Tujuh Niang Mengisahkan Kehidupan Orang Manggarai
loading...
A
A
A
Rumah-rumah dan kampung Wae Rebo representasi rumah dan kampung orang Manggarai, Flores. Kampung dibentuk dengan rumah-rumah yang dibangun mengelilingi sebuah ruang kehidupan bersama yang disebut natas (halaman tengah), tempat bermain dan melaksanakan acara adat.
Di tengah natas ada compang (mesbah atau altar) yang terbuat dari batu-batu ceper disusun melingkar berundak. Mesbah ini menjadi tempat persembahan di saat ada ritual adat. Diyakini, leluhur akan datang ke mesbah setiap kali warga melakukan ritual adat yang melibatkan leluhur. (Baca: Kisah Kampung Adat Seribu Gonjong, Pernah Ditinggali Syafruddin Prawiranegara)
Sama seperti fungsi dan model rumah orang Manggarai umumnya, rumah di Wae Rebo pun demikian. Rumah adat Wae Rebo berbentuk khas. Bagian bawah atau ruangan dalam berbentuk bulat dan bagian atas mengerucut beratapkan ijuk. Di kampung ini ada tujuh niang atau rumah adat, yakni Niang Gena Mandok, Niang Gena Jekong, Niang Gena Ndorom, Niang Gendang Maro, Niang Gena Pirong, Niang Gena Jintam, dan Niang Gena Maro.
Niang Gendang Maro adalah rumah adat utama, diyakini tempat leluhur pertama yang datang dari Minangkabau. Bangunan itu setinggi sekitar 14 meter, jauh lebih tinggi dari 6 niang lainnya. Pada Niang Gendang Maro ada tanda khusus di ujung kerucut atap, yakni kepala kerbau yang ditancapkan di atap yang disebut Ngando. Kepala kerbau menandakan bahwa kampung itu sudah dikukuhkan secara adat dengan darah kerbau.
Konstruksi rumah adat orang Manggarai selalu pakem, di mana pada bagian tengah rumah adat ada satu tiang penyangga utama yang disebut siri (tiang) bongkok (utama). Wujudnya dua batang kayu yang disambung. Ini disebut papa Ngando dan Ngando, simbol perkawinan lelaki dan perempuan.
Dari papa ngando paling tinggi, ditarik ring penahan atap berbentuk jejaring laba-laba. Bagian dalam rumah adat yang berbentuk bulat mengandung filosofi kesatuan pola hidup manusia yang mengisyaratkan keutuhan hidup, tidak ada konflik, tapi harmoni yang selalu dijaga. (Baca: Kisah Pohon Cengkeh Tertua di Dunia yang Selamat dari Pemusnahan Belanda)
Compang (di tengah kampung) dan rumah mengitari compang dengan tiang penyangga utama tengah, darinya ring penahan atap membentuk jejaring laba-laba, melambangkan satu-kesatuan hidup orang Manggarai yang saling terhubung satu sama lain. Jadi, bangunan dasar falsafah kehidupan orang manggarai adalah keterhubugan; antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan wujud tertinggi.
Falsafah jejaring keterhubungan itu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dalam rangkaian lingkaran musim. Di Wae Rebo, jika wisatawan datang tepat pada bulan Mei, pengunjung akan menyaksikan ritual kasawiang, ritual saat perubahan cuaca akibat pergerakan angin dari timur ke barat. Ada juga ritual adat pada Oktober, saat angin bergerak dari barat ke timur.
Adapun upacara Penti yang berlangsung pada November adalah tahun baru adat yang ditandai awal musim menanam. Pada acara penti warga meminta restu dan kesuburan pada leluhur dan alam agar semua benih yang ditanam dapat bertumbuh subur.
Nilai-nilai kearifan lokal yang terus terjaga membuat kampung Wae Rebo diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia pada tahun 2012. Pengakuan tersebut membuat tempat terpencil ini dikenal dunia. Saat ini Wae Rebo menjadi salah satu destinasi wisata populer di Flores, NTT.
Di tengah natas ada compang (mesbah atau altar) yang terbuat dari batu-batu ceper disusun melingkar berundak. Mesbah ini menjadi tempat persembahan di saat ada ritual adat. Diyakini, leluhur akan datang ke mesbah setiap kali warga melakukan ritual adat yang melibatkan leluhur. (Baca: Kisah Kampung Adat Seribu Gonjong, Pernah Ditinggali Syafruddin Prawiranegara)
Sama seperti fungsi dan model rumah orang Manggarai umumnya, rumah di Wae Rebo pun demikian. Rumah adat Wae Rebo berbentuk khas. Bagian bawah atau ruangan dalam berbentuk bulat dan bagian atas mengerucut beratapkan ijuk. Di kampung ini ada tujuh niang atau rumah adat, yakni Niang Gena Mandok, Niang Gena Jekong, Niang Gena Ndorom, Niang Gendang Maro, Niang Gena Pirong, Niang Gena Jintam, dan Niang Gena Maro.
Niang Gendang Maro adalah rumah adat utama, diyakini tempat leluhur pertama yang datang dari Minangkabau. Bangunan itu setinggi sekitar 14 meter, jauh lebih tinggi dari 6 niang lainnya. Pada Niang Gendang Maro ada tanda khusus di ujung kerucut atap, yakni kepala kerbau yang ditancapkan di atap yang disebut Ngando. Kepala kerbau menandakan bahwa kampung itu sudah dikukuhkan secara adat dengan darah kerbau.
Konstruksi rumah adat orang Manggarai selalu pakem, di mana pada bagian tengah rumah adat ada satu tiang penyangga utama yang disebut siri (tiang) bongkok (utama). Wujudnya dua batang kayu yang disambung. Ini disebut papa Ngando dan Ngando, simbol perkawinan lelaki dan perempuan.
Dari papa ngando paling tinggi, ditarik ring penahan atap berbentuk jejaring laba-laba. Bagian dalam rumah adat yang berbentuk bulat mengandung filosofi kesatuan pola hidup manusia yang mengisyaratkan keutuhan hidup, tidak ada konflik, tapi harmoni yang selalu dijaga. (Baca: Kisah Pohon Cengkeh Tertua di Dunia yang Selamat dari Pemusnahan Belanda)
Compang (di tengah kampung) dan rumah mengitari compang dengan tiang penyangga utama tengah, darinya ring penahan atap membentuk jejaring laba-laba, melambangkan satu-kesatuan hidup orang Manggarai yang saling terhubung satu sama lain. Jadi, bangunan dasar falsafah kehidupan orang manggarai adalah keterhubugan; antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan wujud tertinggi.
Falsafah jejaring keterhubungan itu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dalam rangkaian lingkaran musim. Di Wae Rebo, jika wisatawan datang tepat pada bulan Mei, pengunjung akan menyaksikan ritual kasawiang, ritual saat perubahan cuaca akibat pergerakan angin dari timur ke barat. Ada juga ritual adat pada Oktober, saat angin bergerak dari barat ke timur.
Adapun upacara Penti yang berlangsung pada November adalah tahun baru adat yang ditandai awal musim menanam. Pada acara penti warga meminta restu dan kesuburan pada leluhur dan alam agar semua benih yang ditanam dapat bertumbuh subur.
Nilai-nilai kearifan lokal yang terus terjaga membuat kampung Wae Rebo diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia pada tahun 2012. Pengakuan tersebut membuat tempat terpencil ini dikenal dunia. Saat ini Wae Rebo menjadi salah satu destinasi wisata populer di Flores, NTT.