Detik-detik Menegangkan Terbitnya Supersemar, Soeharto Sakit Tenggorokan dan Bung Karno Tinggalkan Rapat Kabinet
loading...
A
A
A
SURABAYA - Supersemar atau Surat Perintah 11 Maret 1966 ditandatangani Presiden Soekarno atau Bung Karno di Istana Bogor sekitar pukul 19.30 Wib. Penandatanganan melalui proses yang cukup alot sekaligus menegangkan.
Supersemar memberi mandat kepada Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban pasca meletusnya peristiwa 30 September 1965.
Ada ketegangan situasi politik yang mengiringi terbitnya Supersemar. Di mana-mana muncul aksi massa yang meneriakkan melambungnya harga bahan pokok, serta menuntut pembubaran PKI (Partai Komunis Indonesia).
Tidak terkendalinya harga bahan pokok memperlihatkan betapa ekonomi orde lama telah bangkrut. Inflasi mengamuk hingga 500% dan anggaran belanja negara mengalami defisit sampai 300%.
Pada 11 Maret 1966, itu ribuan massa aksi mengepung rapat kabinet yang dipimpin Bung Karno. Massa menamakan diri Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI), yakni organ afiliasi yang terdiri dari berbagai organ mahasiswa.
Di antaranya HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis), PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), dan Mapancas (Mahasiswa Pancasila).
KAMI dibentuk pada akhir Oktober 1965, di rumah Brigadir Jenderal Syarif Thayeb. Karenanya dalam gerakan dan isu yang diusung, KAMI mendapat back up penuh dari opsir-opsir penting Angkatan Darat.
Situasi mencekam adanya aksi demonstrasi menjalar hingga ke dalam ruangan rapat kabinet. Rapat kabinet di Istana Negara Jakarta, itu dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno.
Ribuan massa telah mengepung Istana Negara dengan tujuan menggagalkan rapat kabinet. Aksi massa sekaligus menjawab sikap Bung Karno dalam rapat kabinet 15 Januari 1966 sebelumnya.
Bung Karno dalam pidatonya tegas menyatakan, tidak akan mundur. Bung Karno melawan semua tekanan politik yang menyerangnya.
“Saya tidak akan mundur sejengkal pun. Saya Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi. Inilah saya. Saya tidak bisa berbuat lain. Ayo siapa yang membutuhkan Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi, kerahkan seluruh kekuatanmu, pertahankan Soekarno,” demikian dikutip dari buku Naiknya Para Jenderal (2000).
Di tengah kepungan massa di luar Istana Negara (Istana Merdeka), rapat kabinet pada 11 Maret 1966 tetap berjalan. Rapat tidak dihadiri Panglima TNI AD Soeharto, yang saat itu absen karena beralasan sakit tenggorokan.
Di luar pagar istana, massa semakin memperlihatkan keberingasannya. Ban-ban mobil yang berada di sekitar Istana Merdeka digembosi. Akibatnya timbul kemacetan di mana-mana.
Di antara ribuan massa mahasiswa yang mengepung Istana Negara, terdapat pasukan RPKAD yang telah melepas tanda pengenal kesatuan. Informasi itu sampai ke telinga Bung Karno.
Mungkin melihat situasi bertambah genting, ditambah Soeharto sebagai Panglima AD tidak hadir dalam rapat, Bung Karno memutuskan menghentikan rapat kabinet.
Dengan terburu-buru Bung Karno yang kemudian disusul Subandrio dan Chaerul Saleh, naik helikopter yang sudah disiapkan. Ketiganya langsung terbang menuju Istana Bogor.
Tak berselang lama, Wakil Perdana Menteri Leimena juga menyusul ke Istana Bogor. “Segera setelah kepergian Soekarno, Amir Machmud melaporkan kejadian itu kepada Soeharto."
Soeharto lantas memerintahkan Amir Mahmud, Mayor Jenderal M Yusuf (Menteri Perindustrian Dasar) dan Mayor Jenderal Basuki Rahmat (Menteri Urusan Veteran dan Demobilisasi) untuk menemui Bung Karno di Bogor.
Pada senja hari 11 Maret 1966, mereka berhasil menemui Bung Karno. Presiden Soekarno didampingi Subandrio, Chaerul Saleh, Leimena dan Hartini istrinya.
Terjadi diskusi serius dan cukup alot terkait proses lahirnya Supersemar. Perundingan kedua belah pihak berlangsung cukup menegangkan.
Sampai pukul 19.30 Wib, Bung Karno akhirnya bersedia menandatangani Supersemar, yakni intinya memberikan mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dirasa perlu demi stabilitas negara.
Terbitnya Supersemar merupakan awal berakhirnya kekuasaan politik Bung Karno. Pada 12 Maret 1966, yakni sehari setelah Supersemar terbit, Soeharto langsung membubarkan PKI beserta seluruh organisasi yang berafiliasi di dalamnya.
Supersemar memberi mandat kepada Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban pasca meletusnya peristiwa 30 September 1965.
Ada ketegangan situasi politik yang mengiringi terbitnya Supersemar. Di mana-mana muncul aksi massa yang meneriakkan melambungnya harga bahan pokok, serta menuntut pembubaran PKI (Partai Komunis Indonesia).
Tidak terkendalinya harga bahan pokok memperlihatkan betapa ekonomi orde lama telah bangkrut. Inflasi mengamuk hingga 500% dan anggaran belanja negara mengalami defisit sampai 300%.
Pada 11 Maret 1966, itu ribuan massa aksi mengepung rapat kabinet yang dipimpin Bung Karno. Massa menamakan diri Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI), yakni organ afiliasi yang terdiri dari berbagai organ mahasiswa.
Di antaranya HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis), PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), dan Mapancas (Mahasiswa Pancasila).
KAMI dibentuk pada akhir Oktober 1965, di rumah Brigadir Jenderal Syarif Thayeb. Karenanya dalam gerakan dan isu yang diusung, KAMI mendapat back up penuh dari opsir-opsir penting Angkatan Darat.
Situasi mencekam adanya aksi demonstrasi menjalar hingga ke dalam ruangan rapat kabinet. Rapat kabinet di Istana Negara Jakarta, itu dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno.
Ribuan massa telah mengepung Istana Negara dengan tujuan menggagalkan rapat kabinet. Aksi massa sekaligus menjawab sikap Bung Karno dalam rapat kabinet 15 Januari 1966 sebelumnya.
Bung Karno dalam pidatonya tegas menyatakan, tidak akan mundur. Bung Karno melawan semua tekanan politik yang menyerangnya.
“Saya tidak akan mundur sejengkal pun. Saya Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi. Inilah saya. Saya tidak bisa berbuat lain. Ayo siapa yang membutuhkan Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi, kerahkan seluruh kekuatanmu, pertahankan Soekarno,” demikian dikutip dari buku Naiknya Para Jenderal (2000).
Baca Juga
Di tengah kepungan massa di luar Istana Negara (Istana Merdeka), rapat kabinet pada 11 Maret 1966 tetap berjalan. Rapat tidak dihadiri Panglima TNI AD Soeharto, yang saat itu absen karena beralasan sakit tenggorokan.
Di luar pagar istana, massa semakin memperlihatkan keberingasannya. Ban-ban mobil yang berada di sekitar Istana Merdeka digembosi. Akibatnya timbul kemacetan di mana-mana.
Di antara ribuan massa mahasiswa yang mengepung Istana Negara, terdapat pasukan RPKAD yang telah melepas tanda pengenal kesatuan. Informasi itu sampai ke telinga Bung Karno.
Mungkin melihat situasi bertambah genting, ditambah Soeharto sebagai Panglima AD tidak hadir dalam rapat, Bung Karno memutuskan menghentikan rapat kabinet.
Baca Juga
Dengan terburu-buru Bung Karno yang kemudian disusul Subandrio dan Chaerul Saleh, naik helikopter yang sudah disiapkan. Ketiganya langsung terbang menuju Istana Bogor.
Tak berselang lama, Wakil Perdana Menteri Leimena juga menyusul ke Istana Bogor. “Segera setelah kepergian Soekarno, Amir Machmud melaporkan kejadian itu kepada Soeharto."
Soeharto lantas memerintahkan Amir Mahmud, Mayor Jenderal M Yusuf (Menteri Perindustrian Dasar) dan Mayor Jenderal Basuki Rahmat (Menteri Urusan Veteran dan Demobilisasi) untuk menemui Bung Karno di Bogor.
Pada senja hari 11 Maret 1966, mereka berhasil menemui Bung Karno. Presiden Soekarno didampingi Subandrio, Chaerul Saleh, Leimena dan Hartini istrinya.
Terjadi diskusi serius dan cukup alot terkait proses lahirnya Supersemar. Perundingan kedua belah pihak berlangsung cukup menegangkan.
Sampai pukul 19.30 Wib, Bung Karno akhirnya bersedia menandatangani Supersemar, yakni intinya memberikan mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dirasa perlu demi stabilitas negara.
Terbitnya Supersemar merupakan awal berakhirnya kekuasaan politik Bung Karno. Pada 12 Maret 1966, yakni sehari setelah Supersemar terbit, Soeharto langsung membubarkan PKI beserta seluruh organisasi yang berafiliasi di dalamnya.
(san)