikannya tanah perdikan di Alas Mentaok, mulai melakukan pemberontakan terhadap Pajang. Pada tahun 1582 seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang, bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton yang merupakan putri bungsu Adiwijaya.
Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang, karena diduga ikut membantu anaknya. Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke Mataram. Sutawijaya mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang, dalam perjalanan pembuangannya ke Semarang.
Perbuatan Sutawijaya itu menjadi alasan Adiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua pihak meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan. Karena konon Sutawijaya mendapat bantuan dari Kanjeng Ratu Kidul sang penguasa Laut Selatan. Dengan sekoyong-konyong Gunung Merapi meletus akibatnya ratusan laskar Pajang tewas terkena letusan gunung tersebut.
Selanjutnya diceritakan dalam Serat Babad Tanah Jawi. Sultan Adiwijaya, terseret dalam kekacauan itu. Sehingga pasukannya dapat dipukul mundur oleh pasukan Mataram dan dengan terpaksa Adiwijaya melarikan diri. Adiwijaya ingin berdoa di Makam Tembayat, tetapi pintu makam tidak dapat dibuka.
Raja Pajang ini bahkan tidak mampu membukanya, sehingga dia berlutut saja di luar dan membuka ikat pinggang Kiai Bajulgiling. Juru kunci memberikan penjelasan yang sangat buruk tentang kejadian itu. Bahwa dia tidak lagi dizinkan menjadi raja. Hal ini amat mengguncangkan jiwa Adiwijaya.
Pada malam hari dia tertidur dalam bale kencur yang dikelilingi air, yang sangat menyegarkan. Esok harinya perjalanan dilanjutkan, tetapi ikat pinggang Bajulgiling tertinggal di depan pintu makam Sunan Tembakat. Sehingga gajah yang menjadi tunggangannya menjadi liar dan membuat Adiwijaya terjatuh. Setelah itu dia dinaikkan di atas tandu, begitulah perjalanan pulang ke Pajang amat lambat dan raja duduk terguncang-guncang di atas tandu.
Beberapa abdi dalem yang menolong raja saat jatuh dari gajah, segera mengetahui, mengapa Sultan tidak bisa lagi mengendalikan gajah yang tiba-tiba menjadi galak, karena tidak lagi adanya ikat pinggang azimat dari Kiai Buyut Banyubiru di pinggang sang raja. Mereka ingat, Sultan melepaskan ikat pinggang itu dari tubuhnya dan meletakkan di sampingnya saat berdoa di depan pintu makam Sunan Tembayat.
Hilangnya ikat pinggang Bajulgiling terdengar oleh telik sandi Mataram. Lalu sesampainya di Pajang, datang makhluk halus anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman yang menyerang dengan memukul dada Adiwijaya. Karena tidak lagi mengenakan ikat pinggang Ki Bajulgiling membuat sakit sang Raja Pajang ini bertambah parah.
Dalam keadaan sakit Adiwijaya berwasiat supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya, karena perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir. Selain itu, Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Adiwijaya yang dianggapnya sebagai putra tertua.
Adiwijaya akhirnya meninggal dunia pada tahun 1582. Dia dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya Banyak kisah tentang hilangnya dan keberadaan ikat pinggang bertimang Kiai Bajulgiling yang bertuah itu.
Ada sebagian kisah menceritakan, ikat pinggang yang tertinggal di depan pintu makam Sunan Tembayat itu diambil dan disimpan oleh juru kunci makam. Tetapi ada pula yang mempercayai ikat pinggang itu hilang secara gaib, yang hilangnya jimat itu juga diketahui dan disadari oleh Sultan.
(eyt)