Cantik! Ini Wajah Ken Dedes Hasil Artificial Intelligence, Permaisuri Singasari yang Darahnya Mengaliri Para Raja Nusantara

Sabtu, 04 Maret 2023 - 05:48 WIB
loading...
Cantik! Ini Wajah Ken Dedes Hasil Artificial Intelligence, Permaisuri Singasari yang Darahnya Mengaliri Para Raja Nusantara
Ken Dedes hasil Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, yang diunggah akun Instagram @ainusantara. Foto/Tangkapan Layar/Instagram @ainusantara
A A A
"Ken Dedes sebagai Paramesywari Tumapel, duduk di singgasana menggantikan Sang Akuwu. Empat orang menteri duduk di bawah mengapitnya. Yang Suci Belakangka berdiri, bertumpu pada tongkat. Sang Patih tidak hadir, karena dibawa oleh Sang Akuwu dalam menindas kerusuhan".



"Paramesywari memerintahkan padanya, menceritakan jalannya pertempuran. Arok mengangkat muka dan mengagumi kecantikan Dedes. Dalam hati ia membenarkan Tunggul Ametung mendudukkannya pada tahta Tumapel,".



"Ia adalah mahkota untuk kerajaan manapun, karena kecantikannya, karena pengetahuannya, karena ke-brahmanaannya, karena ketangkasannya, karena keinginannya untuk mengetahui persoalan negeri,".



Petikan paragraf dalam novel karya Pramudya Ananta Toer, yang berjudul "Arok Dedes", menggambarkan begitu pentingnya sosok Ken Dedes di Tumapel. Selain sebagai putri dari Mpu Purwa yang merupakan sosok Brahmana, Ken Dedes juga dianugerahi kecantikan serta kecerdasan luar biasa. Hal ini membuat banyak pria terpikat, termasuk Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung, dan Ken Arok.

Dalam unggahannya di Instagram, akun @ainusantara menunjukkan begitu mempesona dan cantiknya wajah Ken Dedes, hasil Artificial Intelligence. Sorot matanya begitu tajam, dan bibirnya begitu indah kala tersenyum manis.

Begitu melegendanya kisah Ken Dedes dan Ken Arok, sampai diangkat dalam sebuah drama karya Muhammad Yamin. Dilansir dari dapobas.kemdikbud.go.id, naskah drama Ken Arok dan Ken Dedes karya Muhammad Yamin, dipentaskan pertama kali di acara puncak Kongres Pemuda 28 Oktober 1928, yang melahirkan Sumpah Pemuda.

Setelah pementasan drama tersebut, kisah Ken Arok dan Ken Dedes yang sumber kisahnya berasal dari Kitab Pararaton tersebut, dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana, pada tahun 1934, atau enam tahun setelah Sumpah Pemuda.

"Drama ini mengangkat masalah perjuangan dan kehidupan Kerajaan Singasari, yang pernah jaya pada masa lalu. Temanya adalah rasa keadilan harus ditegakkan. Dalam drama itu, antara lain, diperlihatkan keadaan suatu sidang kerajaan menanggapi situasi negeri," tulis dapobas.kemdikbud.go.id.

Cantik! Ini Wajah Ken Dedes Hasil Artificial Intelligence, Permaisuri Singasari yang Darahnya Mengaliri Para Raja Nusantara

Sosok Ken Dedes hasil Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Foto/Istagram/@ainusantara

Dalam naskah drama itu disebutkan, sidang kerajaan tersebut membahas pengangkatan seorang putra mahkota Kerajaan Singasari. Ken Arok yang telah dinobatkan menjadi Raja Singasari, berkeras hati hendak mengangkat putra pertamanya dari permaisuri Ken Dedes, Mahisa Wong Ateleng menjadi putra mahkota Kerajaan Singasari.

Sikap Ken Arok ini, bertentangan dengan para pembesar Kerajaan Singsari, yakni Mahamenteri Rakian Hino, Mahamenteri Sirikan, dan Mahamenteri Hulu. Para petinggi Kerajaan Singasari tersebut, lebih memilih Anusapati yang merupakan putra Ken Dedes dari suami pertamanya, Tunggul Ametung.

Para petinggi Kerajaan Singasari menilai, Anusapati layak menjadi putra markota Kerajaan Singasari, karena merupakan anak sulung. Akan tetapi Ken Arok tetap memilih Mahisa Wong Ateleng, yang merupakan adik Anusapati, sebagai putra mahkota Kerajaan Singasari, tanpa memberikan alasan yang jelas.

Anusapati terluka dan kecewa dengan keputusan ayahnya. Bersamaan dengan itu, Anusapati bertemu ibunya, Ken Dedes. Melihat anaknya terluka dan kecewa, Ken Dedes tanpa sengaja membongkar rahasia siapa sebenarnya Anusapati. Terbongkarnya rahasia tersebut, membuat Anusapati murka dan menuntut balas atas kematian ayahnya, Tunggul Ametung.

Dalam akhir naskah drama di tahun 1928 itu, diungkapkan, Anusapati menggunakan keris sakti buatan Mpu Gandring, yang pernah digunakan Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, untuk membalaskan dendam kesumat tersebut. Ken Arok tewas di tusuk keris sakti yang dahulu menjadi senjata andalannya. Kematian Ken Arok, akhirnya membawa Anusapati ke tampuk singgasana Kerajaan Singasari.



Sejarawan Universitas Negeri Malang (UM), Dwi Cahyono menyebutkan, menurut Kitab Pararaton, Ken Dedes adalah putri dari Mpu Purwa, seorang pendeta Buddha aliran Mahayana dari desa Panawijen. Pada suatu hari Tunggul Ametung singgah di rumah Ken Dedes, dan jatuh hati pada Ken Dedes, dan segera ingin mempersunting gadis itu.

Karena saat itu Mpu Purwa sedang berada di hutan, Ken Dedes meminta Tunggul Ametung supaya sabar menunggu. Namun Tunggul Ametung tidak kuasa menahan diri. Ken Dedes dibawa pulang secara paksa ke Tumapel untuk dinikahi.

Ketika Mpu Purwa pulang ke rumah, dia marah mendapati putrinya telah diculik. "Hai orang yang melarikan anakku, semoga tidak mengenyam kenikmatan, matilah dia dibunuh dengan keris. Demikian juga orang-orang Panawijen, keringlah sumurnya, semoga tidak keluar air dari kolamnya," demikian Mpu Purwa marah dan mengucapkan sumpah.

Sumpah Mpu Purwa itu akhirnya menjadi kenyataan. Tunggul Ametung tewas oleh strategi Ken Arok, yang memanfaatkan seorang kesatria Kerajaan Kerdiri, bernama Kebo Ijo. Ken Dedes akhirnya dipersunting Ken Arok. Demikian juga dengan sumur warga Desa Panawijen, yang pada akhirnya kering.

Bahkan, petilasan Ken Dedes di kini berada di wilayah adminsitrasi Kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, juga kering. Yang tersisa hanya batu-batu kuno. Padahal, menurut Dwi Cahyono, petilasan tersebut dahulunya merupakan sendang.

Cantik! Ini Wajah Ken Dedes Hasil Artificial Intelligence, Permaisuri Singasari yang Darahnya Mengaliri Para Raja Nusantara

Situs Ken Dedes di Kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing, Kota Malang. Foto/Dok.SINDOnews/Yuswantoro

"Situs yang ada saat ini, pada awalnya merupakan sumber air yang sangat besar. Tetapi, di era tahun 1900-an, kondisinya telah mengering. Sebelumnya, sumber air tersebut digunakan masyarakat kuno untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari," ungkap Dwi Cahyono.

Kini, situs Ken Dedes, tidak lebihnya hanya sebuah cekungan tanah di sebelah selatan pemakaman umum Kelurahan Polowijen. Tidak banyak orang yang tahu, karena tidak ada akses jalan besar untuk masuk ke wilayah tersebut. Tetapi, setelah melintasi jalan sempit, barulah akan diketahui keberadaan situs bersejarah tersebut, melalui bangunan pendopo, dan keterangan yang ada di depannya.

Dwi Cahyono menyebutkan, sebelum dikenal sebagai situs Ken Dedes, masyarakat setempat lebih mengenalnya sebagai Sendang Dedes, atau Sumur Windu. Kawasan tersebut, dikenal sebagai permukiman kuno. Letaknya di sisi utara Kota Malang, yang berdekatan dengan wilayah Kabupaten Malang.

Di areal makam, banyak ditemukan struktur bata kuno, fragmen gerabah dan keramik kuno, dan bahkan mata uang kuno. Dari hasil eskavasi yang dilakukan Pusat Peneliti Arkeologi Nasional, pada tahun 1998. Ditemukan fondasi rumah tinggal dari bata, dan sebuah umpak.

Masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut, juga sering menemukan adanya arung. Yaitu, saluran air bawah tanah kuno, yang dibuat masyarakat pada masa lalu sebagai saluran untuk mengairi area persawahan yang banyak ditanami padi gaga. Hal ini, juga termuat pada prasasti Kanjuruhan B, yang dibuat tahun 943 Masehi.



"Pada prasasti Wurandungan, yang juga terbit pada tahun 943 Masehi. Desa ini masuk dalam desa pertanian yang maju. Yakni, sebagai desa swasembada pangan. Kondisi tersebut, dapat dilihat dari statusnya dalam prasasti Wurandungan, yang menyatakan Panawijen, sebagai sima sawah, atau tanah perdikan pertanian," ungkap Dwi Cahyono.

Jauh sebelum masa Mpu Purwa, Dwi Cahyono menduga, kawasan ini sudah menjadi wilayah kehidupan masa prasejarah. Hal itu dapat dilihat dari penemuan watu kenong, dan lumpang batu. Watu kenong ini, diduga menjadi landasan atau pondasi untuk mendirikan rumah panggung.

Wilayah Polowijen, diakuinya merupakan kawasan yang kaya akan peninggalan sejarah. Bahkan, di kawasan ini Mpu Purwa telah mampu mendirikan tempat pendidikan yang maju, serta menjadi tanah pertanian yang subur dan penghasil pangan.

Sementara, kisah pertemuan antara Ken Dedes dan Ken Arok, justru terjadi disebuah pemandian. Kisah itu juga muncul di Kitab Pararaton. Di mana disebutkan, Ken Arok pertama kali melihat Ken Dedes yang kemaluannya bersinar terang di Patirtan Watu Gede, hingga membuat Ken Arok jatuh hati pada Ken Dedes.

Sumber air yang sampai sekarang masih ada itu, dikenal oleh masyarakat sebagai Situs Patirtan Watu Gede, yang berada di wilayah Desa Watu Gede, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, yang jaraknya sekitar 5 km ke arah utara dari Kelurahan Polowijen.

Cantik! Ini Wajah Ken Dedes Hasil Artificial Intelligence, Permaisuri Singasari yang Darahnya Mengaliri Para Raja Nusantara

Patirtan Watu Gede di Desa Watu Gede, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Foto/Dok.SINDOnews/Yuswantoro

Dwi Cahyono menyebut, sumber air di Watu Gede tersebut sangat disakralkan, sehingga disebut sebagai patirtan. Di masa lalu, Patirtan Watu Gede ini digunakan khusus untuk para ratu. Salah satu yang utama adalah untuk Permaisuri Ken Dedes.

Patirtan Watu Gede, memiliki air yang sangat jernih. Di sekitarnya tumbuh pohon-pohon besar. Daun-daunnya yang rindang, menaungi telaga penuh kedamaian itu. Salah satu sudut telaga, tepatnya di bawah pohon besar, masih mengalirkan mata air.

Air yang mengalir dari sela-sela pohon besar menuju ke telaga, terasa sangat menyegarkan, dan begitu jernih. Suaranya gemercik, berirama, saat berjatuhan di dalam telaga. Beberapa arca kecil, masih nampak berdiri di tepian telaga. Sisa-sisa bangunan masa lalu itu, menjadi saksi bisu kecantikan Ken Dedes, yang darahnya mengaliri para raja di Nusantara.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.8926 seconds (0.1#10.140)