Asal Usul Tradisi Janur Kuning dan Karomah Raja Cirebon

Selasa, 11 April 2023 - 10:59 WIB
loading...
Asal Usul Tradisi Janur...
Asal usul janur kuning jadi budaya dan tradisi di setiap hajatan terutama pernikahan di sejumlah wilayah di Pulau Jawa terkait dengan sayembara Raja Cirebon. Foto/Ist
A A A
JANUR kuning hingga kini masih eksis menjadi budaya dan tradisi dalam setiap hajatan terutama pernikahan di sejumlah wilayah di Pulau Jawa. Di Cirebon, Jawa Barat ada kisah yang mengungkap asal usul janur kuning hingga menjadi budaya dan tradisi masyarakat setempat.

Asal usul janur kuning bermula saat Raja Cirebon menggelar sayembara untuk meratakan Gunung Hata. Peserta sayembara yang bisa meratakan Gunung Hata akan mendapatkan hadiah menikahi salah satu putri Raja Cirebon.


Kabar sayembara itu tersebar luas, hingga akhirnya banyak pendekar dan jawara dari berbagai daerah tertarik untuk mengikuti. Dengan bekal ilmu kanugaran dan kesaktian, mereka mencoba menaklukkan ujian dari Raja Cirebon.

Raja Cirebon menggelar sayembara meratakan Gunung Hata itu karena ingin membangun masjid sehingga penyebaran atau syiar Islam di wilayah Jawa Barat bisa lebih luas.

Sayembara di Kerajaan Cirebon itu juga terdengar oleh Raden Angga Wacana, penyebar syair Islam di kawasan Sukapura, Cimerak, Pangandaran, Jawa Barat.

Dalam buku Babad Cijulang disebutkan bahwa Raden Angga Wacana memiliki nama saat masih anak-anak yakni Naga Wacana.



Setelah menimba ilmu dan dewasa dengan bekal agama yang mumpungi, Naga Wacana dijuluki sebagai Raden Angga Wacana.

Raden Angga Wacana yang tertarik dengan sayembara itu akhirnya berpamitan ke istrinya untuk menuju Cirebon. Selanjutnya dia pergi dengan hanya berbekal satu nasi bungkus atau nasi timbel untuk menuju lokasi sayembara di Gunung Hata.

Tokoh supranatural asal Cijulang, Tatang beberapa waktu lalu mengisahkan, setelah sampai di lokasi sayembara, Raden Angga Wacana tidak masuk arena.

Namun dia merangkai sisa serpihan kayu tatal untuk dijadikan pondasi dan rangka bangunan masjid diluar arena sayembara.

Hebatnya, pondasi dan rangka bangunan masjid berhasil diselesaikan dalam hitungan jam berkat kesaktian Raden Angga Wacana.

Selanjutnya, Raden Angga Wacana ke lokasi sayembara dan berusaha meratakan Gunung Hata. Setelah rata, dia meletakan rangka dengan pondasi bangunan masjid yang dibuatnya.

Gunung Hata pun rata dan telah ada rangka bangunan masjid. Sontak Raja Cirebon kaget sehinga menghentikan sayembara yang diikuti para jawara dan pendekar sakti.

Tetapi, saat ditanya oleh raja, masing-masing peserta sayembara mengaku sebagai orang yang berhasil meratahan Gunung Hata.

Tak kurang akal, Raja Cirebon membuat burung dari janur kuning dan diterbangkan untuk mencari siapa sesungguhnya yang menjadi pemenang sayembara.

Burung itu pun usai terbang kemudian singgah ke Raden Angga Wacana. Hingga akhirnya Raja Cirebon mengetahui yang meratakan Gunung Hata dan memasang pondasi dan rangka bangunan masjid adalah Raden Angga Wacana.

Sesuai dengan hadiah sayembara, maka Raden Angga Wacana berhak menikahi salah satu putri Raja Cirebon.

Akan tetapi, Raden Angga Wacana yang sudah memiliki isteri tidak mau mengambil hadiah sayembara. Dia pulang ke Pangandaran.

Raja Cirebon pun tetap berusaha menyerahkan hadiah dengan mengirim prajurit untuk menyusul Raden Angga Wacana.

Saat bertemu dengan Raden Angga Wacana, para prajurit menyampaikan pesan Raja Cirebon bahwa putri raja harus dinikahi. Karena tidak terjadi kesepakatan, maka terjadilah pertempuran hebat.

Hampir semua prajurit Raja Cirebon akhirnya kalah dan mematung jadi batu sesuai posisinya masing-masing.

Tetapi ada seorang prajurit Cirebon yang tak bisa dikalahkan, yakni Sembah Langkung yang merupakan kakak laki-laki putri Raja Cirebon.

Sembah Langkung dengan negosiasi akhirnya mampu meyakinkan Raden Angga Wacana untuk menikahi adiknya. Sedangkan Raden Angga Wacana meminta syarat dalam pernikahan tersebut ada riasan janur kuning.

Usai Sembah Langkung menikahkan adiknya dengan Raden Angga Wacana, peralatan yang dibawa oleh prajurit Kerajaan Cirebon disimpan di sebuah tempat yang selanjutnya berubah menjadi batu.

Selanjutnya riasan janur kuning jadi tradisi masyarakat Cirebon setiap menggelar hajatan terutama pernikahan.
(shf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2822 seconds (0.1#10.140)