Sejarah Bolaang Mongondow yang Jadi Korban Politik Adu Domba Belanda pada 1901

Senin, 26 Juni 2023 - 18:21 WIB
loading...
Sejarah Bolaang Mongondow yang Jadi Korban Politik Adu Domba Belanda pada 1901
Pemadangan eksotis di Tanjung Ompu di Desa Lalow, Kecamatan Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Foto/Dok. bolmongkab.go.id
A A A
Bolaang Mongondow, sebuah kabupaten yang berada di wilayah Sulawesi Utara, memiliki sejarah panjang. Pada awalnya, luas wilayah Bolaang Mongondow mencapai 50,3 persen dari luas wilayah Sulawesi Utara.



Saat otonomi dilaksanakan untuk pemerataan pembangunan, Kabupaten Bolaang Mongondow di bagi menjadi lima daerah, yakni Kabupaten Bolaang Mongondow, Kota Kotamobagu, Kabupaten B olaang Mongondow Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, dan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan.



Dilansir dari bolmongkab.go.id, sebelum dibagi menjadi lima daerah, Kabupaten Bolaang Mongondow merupakan wilayah yang ditetapkan dalam UU No. 29/1959 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi.



Dari catatan sejarah yang termuat di laman resmi Pemkab Bolaang Mongondow, bolmongkab.go.id, disebutkan penduduk asli Bolaang Mongondow berasal dari keturunan Gumalangit dan Tendeduata, serta Tumotoibokol dan Tumotoibokat.

Awalnya mereka tinggal di Gunung Komasaan (Bintauna). Kemudian menyebar ke timur di Tudu in Lombagin, Buntalo, Pondoli', Ginolantungan, sampai ke pedalaman Tudu in Passi, Tudu in Lolayan, Tudu in Sia', Tudu in Bumbungon, Mahag, dan Siniow.

Dalam laman bolmongkab.go.id disebutkan, peristiwa perpindahan penduduk ini terjadi sekitar abad 8 dan 9. Nama Bolaang berasal dari kata "Bolango" atau "Balangon" yang berarti laut. Bolaang atau golaang dapat pula berarti menjadi terang, atau terbuka dan tidak gelap. Sedangkan Mongondow dari kata "momondow" yang berarti berseru tanda kemenangan.

Bolaang terletak di tepi pantai utara Sulawesi Utara. Pada abad 17-19, Bolaang menjadi tempat kedudukan istana raja. Sedangkan Mongondow, terletak sekitar Kotamobagu. Daerah pedalaman sering disebut dengan "rata Mongondow".

Kelompok masyarakat di pesisir atau Bolaang, dan wilayah pedalaman atau Mogondow, akhirnya bersatu di bawah pemerintahan Raja Tadohe, sehingga wilayah tersebut dinamakan Bolaang Mongondow.



Ada yang khas dalam tatanan masyarakat di Bolaang Mogondow, yakni setiap kelompok keluarga dari satu keturunan dipimpin oleh seorang Bogani. Pemimpin kelompok keluarga atau Bogani ini, bisa pria atau perempuan yang ditentukan melalui proses pemilihan.

Persyaratan menjadi Bogani, antara lain memiliki kemampuan fisik atau kuat, berani, bijaksana, cerdas, serta mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan kelompok dan keselamatan dari gangguan musuh.

Mokodoludut adalah Punu' Molantud, yang diangkat berdasarkan kesepakatan seluruh Bogani. Mokodoludut tercatat sebagai raja atau datu yang pertama. Sejak Tompunu'on pertama sampai ketujuh, keadaan masyarakat semakin maju dengan adanya pengaruh dari bangsa asing.

Sistem pemerintahan mulai mengalami perubahan, sejak Tadohe menjadi Tompunu'on. Adanya pengaruh perdagangan dengan bangsa asing, utamanya Belanda, istilah Tompunu'on dirubah menjadi Datu atau raja.

Selama memerintah, Tadohe dikenal seorang Datu yang cakap. Di mana sistem bercocok tanam diatur dengan mulai dikenalnya padi, jagung dan kelapa yang dibawa bangsa Spanyol pada masa pemerintahan Mokoagow, yang merupakan ayah dari Tadohe.



Tadohe melakukan penggolongan dalam masyarakat, yaitu pemerintahan atau diistilahkan sebagai Kinalang, dan rakyat atau Paloko'. Dalam aturan kerajaan, Paloko' harus patuh dan menunjang tugas Kinalang. Sedangkan Kinalang, mengangkat tingkat penghidupan Paloko' melalui pembangunan disegala bidang.

Dalam masa kepemimpinannya, Tadohe berhasil mempersatukan seluruh rakyat yang hidup berkelompok dengan Boganinya masing-masing, dan dibentuk sistem pemerintahan baru. Seluruh kelompok keluarga dari Bolaang Mongondow yakni Passi dan Lolayan, Kotabunan, Dumoga, disatukan menjadi Bolaang Mongondow.

Pada masa pemerintahan Tadohe, mulai dikenal mata uang real, doit, sebagai alat perdagangan. Pada zaman pemerintahan Raja Cornelius Manoppo, yang merupakan raja ke-16, dan memerintah pada tahun 1832, agama Islam masuk daerah Bolaang Mongondow melalui Gorontalo, yang dibawa oleh Syarif Aloewi.

Syarif Aloewi menikahi putri raja pada tahun 1866. Setelah keluarga raja memeluk agama Islam, maka agama itu dianggap sebagai agama raja, dan penduduk di wilayah tersebut mulai memeluk agama Islam.

Berkembangnya agama Islam di wilayah Bolaang Mongondow, berpengaruh terhadap perkembangan kebudayaan dan kehidupan masyarakat. Sekitar tahun 1867 seluruh penduduk Bolaang Mongondow, sudah menjadi satu dalam bahasa, adat dan kebiasaan yang sama.

Sejarah Bolaang Mongondow yang Jadi Korban Politik Adu Domba Belanda pada 1901


Perselisihan dengan bangsa Belanda, mulai terjadi di Bolaang Mongondow, pada 1 Januari 1901. Di bawah pimpinann Controleur Anton Cornelius Veenhuizen, pasukan Belanda secara paksa masuk ke wilayah Bolaang Mongondow melalui Minahasa.

Langkah paksa diambil pasukan Belanda, dengan melakukan penyerangan melalui wilayah Minahasa, setelah usaha mereka melalui laut tidak berhasil. Upaya paksa yang dilakukan pasukan Belanda tersebut, terjadi saat Bolaang Mongondow dipimpin Raja Riedel Manuel Manoppo.

Raja Riedel Manuel Manoppo yang memimpin dari istananya di Bolaang, tidak mau menerima campur tangan Belanda dalam pemerintahannya. Belanda mulai menjalankan politik adu doba dengan melantik Datu Cornelis Manoppo menjadi raja. Belanda juga memberikan dukungan kepada Datu Cornelis Maoppo, untuk mendirikan komalig atau istana raja di Kotobangon, pada tahun 1901.

Pada tahun 1904, dilakukan perhitungan penduduk Bolaang Mongondow. Dari hasil perhitungan tersebut, diketahui jumlah penduduk di Bolaang Mongondow pada masa itu mencapai sebanyak 41.417 jiwa.

Laman bolmongkab.go.id menyebutkan, tada tahun 1906 di wilayah Bolaang Mogondow, mulai dibuka sekolah rakyat hasil kerjasama Raja Bolaang Mongondow, dengan Belanda. Ada tiga kelas yang dibuka, yakni kelas 1-3 dan dikelola oleh zending di beberapa desa.



Sekolah rakyat tersebut berada di Desa Nanasi, Nonapan, Mariri Lama, Kotobangon, Moyag, Pontodon, Passi, Popo Mongondow, Otam, Motoboi Besar, Kopandakan, Poyowa Kecil, dan Pobundayan. Jumlah murid sekolah rakyat pada waktu itu mencapai sebanyak 1.605 orang.

Para pengajar sekolah rakyat ini didatangkan dari Minahasa. Pada tahun 1937 dibuka sekolah Gubernemen di Kotamobagu. Yaitu, Vervolg School atau sekolah sambungan dari sekolah rakyat, untuk kelas 4 dan 5.

Suku Mongondow, dalam kehidupan keseharian menggunakan Bahasa Mongondow, Bahasa Bolango dan Bahasa Bintauna. Secara linguistik, bahasa-bahasa ini masuk ke dalam rumpun bahasa Filipina, bersama dengan Bahasa Gorontalo, Bahasa Minahasa, dan Bahasa Sangir.

Suku Mongondow juga menggunakan Bahasa Melayu Manado, dalam komunikasi mereka dengan masyarakat Sulawesi Utara lainnya. Suku Mongondow terdiri dari beberapa anak suku yang berdiam di wilayah Sulawesi Utara, dan Gorontalo, yaitu Bolaang Mongondow, Bolaang Uki, Kaidipang Besar, Bintauna, Buhang, Korompot, dan Mokodompis.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2915 seconds (0.1#10.140)