Netralitas ASN Masih Jadi Persoalan Krusial di Pilkada 2020
loading...
A
A
A
"Makanya kemampuan menggerakkan ASN dianggap sebagai keuntungan bagi para oknum kandidat yang pragmatis dan oportunis," paparnya.
Di sisi lain, lanjut Titi, pilkada di masa pandemi membuat pengawasan netralitas ASN menjadi makin tidak mudah. Misalnya, banyaknya program penanganan COVID-19 memicu praktik politisasi bansos dan program pemulihan dampak COVID-19 oleh aktor politik yang berkompetisi.
Menurutnya, politisasi program COVID-19 ini kemungkinan besar juga akan melibatkan ASN daerah untuk menjadi operator dalam praktik penyimpangan politisasi program penanganan COVID-19 tersebut.
"Ruang-ruang virtual yang makin masif digunakan saat pandemi COVID-19 juga dipakai oleh ASN untuk mengampanyekan petahana atau calon yang didukungnya secara langsung atau tidak langsung. Medsos sangat menggoda, terkait digital literacy di kalangan ASN," bebernya.
Sementara itu, Titi melihat ruang pengawasan menjadi tidak seefektif saat pilkada dalam situasi biasa. Karenanya dibutuhkan kerja pengawasan dan penegakan hukum yang tidak parsial. Lebih jauh, harus ada konektivitas dan sinergitas seluruh elemen negara baik Bawaslu, KASN, Ombudsman, Kemendagri, LPSK, dan lain-lain.
"Perlu sistem penanganan pelanggaran terintegrasi sebagai wujud keseriusan," imbuh dia.
Dengan demikian, Titi menegaskan untuk mengurangi pelanggaran pelibatan ASN dalam pilkada harus ada jaminan transparansi dan akuntabilitas proses pengawasan dan penegakan hukum. Netralitas ASN akan lebih mudah diwujudkan seiring dengan efektivitas implementasi reformasi birokrasi.
"Independensi penyelenggara pemilu serta keyakinan pada pemilu yang bebas dan adil akan memicu netralitas ASN," pungkas dia.
Di sisi lain, lanjut Titi, pilkada di masa pandemi membuat pengawasan netralitas ASN menjadi makin tidak mudah. Misalnya, banyaknya program penanganan COVID-19 memicu praktik politisasi bansos dan program pemulihan dampak COVID-19 oleh aktor politik yang berkompetisi.
Menurutnya, politisasi program COVID-19 ini kemungkinan besar juga akan melibatkan ASN daerah untuk menjadi operator dalam praktik penyimpangan politisasi program penanganan COVID-19 tersebut.
"Ruang-ruang virtual yang makin masif digunakan saat pandemi COVID-19 juga dipakai oleh ASN untuk mengampanyekan petahana atau calon yang didukungnya secara langsung atau tidak langsung. Medsos sangat menggoda, terkait digital literacy di kalangan ASN," bebernya.
Sementara itu, Titi melihat ruang pengawasan menjadi tidak seefektif saat pilkada dalam situasi biasa. Karenanya dibutuhkan kerja pengawasan dan penegakan hukum yang tidak parsial. Lebih jauh, harus ada konektivitas dan sinergitas seluruh elemen negara baik Bawaslu, KASN, Ombudsman, Kemendagri, LPSK, dan lain-lain.
"Perlu sistem penanganan pelanggaran terintegrasi sebagai wujud keseriusan," imbuh dia.
Dengan demikian, Titi menegaskan untuk mengurangi pelanggaran pelibatan ASN dalam pilkada harus ada jaminan transparansi dan akuntabilitas proses pengawasan dan penegakan hukum. Netralitas ASN akan lebih mudah diwujudkan seiring dengan efektivitas implementasi reformasi birokrasi.
"Independensi penyelenggara pemilu serta keyakinan pada pemilu yang bebas dan adil akan memicu netralitas ASN," pungkas dia.
(luq)