Asal Usul Nama dan Sejarah Banjarnegara, Wilayah yang Dijuluki Kota Dawet Ayu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Tengah . Luas wilayahnya yang mencapai 1.069,73 km2 terbagi menjadi 20 kecamatan, 12 kelurahan, dan 266 desa.
Dari beberapa wilayah yang dimilikinya itu, Banjarnegara berbatasan dengan beberapa Kabupaten seperti : Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang di sebelah utara, Kabupaten Wonosobo di sebelah timur, Kabupaten Kebumen di sisi selatan, serta Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Purbalingga di sebelah barat.
Jika ditinjau dari aspek historisnya, sejarah berdirinya Banjarnegara menarik untuk diketahui. Terlebih ketika menyangkut asal usul nama dan pembentukannya menjadi sebuah Kabupaten.
Berdirinya kabupaten yang berjuluk “Kota Dawet Ayu” ini tidak dapat dipisahkan dari kisah perjalanan hidup dari Raden Joko Kaiman yang merupakan menantu Adipati Wirasaba atau Adipati Wargahutama I.
Setelah Adipati Wargahutama I meninggal, Joko Kaiman kemudian melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan untuk melanjutkan pemerintahan di Kadipaten Wirasaba dengan gelar Adipati Wargahutama II.
Atas izin dari Raja Sultan Hadiwijaya di ajang, Raden Joko Kaiman melakukan pembagian wilayah kekuasaan Wirasaba menjadi 4 wilayah, yaitu : Wirasaba, Merden, Kejawar dan Banjar Petambakan.
Diketahui Peristiwa pembagian ini terjadi pada tanggal 6 April 1582 M, oleh karenanya tanggal tersebut kemudian menjadi “permulaan” sejarah pemerintahan Banjar Petambakan.
Pada periode Kadipaten Banjar Petambakan, pada saat itu telah mengalami pergantian Adipati sebanyak 12 kali masa kepemimpinan.
Dari sekian banyaknya pemimpin kota Banjar Petambakan, terdapat beberapa pemimpin yang menjadikan wilayah Kadipaten ini memiliki kemajuan.
Kala itu para petinggi pemerintahan berpikiran bahwa Irigasi yang baik akan menghidupkan sawah baru, sekaligus panen padi dan palawija akan lebih sering setiap setahun.
Selain itu KRT Tambakyuda juga dikenal sebagai ahli metalurgi atau logam, terutama senjata tradisional keris. Beliau diketahui menguasai pengetahuan sekitar 24 pamor keris, di antaranya : Pamor Beraswutah, Randuru, Sekarpala, Sulur Ringin, Udan Mas, Pandan Binetot dan Ombaking Banyu.
Adipati ini juga menguasai ilmu penempaan besi, diantaranya besi ‘mangangkang‘ yang berwarna hitam keunguan, dan pemakainya akan dicintai oleh banyak orang atau bisa menjadi penawar racun.
Payung (songsong) Kebesaran adalah payung khusus yang melambangkan pangkat dan kedudukan seseorang. Dalam budaya Kerajaan Jawa ada beberapa warna payung kebesaran yaitu Emas, Putih, Hijau dan Hitam.
Semasa Bupati Banjar Petambakan ke-9 ini, sebagian perempuan sudah dibekali kecakapan hidup dan didorong memiliki usaha agar menambah kesejahteraan keluarga. Semacam kegiatan PKK (saat ini) untuk memberdayakan keluarga dan meningkatkan kesejahteraannya.
Tidak seperti periode Banjar Pertambakan, periode Banjar Watu Lembu hanya diperintah oleh dua masa kepemimpinan saja yakni, KRT Mangunyudo (1780-1812) dan KRT Kertoyudo.
Pada era kepemimpinan Bupati KRT Mangunyuda, beliau sangat konsen untuk membangun wilayah, salah satunya adalah pernah melakukan kerjasama dengan Bupati Purbalingga ke-2, KRT Dipokusumo untuk bersama-sama memajukan bidang perencanaan, perdagangan, pertukangan, perkebunan dan pertanian.
Selain itu pada tahun 1784, KRT Mangunyuda juga mengikuti pelatihan manajemen para bupati di Surabaya dengan tujuan agar kepala daerah memiliki visi bisnis dan pemasaran. Kala itu, Bupati Mangunyuda berkepentingan memasarkan produk unggulan daerah Banjar, di antaranya gula kelapa.
Kepemimpinannya berakhir lantaran dirinya gugur dalam pertempuran saat melawan kolonialisme untuk membela Raja Surakarta Hadiningrat. Sehingga beliau dijuluki Mangunyuda Sedo Loji, karena meninggal di Loji bersama pasukannya. Bahkan angka Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara juga berpatokan pada peristiwa ini.
Dalam sejarahnya, Mangunyuda terbunuh oleh pasukan yang dipimpin Raden Tumenggung Dipoyudho IV. Oleh karena itu, Raden Tumenggung kemudian diusulkan oleh Belanda kepada Sri Susuhunan Paku Buwono VII untuk ditetapkan menjadi Adipati Banjar (Banjar Watu Lembu).
Beberapa saat setelah pengangkatannya itu, Raden Tumenggung Dipoyudo IV meminta izin kepada Pakubuwana VII di Kasunanan Surakarta untuk memindahkan Kadipaten ke sebelah selatan Sungai Serayu.
Setelah permintaan itu dikabulkan, maka mulailah pembangunan kota atau kabupaten yang berada di sekitar persawahan. Untuk mengenang asal mula kota kabupaten baru yang terbentul dari lokasi persawahan itu, maka wilayah barunya tersebut diberi nama “BANJARNEGARA” (MEMPUNYAI MAKSUD Sawah = Banjar, berubah menjadi kota = Negara) sampai sekarang.
Sebagai informasi untuk periode Banjar Watulembu ini berakhir bersamaan dengan surutnya Perang Diponegoro. Kala itu berakhirnya Perang Diponegoro menghasilkan beberapa perubahan-perubahan konstelasi politik di dalam Keraton dan kekuasaan di daerah. Termasuk pengaruhnya di Wilayah Kilen, yakni Karesidenan Banjoemas yang meliputi regentchap Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara.
Dari beberapa wilayah yang dimilikinya itu, Banjarnegara berbatasan dengan beberapa Kabupaten seperti : Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang di sebelah utara, Kabupaten Wonosobo di sebelah timur, Kabupaten Kebumen di sisi selatan, serta Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Purbalingga di sebelah barat.
Jika ditinjau dari aspek historisnya, sejarah berdirinya Banjarnegara menarik untuk diketahui. Terlebih ketika menyangkut asal usul nama dan pembentukannya menjadi sebuah Kabupaten.
Asal Usul Nama dan Sejarah Banjarnegara
Berdirinya Kabupaten Banjarnegara diketahui telah melewati dua periode, yakni Banjar Pertambakan dan Periode Banjar Watu Lembu.Periode Banjar Pertambakan
Pada awal berdirinya Kabupaten Banjarnegara dimulai dengan nama Banjar Petambakan yakni Periode tahun 1582 sampai dengan 1780 M di bawah kekuasaan Kerajaan Pajang dengan Raja Sultan Hadiwijaya.Berdirinya kabupaten yang berjuluk “Kota Dawet Ayu” ini tidak dapat dipisahkan dari kisah perjalanan hidup dari Raden Joko Kaiman yang merupakan menantu Adipati Wirasaba atau Adipati Wargahutama I.
Setelah Adipati Wargahutama I meninggal, Joko Kaiman kemudian melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan untuk melanjutkan pemerintahan di Kadipaten Wirasaba dengan gelar Adipati Wargahutama II.
Atas izin dari Raja Sultan Hadiwijaya di ajang, Raden Joko Kaiman melakukan pembagian wilayah kekuasaan Wirasaba menjadi 4 wilayah, yaitu : Wirasaba, Merden, Kejawar dan Banjar Petambakan.
Diketahui Peristiwa pembagian ini terjadi pada tanggal 6 April 1582 M, oleh karenanya tanggal tersebut kemudian menjadi “permulaan” sejarah pemerintahan Banjar Petambakan.
Pada periode Kadipaten Banjar Petambakan, pada saat itu telah mengalami pergantian Adipati sebanyak 12 kali masa kepemimpinan.
Dari sekian banyaknya pemimpin kota Banjar Petambakan, terdapat beberapa pemimpin yang menjadikan wilayah Kadipaten ini memiliki kemajuan.
Bupati KRT Tambakyuda (1680-1698)
Ditugaskan oleh Raja Sri Amangkurat Amral, Bupati KRT Tambakyuda kala itu diperintah untuk membangun irigasi Kali Serayu. Tujuannya adalah untuk memperkuat sisi ketahanan pangan yang berbasis pertanian.Kala itu para petinggi pemerintahan berpikiran bahwa Irigasi yang baik akan menghidupkan sawah baru, sekaligus panen padi dan palawija akan lebih sering setiap setahun.
Selain itu KRT Tambakyuda juga dikenal sebagai ahli metalurgi atau logam, terutama senjata tradisional keris. Beliau diketahui menguasai pengetahuan sekitar 24 pamor keris, di antaranya : Pamor Beraswutah, Randuru, Sekarpala, Sulur Ringin, Udan Mas, Pandan Binetot dan Ombaking Banyu.
Adipati ini juga menguasai ilmu penempaan besi, diantaranya besi ‘mangangkang‘ yang berwarna hitam keunguan, dan pemakainya akan dicintai oleh banyak orang atau bisa menjadi penawar racun.
KRT Reksawijaya : “Bupati Emansipasi”
Pada tahun 1714, Bupati telah mengirim sekelompok ibu-ibu pengrajin payung ke Pusat Kerajinan Payung di Desa Tanjung, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten untuk pelatihan cara membuat Payung (songsong) Kebesaran.Payung (songsong) Kebesaran adalah payung khusus yang melambangkan pangkat dan kedudukan seseorang. Dalam budaya Kerajaan Jawa ada beberapa warna payung kebesaran yaitu Emas, Putih, Hijau dan Hitam.
Semasa Bupati Banjar Petambakan ke-9 ini, sebagian perempuan sudah dibekali kecakapan hidup dan didorong memiliki usaha agar menambah kesejahteraan keluarga. Semacam kegiatan PKK (saat ini) untuk memberdayakan keluarga dan meningkatkan kesejahteraannya.
Periode Banjar Watu Lembu
Pada masa pemerintahan Banjar Watu Lembu pada tahun 1780-1831, ditandai dengan adanya pemindahan pusat pemerintah Kabupaten dari timur sungai, dipindahkan ke sebelah barat Sungai Merawu (situsnya diperkirakan di sekitar Balai Desa Banjarkulon).Tidak seperti periode Banjar Pertambakan, periode Banjar Watu Lembu hanya diperintah oleh dua masa kepemimpinan saja yakni, KRT Mangunyudo (1780-1812) dan KRT Kertoyudo.
Pada era kepemimpinan Bupati KRT Mangunyuda, beliau sangat konsen untuk membangun wilayah, salah satunya adalah pernah melakukan kerjasama dengan Bupati Purbalingga ke-2, KRT Dipokusumo untuk bersama-sama memajukan bidang perencanaan, perdagangan, pertukangan, perkebunan dan pertanian.
Selain itu pada tahun 1784, KRT Mangunyuda juga mengikuti pelatihan manajemen para bupati di Surabaya dengan tujuan agar kepala daerah memiliki visi bisnis dan pemasaran. Kala itu, Bupati Mangunyuda berkepentingan memasarkan produk unggulan daerah Banjar, di antaranya gula kelapa.
Kepemimpinannya berakhir lantaran dirinya gugur dalam pertempuran saat melawan kolonialisme untuk membela Raja Surakarta Hadiningrat. Sehingga beliau dijuluki Mangunyuda Sedo Loji, karena meninggal di Loji bersama pasukannya. Bahkan angka Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara juga berpatokan pada peristiwa ini.
Dalam sejarahnya, Mangunyuda terbunuh oleh pasukan yang dipimpin Raden Tumenggung Dipoyudho IV. Oleh karena itu, Raden Tumenggung kemudian diusulkan oleh Belanda kepada Sri Susuhunan Paku Buwono VII untuk ditetapkan menjadi Adipati Banjar (Banjar Watu Lembu).
Beberapa saat setelah pengangkatannya itu, Raden Tumenggung Dipoyudo IV meminta izin kepada Pakubuwana VII di Kasunanan Surakarta untuk memindahkan Kadipaten ke sebelah selatan Sungai Serayu.
Setelah permintaan itu dikabulkan, maka mulailah pembangunan kota atau kabupaten yang berada di sekitar persawahan. Untuk mengenang asal mula kota kabupaten baru yang terbentul dari lokasi persawahan itu, maka wilayah barunya tersebut diberi nama “BANJARNEGARA” (MEMPUNYAI MAKSUD Sawah = Banjar, berubah menjadi kota = Negara) sampai sekarang.
Sebagai informasi untuk periode Banjar Watulembu ini berakhir bersamaan dengan surutnya Perang Diponegoro. Kala itu berakhirnya Perang Diponegoro menghasilkan beberapa perubahan-perubahan konstelasi politik di dalam Keraton dan kekuasaan di daerah. Termasuk pengaruhnya di Wilayah Kilen, yakni Karesidenan Banjoemas yang meliputi regentchap Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara.
(bim)