Tujuh Niang Mengisahkan Kehidupan Orang Manggarai
loading...
A
A
A
BAGIbanyak orang, Wae Rebo tidak asing lagi. Kampung adat orang Manggarai ini kerap bertukar sebut Kampung di Atas Awan atau Kampung Diselimuti Awan. Ada pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, membuat kampung terpencil yang terletak di Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur ini, selalu diselimuti awan.
Bukit dan lembah yang mengitarinya menyebabkan semilir angin mengalir lancar, menghimpun awan tebal. Tubuh pun terasa sejuk. Menghirup udara bersih, menyatu dengan alam, membaur dengan warga yang kukuh menghayati tata krama dan nilai luhur yang turun-temurun diwariskan merupakan kenikmatan tak ternilai. (Baca: Kisah Lawang Borotan, Pintu Belakang Saksi Bisu Kepergian SMB II)
Lebih dari itu, saat ada di kampung ini, pengunjung disuguhi kisah dan cara hidup masyarakat setempat. Kampung Wae Rebo memiliki akar cerita jauh di masa lampau. Jika dihitung, warga yang mendiami kampung tersebut saat ini merupakan generasi ke-18.
Leluhur warga kampung ini bernama Maro, yang dalam kisah lisan berasal dari Minangkabau. Sebelum menetap di Wae Rebo, Maro berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, sebanyak 10 kali. Semula sang leluhur tinggal di Wriloka, ujung barat Pulau Flores. Kemudian pindah ke Pa’ang, lalu bergeser ke daerah pegunungan, Todo.
Lalu, mereka berpindah lagi ke Popo. Saat berada di Popo, leluhur Maro ini mengalami suatu kejadian tak terlupakan. Ceritanya sebagai berikut. Berawal dari satu keluarga, di mana sang istri sudah tiba waktunya untuk bersalin. Namun proses persalinannya sangat sulit dan memakan waktu cukup lama. Sudah memasuki hari ketujuh, sang istri masih meronta kesakitan, belum bisa bersalin.
Karena sudah di luar batas kewajaran, akhirnya warga kampung memutuskan untuk membelah perut sang ibu. Sayangnya, proses operasi ala masyarakat kampung ini hanya bisa menyelamatkan satu nyawa, yaitu si bayi. Sedangkan ibunya menjadi korban. Peristiwa meninggalnya sang ibu tidak diterima oleh keluarga besarnya.
Lalu, kampungnya Maro hendak diserang oleh warga kampung tetangga, asal sang ibu yang meninggal karena bersalin itu. Beruntung, pada malam sebelum kampung diserang, datang seekor musang ke rumah Maro. Menyaksikan kejadian yang tak lazim itu, Maro menyapa musang, "Kalau kau (musang) membawa berita baik, kau harus diam. Tapi bila membawa kabar buruk, keluarkan suaramu". Musang itu pun mengeluarkan suara.
Malam itu juga, dengan petunjuk musang, Maro dan warga meninggalkan kampung Popo dan mengungsi ke tempat yang aman. Dari tempat persembunyian, mereka melihat kampung mereka dibumihanguskan oleh warga kampung tetangga. Setelah mereka mendapatkan tempat pemukiman baru bernama Liho, musang itu pun pergi. Sejak kejadian itu, keturunan Maro berjanji untuk tidak berburu dan memakan daging musang. Itu sebagai wujud terima kasih atas jasa musang. Dari Liho, mereka ke Ndara, Golo Damu, dan Golo Pandu. (Baca: Sasak Beusi, Misteri Wanita Bergaun Merah dan Sejarah dari Masa ke Masa)
Di Golo Pandu, Maro bermimpi bertemu roh leluhur yang memberi petunjuk agar mereka menetap di suatu tempat yang ditunjuk dan tidak boleh berpindah lagi. Tempat itu letaknya tidak jauh dari Golo Pandu. Di tempat ini terdapat sungai dan mata air yang menjadi sumber air bersih warga. Itulah Wae Rebo sekarang, kampung sejuk yang kerap diselimuti awan. Wae Rebo sering dijuluki Kampung di Atas Awan.
Tujuh Rumah Niang
Rumah-rumah dan kampung Wae Rebo representasi rumah dan kampung orang Manggarai, Flores. Kampung dibentuk dengan rumah-rumah yang dibangun mengelilingi sebuah ruang kehidupan bersama yang disebut natas (halaman tengah), tempat bermain dan melaksanakan acara adat.
Di tengah natas ada compang (mesbah atau altar) yang terbuat dari batu-batu ceper disusun melingkar berundak. Mesbah ini menjadi tempat persembahan di saat ada ritual adat. Diyakini, leluhur akan datang ke mesbah setiap kali warga melakukan ritual adat yang melibatkan leluhur. (Baca: Kisah Kampung Adat Seribu Gonjong, Pernah Ditinggali Syafruddin Prawiranegara)
Sama seperti fungsi dan model rumah orang Manggarai umumnya, rumah di Wae Rebo pun demikian. Rumah adat Wae Rebo berbentuk khas. Bagian bawah atau ruangan dalam berbentuk bulat dan bagian atas mengerucut beratapkan ijuk. Di kampung ini ada tujuh niang atau rumah adat, yakni Niang Gena Mandok, Niang Gena Jekong, Niang Gena Ndorom, Niang Gendang Maro, Niang Gena Pirong, Niang Gena Jintam, dan Niang Gena Maro.
Niang Gendang Maro adalah rumah adat utama, diyakini tempat leluhur pertama yang datang dari Minangkabau. Bangunan itu setinggi sekitar 14 meter, jauh lebih tinggi dari 6 niang lainnya. Pada Niang Gendang Maro ada tanda khusus di ujung kerucut atap, yakni kepala kerbau yang ditancapkan di atap yang disebut Ngando. Kepala kerbau menandakan bahwa kampung itu sudah dikukuhkan secara adat dengan darah kerbau.
Konstruksi rumah adat orang Manggarai selalu pakem, di mana pada bagian tengah rumah adat ada satu tiang penyangga utama yang disebut siri (tiang) bongkok (utama). Wujudnya dua batang kayu yang disambung. Ini disebut papa Ngando dan Ngando, simbol perkawinan lelaki dan perempuan.
Dari papa ngando paling tinggi, ditarik ring penahan atap berbentuk jejaring laba-laba. Bagian dalam rumah adat yang berbentuk bulat mengandung filosofi kesatuan pola hidup manusia yang mengisyaratkan keutuhan hidup, tidak ada konflik, tapi harmoni yang selalu dijaga. (Baca: Kisah Pohon Cengkeh Tertua di Dunia yang Selamat dari Pemusnahan Belanda)
Compang (di tengah kampung) dan rumah mengitari compang dengan tiang penyangga utama tengah, darinya ring penahan atap membentuk jejaring laba-laba, melambangkan satu-kesatuan hidup orang Manggarai yang saling terhubung satu sama lain. Jadi, bangunan dasar falsafah kehidupan orang manggarai adalah keterhubugan; antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan wujud tertinggi.
Falsafah jejaring keterhubungan itu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dalam rangkaian lingkaran musim. Di Wae Rebo, jika wisatawan datang tepat pada bulan Mei, pengunjung akan menyaksikan ritual kasawiang, ritual saat perubahan cuaca akibat pergerakan angin dari timur ke barat. Ada juga ritual adat pada Oktober, saat angin bergerak dari barat ke timur.
Adapun upacara Penti yang berlangsung pada November adalah tahun baru adat yang ditandai awal musim menanam. Pada acara penti warga meminta restu dan kesuburan pada leluhur dan alam agar semua benih yang ditanam dapat bertumbuh subur.
Nilai-nilai kearifan lokal yang terus terjaga membuat kampung Wae Rebo diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia pada tahun 2012. Pengakuan tersebut membuat tempat terpencil ini dikenal dunia. Saat ini Wae Rebo menjadi salah satu destinasi wisata populer di Flores, NTT.
Bukit dan lembah yang mengitarinya menyebabkan semilir angin mengalir lancar, menghimpun awan tebal. Tubuh pun terasa sejuk. Menghirup udara bersih, menyatu dengan alam, membaur dengan warga yang kukuh menghayati tata krama dan nilai luhur yang turun-temurun diwariskan merupakan kenikmatan tak ternilai. (Baca: Kisah Lawang Borotan, Pintu Belakang Saksi Bisu Kepergian SMB II)
Lebih dari itu, saat ada di kampung ini, pengunjung disuguhi kisah dan cara hidup masyarakat setempat. Kampung Wae Rebo memiliki akar cerita jauh di masa lampau. Jika dihitung, warga yang mendiami kampung tersebut saat ini merupakan generasi ke-18.
Leluhur warga kampung ini bernama Maro, yang dalam kisah lisan berasal dari Minangkabau. Sebelum menetap di Wae Rebo, Maro berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, sebanyak 10 kali. Semula sang leluhur tinggal di Wriloka, ujung barat Pulau Flores. Kemudian pindah ke Pa’ang, lalu bergeser ke daerah pegunungan, Todo.
Lalu, mereka berpindah lagi ke Popo. Saat berada di Popo, leluhur Maro ini mengalami suatu kejadian tak terlupakan. Ceritanya sebagai berikut. Berawal dari satu keluarga, di mana sang istri sudah tiba waktunya untuk bersalin. Namun proses persalinannya sangat sulit dan memakan waktu cukup lama. Sudah memasuki hari ketujuh, sang istri masih meronta kesakitan, belum bisa bersalin.
Karena sudah di luar batas kewajaran, akhirnya warga kampung memutuskan untuk membelah perut sang ibu. Sayangnya, proses operasi ala masyarakat kampung ini hanya bisa menyelamatkan satu nyawa, yaitu si bayi. Sedangkan ibunya menjadi korban. Peristiwa meninggalnya sang ibu tidak diterima oleh keluarga besarnya.
Lalu, kampungnya Maro hendak diserang oleh warga kampung tetangga, asal sang ibu yang meninggal karena bersalin itu. Beruntung, pada malam sebelum kampung diserang, datang seekor musang ke rumah Maro. Menyaksikan kejadian yang tak lazim itu, Maro menyapa musang, "Kalau kau (musang) membawa berita baik, kau harus diam. Tapi bila membawa kabar buruk, keluarkan suaramu". Musang itu pun mengeluarkan suara.
Malam itu juga, dengan petunjuk musang, Maro dan warga meninggalkan kampung Popo dan mengungsi ke tempat yang aman. Dari tempat persembunyian, mereka melihat kampung mereka dibumihanguskan oleh warga kampung tetangga. Setelah mereka mendapatkan tempat pemukiman baru bernama Liho, musang itu pun pergi. Sejak kejadian itu, keturunan Maro berjanji untuk tidak berburu dan memakan daging musang. Itu sebagai wujud terima kasih atas jasa musang. Dari Liho, mereka ke Ndara, Golo Damu, dan Golo Pandu. (Baca: Sasak Beusi, Misteri Wanita Bergaun Merah dan Sejarah dari Masa ke Masa)
Di Golo Pandu, Maro bermimpi bertemu roh leluhur yang memberi petunjuk agar mereka menetap di suatu tempat yang ditunjuk dan tidak boleh berpindah lagi. Tempat itu letaknya tidak jauh dari Golo Pandu. Di tempat ini terdapat sungai dan mata air yang menjadi sumber air bersih warga. Itulah Wae Rebo sekarang, kampung sejuk yang kerap diselimuti awan. Wae Rebo sering dijuluki Kampung di Atas Awan.
Tujuh Rumah Niang
Rumah-rumah dan kampung Wae Rebo representasi rumah dan kampung orang Manggarai, Flores. Kampung dibentuk dengan rumah-rumah yang dibangun mengelilingi sebuah ruang kehidupan bersama yang disebut natas (halaman tengah), tempat bermain dan melaksanakan acara adat.
Di tengah natas ada compang (mesbah atau altar) yang terbuat dari batu-batu ceper disusun melingkar berundak. Mesbah ini menjadi tempat persembahan di saat ada ritual adat. Diyakini, leluhur akan datang ke mesbah setiap kali warga melakukan ritual adat yang melibatkan leluhur. (Baca: Kisah Kampung Adat Seribu Gonjong, Pernah Ditinggali Syafruddin Prawiranegara)
Sama seperti fungsi dan model rumah orang Manggarai umumnya, rumah di Wae Rebo pun demikian. Rumah adat Wae Rebo berbentuk khas. Bagian bawah atau ruangan dalam berbentuk bulat dan bagian atas mengerucut beratapkan ijuk. Di kampung ini ada tujuh niang atau rumah adat, yakni Niang Gena Mandok, Niang Gena Jekong, Niang Gena Ndorom, Niang Gendang Maro, Niang Gena Pirong, Niang Gena Jintam, dan Niang Gena Maro.
Niang Gendang Maro adalah rumah adat utama, diyakini tempat leluhur pertama yang datang dari Minangkabau. Bangunan itu setinggi sekitar 14 meter, jauh lebih tinggi dari 6 niang lainnya. Pada Niang Gendang Maro ada tanda khusus di ujung kerucut atap, yakni kepala kerbau yang ditancapkan di atap yang disebut Ngando. Kepala kerbau menandakan bahwa kampung itu sudah dikukuhkan secara adat dengan darah kerbau.
Konstruksi rumah adat orang Manggarai selalu pakem, di mana pada bagian tengah rumah adat ada satu tiang penyangga utama yang disebut siri (tiang) bongkok (utama). Wujudnya dua batang kayu yang disambung. Ini disebut papa Ngando dan Ngando, simbol perkawinan lelaki dan perempuan.
Dari papa ngando paling tinggi, ditarik ring penahan atap berbentuk jejaring laba-laba. Bagian dalam rumah adat yang berbentuk bulat mengandung filosofi kesatuan pola hidup manusia yang mengisyaratkan keutuhan hidup, tidak ada konflik, tapi harmoni yang selalu dijaga. (Baca: Kisah Pohon Cengkeh Tertua di Dunia yang Selamat dari Pemusnahan Belanda)
Compang (di tengah kampung) dan rumah mengitari compang dengan tiang penyangga utama tengah, darinya ring penahan atap membentuk jejaring laba-laba, melambangkan satu-kesatuan hidup orang Manggarai yang saling terhubung satu sama lain. Jadi, bangunan dasar falsafah kehidupan orang manggarai adalah keterhubugan; antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan wujud tertinggi.
Falsafah jejaring keterhubungan itu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dalam rangkaian lingkaran musim. Di Wae Rebo, jika wisatawan datang tepat pada bulan Mei, pengunjung akan menyaksikan ritual kasawiang, ritual saat perubahan cuaca akibat pergerakan angin dari timur ke barat. Ada juga ritual adat pada Oktober, saat angin bergerak dari barat ke timur.
Adapun upacara Penti yang berlangsung pada November adalah tahun baru adat yang ditandai awal musim menanam. Pada acara penti warga meminta restu dan kesuburan pada leluhur dan alam agar semua benih yang ditanam dapat bertumbuh subur.
Nilai-nilai kearifan lokal yang terus terjaga membuat kampung Wae Rebo diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia pada tahun 2012. Pengakuan tersebut membuat tempat terpencil ini dikenal dunia. Saat ini Wae Rebo menjadi salah satu destinasi wisata populer di Flores, NTT.
(don)