Tujuh Niang Mengisahkan Kehidupan Orang Manggarai

Selasa, 21 Juli 2020 - 05:01 WIB
loading...
Tujuh Niang Mengisahkan Kehidupan Orang Manggarai
Kampung Wae Rebo diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia pada tahun 2012. Saat ini Wae Rebo menjadi salah satu destinasi wisata populer di Flores, NTT.Foto istimewa
A A A
BAGIbanyak orang, Wae Rebo tidak asing lagi. Kampung adat orang Manggarai ini kerap bertukar sebut Kampung di Atas Awan atau Kampung Diselimuti Awan. Ada pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, membuat kampung terpencil yang terletak di Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur ini, selalu diselimuti awan.

Bukit dan lembah yang mengitarinya menyebabkan semilir angin mengalir lancar, menghimpun awan tebal. Tubuh pun terasa sejuk. Menghirup udara bersih, menyatu dengan alam, membaur dengan warga yang kukuh menghayati tata krama dan nilai luhur yang turun-temurun diwariskan merupakan kenikmatan tak ternilai. (Baca: Kisah Lawang Borotan, Pintu Belakang Saksi Bisu Kepergian SMB II)

Lebih dari itu, saat ada di kampung ini, pengunjung disuguhi kisah dan cara hidup masyarakat setempat. Kampung Wae Rebo memiliki akar cerita jauh di masa lampau. Jika dihitung, warga yang mendiami kampung tersebut saat ini merupakan generasi ke-18.

Leluhur warga kampung ini bernama Maro, yang dalam kisah lisan berasal dari Minangkabau. Sebelum menetap di Wae Rebo, Maro berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, sebanyak 10 kali. Semula sang leluhur tinggal di Wriloka, ujung barat Pulau Flores. Kemudian pindah ke Pa’ang, lalu bergeser ke daerah pegunungan, Todo.

Lalu, mereka berpindah lagi ke Popo. Saat berada di Popo, leluhur Maro ini mengalami suatu kejadian tak terlupakan. Ceritanya sebagai berikut. Berawal dari satu keluarga, di mana sang istri sudah tiba waktunya untuk bersalin. Namun proses persalinannya sangat sulit dan memakan waktu cukup lama. Sudah memasuki hari ketujuh, sang istri masih meronta kesakitan, belum bisa bersalin.

Karena sudah di luar batas kewajaran, akhirnya warga kampung memutuskan untuk membelah perut sang ibu. Sayangnya, proses operasi ala masyarakat kampung ini hanya bisa menyelamatkan satu nyawa, yaitu si bayi. Sedangkan ibunya menjadi korban. Peristiwa meninggalnya sang ibu tidak diterima oleh keluarga besarnya.

Lalu, kampungnya Maro hendak diserang oleh warga kampung tetangga, asal sang ibu yang meninggal karena bersalin itu. Beruntung, pada malam sebelum kampung diserang, datang seekor musang ke rumah Maro. Menyaksikan kejadian yang tak lazim itu, Maro menyapa musang, "Kalau kau (musang) membawa berita baik, kau harus diam. Tapi bila membawa kabar buruk, keluarkan suaramu". Musang itu pun mengeluarkan suara.

Malam itu juga, dengan petunjuk musang, Maro dan warga meninggalkan kampung Popo dan mengungsi ke tempat yang aman. Dari tempat persembunyian, mereka melihat kampung mereka dibumihanguskan oleh warga kampung tetangga. Setelah mereka mendapatkan tempat pemukiman baru bernama Liho, musang itu pun pergi. Sejak kejadian itu, keturunan Maro berjanji untuk tidak berburu dan memakan daging musang. Itu sebagai wujud terima kasih atas jasa musang. Dari Liho, mereka ke Ndara, Golo Damu, dan Golo Pandu. (Baca: Sasak Beusi, Misteri Wanita Bergaun Merah dan Sejarah dari Masa ke Masa)

Di Golo Pandu, Maro bermimpi bertemu roh leluhur yang memberi petunjuk agar mereka menetap di suatu tempat yang ditunjuk dan tidak boleh berpindah lagi. Tempat itu letaknya tidak jauh dari Golo Pandu. Di tempat ini terdapat sungai dan mata air yang menjadi sumber air bersih warga. Itulah Wae Rebo sekarang, kampung sejuk yang kerap diselimuti awan. Wae Rebo sering dijuluki Kampung di Atas Awan.


Tujuh Rumah Niang
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1124 seconds (0.1#10.140)